“Kereta Cepat kabarnya mau pakai SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran). Gila enggak, SILPA mau dipakai kereta cepat tapi sembilan juta rakyat yang dapat JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dihapus Bu Risma (Menteri Sosial Tri Rismaharini).”
Kritik itu muncul dari ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri pada sebuah webinar, Senin, 18 Oktober 2021. Faisal mengkritik kebijakan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang menghapus sembilan juta lebih orang miskin dari daftar penerima Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Tahun 2021. Penghapusan dilakukan karena jumlah data itu tidak sesuai dengan ketentuan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Padahal menurut Faisal 143 juta rakyat Indonesia berstatus rentan. Penduduk berstatus rentan ini adalah penduduk yang hidupnya belum tenang, yakni dengan pengeluaran harian Rp 25 ribu sebelum pandemi. Di masa pandemi, pengeluaran mereka diperkirakan berkurang lebih banyak.
Faisal pun meminta Kementerian Keuangan bisa lebih realistis dan konsisten dalam kebijakannya terkait prioritas anggaran. “Kemenkeu adalah rem, bukan mengiyakan yang diinginkan para menteri dan presiden. Tunjukkan konsekuensinya. Seperti dulu Pak Budiono dan Bu Sri Mulyani berani mengatakan tidak pada pembangunan monorel. Jadi ayo kasih warning,” ujarnya.
Bukan sekali ini Faisal mengkritik pembangunan kereta cepat. Sebelumnya ia menyebut pendanaan proyek diprediksi tak akan balik modal sama sekali.
“Sebentar lagi rakyat membayar kereta cepat. Barangkali nanti tiketnya Rp 400.000 sekali jalan. Diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal,” ujarnya dalam sebuah dialog virtual, Rabu, 13 Oktober 2021.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi per 6 Oktober 2021 memperkenankan penggunaan APBN dalam pembiayaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Keputusan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 93 Tahun 2021 itu mengubah perpres serupa tentang kereta cepat yang diteken pada tahun 2015.
Pendanaan proyek kereta cepat diperkirakan membengkak 40 persen dari biaya awal. Awalnya proyek ini membutuhkan dana US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,52 triliun. Namun menurut perhitungan terbaru, biayanya kini membengkak jadi US$ 8 miliar atau senilai Rp 122,58 triliun.
Dalam aturan baru itu, Jokowi merinci skema pembiayaan APBN dalam dua bentuk. Pertama adalah penyertaan modal negara (PMN) kepada konsorsium BUMN yang terlibat dalam proyek ini. Pemberian PMN digunakan untuk melunasi kekurangan kewajiban penyetoran modal dasar pada perusahaan konsorsium penggarap kereta cepat.
Selain itu, dana PMN juga untuk memenuhi kewajiban perusahaan patungan yang diakibatkan pembengkakan biaya proyek (cost overrun). Bila terjadi cost overrun, pemimpin konsorsium BUMN (PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia)—pemilik 60 persen saham PT. Kereta Cepat Indonesia China—dapat mengajukan permohonan kepada Menteri BUMN untuk memperoleh dukungan modal. Syaratnya, menyertakan kajian tentang dampak pembengkakan terhadap studi kelayakan terakhir.
Cara lainnya adalah penjaminan kewajiban pemimpin konsorsium BUMN. Penjaminan diberikan jika konsorsium membutuhkan pinjaman untuk tambahan modal akibat cost overrun. Skema ini baru berlaku bila dana PMN tidak mencukupi, sehingga Menteri Keuangan dapat menugaskan badan usaha penjaminan infrastruktur sebagai pengelola.
Adapun pemimpin konsorsium yang bisa menerima dana negara adalah PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Sebelumnya, PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia dipimpin BUMN bidang konstruksi PT. Wijaya Karya.
Dilansir dari Koran Tempo edisi 11 Oktober 2021, staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyebut keputusan penggunaan dana APBN diambil lantaran empat perusahaan pelat merah yang tergabung dalam konsorsium itu—PT. KAI, PT. Wijaya Karya, PT. Jasa Marga, dan PT. Perkebunan Nusantara VIII—mengalami gangguan stabilitas keuangan akibat pandemi Covid-19. Akibatnya, keempat perusahaan itu belum menyetorkan modal untuk proyek strategis nasional itu.
Namun, Arya melanjutkan, nilai PMN yang dibutuhkan saat ini masih dihitung bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berdasarkan hitungan sementara, diperkirakan alokasi PMN untuk menutupi kekurangan itu sekitar Rp 4,3 triliun.
KAI selaku pemimpin konsorsium berikutnya pun bakal menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 7 triliun tahun ini. Salah satu peruntukan suntikan modal adalah untuk memenuhi kekurangan kewajiban penyetoran modal (base equity) ke konsorsium penanggung jawab proyek kereta cepat ini.
“PMN untuk KAI sedang dibahas,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata saat dihubungi pada Senin, 11 Oktober 2021.
Awalnya, KAI tidak mendapat jatah suntikan dana negara pada tahun ini sesuai UU APBN 2021. Namun di tengah jalan, pemerintah memasukkan usulan PMN Rp 7 triliun untuk KAI.
Sehingga, jatah PMN untuk KAI langsung muncul dalam dokumen Nota Keuangan APBN 2022, bagian outlook PMN 2021. Dari Rp 7 triliun, sebanyak Rp 4,3 triliun dipakai untuk membiayai tanggungan base equity untuk proyek kereta cepat. Sedangkan sisa Rp 2,7 triliun untuk proyek strategis nasional lainnya.
Sumber Tempo di pemerintah menyebut sempat terjadi negosiasi dengan konsorsium Cina. Pemerintah meminta konsorsium Cina mengambil alih saham mayoritas PT. KCIC. Namun perundingan itu berjalan alot.
Konsorsium Cina justru menawarkan pengajuan pendanaan kredit baru ke China Development Bank (CDB). Sebelumnya, CDB telah berkomitmen memberi pinjaman sebesar 75 persen dari biaya proyek. Ketika Tempo meminta konfirmasi ke KCIC, perusahaan itu belum dapat memberi informasi lebih lanjut.
“Mengenai kucuran dana dari CDB atau kebijakan pendanaan lainnya, investasi ataupun cost overrun, merupakan ranah pemerintah,” ujar Sekretaris Perusahaan KCIC, Mirza Soraya.
Potensi Beban Anggaran Negara
Lembaga riset asal Amerika Serikat AidData melalui laporan riset berjudul Banking on the Belt and Road ikut menyorot proyek kereta cepat itu. Menurut AidData, proyek itu berpotensi menjebak pemerintah dalam jeratan pinjaman Cina.
Bagi AidData, skema business-to-business antara BUMN Indonesia dan Cina dalam proyek itu tidak tepat. Alasannya, fungsi kereta cepat sebagai transportasi publik tentu membutuhkan dukungan anggaran negara.
Penilaian itu pun terbukti seiring dengan kebijakan Jokowi menyetujui penggunaan APBN. AidData lantas menjadikan proyek kereta cepat itu sebagai contoh penyaluran utang tersembunyi (hidden debt) yang menjerat negara-negara berkembang.
Masih dalam laporan yang sama, AidData menyebut Indonesia menyimpan utang tersembunyi kepada Cina sebesar US$ 17,28 miliar atau sekitar Rp 245,7 triliun terkait inisiatif megaproyek Belt and Road Initiative (BRI). Jumlah itu setara dengan 1,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama 2000-2017.
Menurut AidData, kereta cepat Jakarta-Bandung bukan satu-satunya proyek yang memiliki potensi utang tersembunyi bagi negara tuan rumah proyek. Lembaga itu memberi contoh pembangunan kereta Laos-Cina sebagai proyek serupa yang menyimpan potensi utang bagi Laos. Proyek ini sepenuhnya dijalankan konsorsium BUMN Cina dan Laos yang membentuk perusahaan patungan Laos-China Railway Company Limited (LCRC), dengan proporsi saham kongsi BUMN Cina 70 persen dan BUMN Laos 30 persen.
Pembiayaan proyek ini terdiri dari 40 persen patungan konsorsium BUMN dua negara itu dan 60 persen dari paket pinjaman keuangan senilai US$ 3,54 miliar dari China Eximbank. Pemerintah Laos tidak mengeluarkan jaminan sama sekali atas utang dari China Eximbank itu.
Potensi utang tersembunyi muncul karena proyek ini “terlalu besar untuk gagal”. Jika ternyata jalur kereta api ini tidak menguntungkan, pemerintah Laos boleh jadi akan menghadapi tekanan politik untuk mengucurkan pendanaan (bail out) ke proyek ini. Kekusutan dapat timbul karena terdapat ketidakjelasan siapa pihak yang paling bertanggung jawab bila proyek ini gagal, meski BUMN Cina menguasai mayoritas saham.
Utang tersembunyi tersebut juga dikenal sebagai “kewajiban kontijensi” ini semakin memberatkan neraca keuangan Laos. AidData memperkirakan kewajiban kontijensi Laos nilainya sekitar 35 persen dari PDB negara itu. Padahal tanpa memasukkan kewajiban kontinjensi pun, rasio utang pemerintah Laos terhadap PDB sudah berada di antara 55-60 persen.
Kasus di Laos itu mirip dengan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Bedanya, Indonesia jadi pihak yang paling terdampak dari kegagalan proyek ini lantaran sebagian besar saham perusahaan patungan dimiliki kongsi perusahaan pelat merah Indonesia. Pemerintah Indonesia pun sudah pasti akan memberi kucuran modal untuk kelanjutan proyek itu.
Dengan rasio utang tersembunyi terhadap PDB sebesar 1,6 persen, Indonesia bisa saja masih merasa aman. Ini karena tambahan utang tersembunyi itu belum secara signifikan membengkakkan utang Indonesia hingga melewati ambang batas rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen sesuai Pasal 12 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adinegara mengingatkan pemerintah untuk tetap waspada terhadap potensi utang tersembunyi Cina. “Saat ini rasio utang pemerintah yang tercatat 40 persen dari PDB. Padahal kalau dijumlah dengan hidden debt, rasio utang yang sesungguhnya bisa lebih besar,” katanya dalam Koran Tempo edisi 13 Oktober 2021. Apalagi utang itu pada akhirnya akan membebani pemerintah bila terjadi wanprestasi.
Selain itu, risiko kerugian pada perusahaan BUMN yang mendapat pinjaman Cina untuk proyek infrastruktur dapat berdampak pada APBN dalam jangka menengah maupun panjang. Menurut Bhima, efeknya pun sangat berat, seperti pertambahan beban bunga pinjaman per tahun dan pelebaran defisit anggaran. “Padahal ketika konstruksinya selesai, pemerintah masih harus membayar biaya operasional yang tidak mungkin ditutupi dari pendapatan,” ujarnya.
Kekhawatiran serupa juga diutarakan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan terkait proyek kereta cepat ini. “Belum lagi, nanti minta semacam subsidi dari anggaran negara saat kereta cepat ini beroperasi untuk menekan harga tiket. Beban anggaran akan semakin berat,” kata Misbah, dikutip dari Koran Tempo edisi 12 Oktober 2021.
Faisal Basri menyebut kereta api berkecepatan 350 kilometer per jam untuk rute Jakarta-Bandung tersebut sangat tidak mendesak. Alasannya, pilihan moda transportasi dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya sudah banyak, mulai dari kendaraan pribadi, travel, bus, kereta, hingga pesawat. Pilihan waktu tempuhnya pun bervariasi, paling cepat 20-25 menit dengan pesawat hingga tiga jam dengan kereta konvensional.
“Apalagi mengingat kereta cepat sejenis Shinkansen hadir untuk jarak jauh seperti Tokyo-Osaka yang jaraknya hampir sama dengan Jakarta-Surabaya,” kata Faisal dalam Koran Tempo edisi 11 Oktober 2021.
Guru besar bidang transportasi Universitas Indonesia sekaligus mantan Deputi Bidang Perdagangan, Perindustrian, dan Transportasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Sutanto Soehodho, mengungkap bahwa saat ia ikut dikirim ke Cina untuk mengikuti proses negosiasi awal proyek ini pada 2015, ia telah mempertanyakan kelayakan finansial proyek ini.
Sutanto bercerita, saat itu pihak Cina menyebut bahwa bentuk kerja sama dalam proyek ini murni bisnis ke bisnis. Menurut dia, seharusnya pemerintah dan pemegang saham proyek mengetahui tingkat pendapatan operasional, jumlah penumpang, dan harga tiket yang akan diterapkan jika memang proyek ini murni berorientasi bisnis ke bisnis.
“Jumlah penumpangnya harus cukup dan harga tiket harus terjangkau, sehingga mereka (PT KCIC) tidak kesulitan mengembalikan pinjaman,” ujar Sutanto dalam Koran Tempo edisi 11 Oktober 2021.
Dalam Koran Tempo edisi 12 Oktober 2021, sumber Tempo di pemerintahan menyebut bahwa selain cost overrun, biaya operasional jadi salah satu ancaman bagi proyek ini. Dengan asumsi jumlah penumpang 31-32 ribu orang per hari, maka tarif tiket dipatok Rp 250-350 ribu per hari. Tetapi hitungan yang disusun pada 2016 ini tidak dapat diterapkan lantaran cost overrun. Alhasil, menurut sumber tersebut, opsi KCIC untuk mereguk keuntungan bisnis pun semakin sempit.
Sebenarnya, KCIC memiliki opsi menaikkan harga tiket, menggali sumber pendapatan baru selain tiket, atau subsidi negara. Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menyebut bahwa KCIC saat ini sedang mengkaji berbagai opsi untuk menekan kebutuhan biaya pada awal operasional kereta cepat. Opsi yang muncul untuk menutup biaya operasi adalah non-fare-box revenue atau pendapatan non-tiket.
“Kami mencari sumber pendapatan lain dari properti, misalnya,” ujarnya. Untuk diketahui, KCIC berniat membangun hunian terintegrasi dengan kereta cepat (TOD). Salah satu lokasi yang berpotensi menjadi TOD itu berada di dekat Stasiun Walini, Bandung Barat.
Sedangkan untuk mengatasi masalah cost overrun, KCIC, menurut Dwiyana, akan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan akan terbantu mengurangi defisit saat beroperasi. Salah satu caranya adalah memperbanyak pegawai berpengalaman dibanding tenaga baru atau fresh graduate demi memangkas biaya pelatihan pegawai. Pelatihan masinis yang mulanya akan digelar di Cina pun dipindahkan ke Indonesia.
Arya Sinulingga pun tak menampik bahwa tingkat pengembalian modal kereta cepat relatif lama karena baru akan diperoleh setelah 40 tahun sejak proyek selesai. Tetapi ia menegaskan kondisi ini terjadi hampir di semua negara yang melakukan investasi di proyek kereta cepat.
“Ya hitungan konservatif kita ya, untuk ekuitasnya mungkin 40 tahun lah. Tapi kita belum tahu karena ini masih hitungan kasar, mirip-mirip proyek mass rapid transit (MRT),” kata Arya, Kamis, 14 Oktober 2021.
Menurutnya, saat ini Kementerian BUMN masih menghitung dan menunggu angka cost overrun yang timbul dari proses pembangunan sembari BPKP melakukan audit. Sehingga, angka pasti pembengkakan biaya baru bisa diketahui.