Parwani, penghuni Perumahan BTN Panorama Sanggulan di Tabanan, Bali, masih mengingat dengan jelas banjir bandang yang menerjang rumahnya pada Juli 2023 lalu. Ia bersama ibu-ibu dan anak-anak menyelamatkan diri ke SDN 6 Banjar Anyar.
Tak hanya trauma, seringnya banjir melanda juga membikin dilema bagi Parwani. Menjual rumah yang telah ditinggalinya selama bertahun-tahun bukan pilihan. Tiga tahun lagi rumah tersebut lunas. Ia berpikir siapa yang mau membeli rumah di permukiman yang termasyhur jadi langganan banjir tersebut.
Parwani dan penghuni kompleksnya tidak sendirian. Banjir juga merendam rumah warga di kabupaten Jembrana dan Karangasem. Bencana ini pun terjadi saat Bali bersiap-siap menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 yang digelar pada 15-16 November 2022.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 3.056 bencana yang terjadi pada 1 Januari hingga 1 Oktober 2023, tercatat ada 893 kejadian banjir di Indonesia.
Banjir tersebut disebabkan karena curah hujan yang tinggi pada musim hujan akhir tahun.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Denpasar memperkirakan banjir dan tanah longsor di Bali mungkin akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Lembaga ini melaporkan potensi curah hujan pada rentang 500-600 milimeter per bulan dan mengimbau warga untuk waspada.
Penelusuran Tempo bersama BaleBengong, IDN-Bali, dan Tribun Bali menemukan tiga kasus pemicu kerentanan banjir di kabupaten lokasi bencana, selain karena curah hujan yang tinggi. Di antaranya, alih fungsi lahan di Tabanan, pengelolaan hutan di Jembrana, dan sedimentasi sungai di Karangasem.
Klik navigasi di bawah untuk membaca cerita-cerita lengkap dari tiga kabupaten tersebut.
Alih Fungsi Lahan di Tabanan
Baca cerita lengkap dari Tabanan pada berita berjudul "Banjir Makin Mudah Warga Meresah" di situs Balebengong.id. Klik tautan ini untuk membaca cerita ini.
BPBD Tabanan mencatat ada 225 titik bencana pada 7-9 Juli 2023, dengan total kerugian mencapai Rp 20 miliar. Jalan, jembatan, dan saluran irigasi mengalami kerusakan parah setelah digerus longsor atau dirusak banjir.

Satu rumah di Perumahan BTN Panorama Sanggulan setelah banjir 7 Juli 2023, penuh lumpur dan berantakan. Foto oleh: Irma Yudistirani
Banjir diduga terjadi karena luapan air dari sungai yang meningkat drastis karena curah hujan yang berlebihan. Namun dosen Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB), Edi Riawan, berpendapat ada faktor lain yang membuat banjir kerap merendam wilayah itu. Menurut Edi, alif fungsi lahan menjadi daerah permukiman berpotensi besar meningkatkan debit air dan mengakibatkan banjir lebih sering terjadi.

“Itu yang perlu diwaspadai. Jadi belum tentu sungainya yang salah. Bisa saja sungainya tidak ada perubahan, tapi manusianya yang mendekati sungai. Ini tergantung dari bagaimana mengelola tata ruang wilayahnya mana yang ditetapkan sebagai budidaya, dan mana yang tidak,” kata Edi.
Edi menjelaskan bahwa alih fungsi lahan dapat mengurangi daya resap alamiah yang dimiliki oleh wilayah itu. Bergantinya tumbuhan dengan bangunan menghilangkan hal tersebut. Air yang mengalir dari curah hujan dan banjir kiriman dari hulu walhasil tidak terserap. “Jika fungsi peresapan tidak dapat dipertahankan, aliran air semakin deras sebab tidak terserap sama sekali,” kata Edi.
Saat Edi melakukan penelitian, dia selalu bertanya mengenai kondisi wilayah tersebut pada zaman dulu dan sejak kapan banjir sering terhadi. Dari jawaban pertanyaan itu, dapat ditarik kesimpulan mengenai kondisi daerah tangkapan air (DTA). Jika warga melaporkan kejadian banjir meningkat pesat, DTA daerah itu sudah mengalami perubahan. “Ini indikasi awal. Baru kita mulai menelusuri, apakah benar mengalami perubahan lahan yang cukup masif. Jadi bisa digunakan sebagai pembuktian terbalik kalau banjirnya lebih sering,” terang Edi.
Pelaksana Tugas Kepala BPBD Tabanan, I Nyoman Sri Nadha Giri, menyoroti permukiman di sekitar daerah aliran sungai (DAS). Giri mengatakan bahwa banyaknya sampah di saluran sungai dan drainase membuat air hujan dan sungai meluap ke daratan. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Perumahan Multi Jadi . Saluran air di perumahan itu terhalang sampah plastik sehingga terjadi banjir yang menimbulkan berbagai kerusakan seperti menjebolkan tembok warga.
Selain Perumahan Multi Jadi, banjir juga merendam RSIA Puri Bunda, Perumahan BTN, kawasan Gang Beringin, dan Bali Primary School. Menariknya, semua pemukiman yang menjadi korban dibangun di area daerah aliran sungai Yeh Empas. Menurut KLHK Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara, DAS Yeh Empas bertipe sungai perenial, yakni sungai yang aliran airnya terus ada sepanjang tahun.

Satu rumah di Perumahan BTN Panorama Sanggulan dibangun di samping sungai. (Foto: Irma Yudistirani)
Pembangunan permukiman di daerah dekat sungai diatur dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Namun, aturan tersebut tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Penelusuran tim liputan menemukan bahwa permukiman malah dibangun di sempadan sungai, padahal seharusnya ada jarak yang cukup antara lahan bangunan dan sempadan.
Infografis Pengaturan Sempadan Sungai Menurut Perda Bali Nomor 3 Tahun 2020:

Tim liputan mendatangi kantor pengembang Perumahan BTN dan Perumahan Multi Jadi. Pengembang Perumahan BTN, Panorama Sanggulan, tidak dapat ditemui. Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bali sekaligus pengembang Perumahan BCA Multi Jadi IX, I Gede Suardita, tak menampik telah terjadi penyempitan dan pendangkalan sungai setelah unit perumahan yang ia gagas selesai dibangun. "Memang tidak dimungkiri ada juga penyempitan dan pendangkalan sungai, kita sebagai developer sudah membantu optimal dengan perbaikan fasum (fasilitas umum) yang rusak dan pengerukan sungai di sekitar perumahan," kata Suardita.
Menurut Ahli Madya DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Tabanan, I Kadek Suardana Dwi Putra, pihak yang berwenang untuk pengawasan bangunan adalah Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPR PKP) Tabanan. Suardana mengatakan bahwa perubahan mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) membuat semua proses pembangunan menjadi kewenangan Dinas PUPR PKP. Contohnya, kewenangan ini termasuk menentukan zona dan wilayah mana saja yang boleh dilakukan pembangunan.
Suardana mengatakan hal tersebut merupakan beban bagi DPMPTSP karena terkadang bangunan yang sudah terbangun tidak sesuai dengan tata ruang. “Kami benturan di lapangan. Mau cabut izinnya, tapi pusat yang mengeluarkan izin,” kata Suardana.

Tim Liputan Tabanan mengukur lebar sempadan di sekitar Banjar Anyar. (Foto: Irma Yudistirani)
Namun, ketidakberdayaan pihak DPMP berbeda dengan aturan yang tertuang di Peraturan Bupati Tabanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi. Pasal 8 Ayat 2 dari peraturan ini menyebutkan izin lokasi pembangunan seharusnya diajukan secara tertulis kepada bupati melalui DPMPPTSP.
Persoalan menjadi kian rumit dengan berubahnya mekanisme izin lingkungan. Sekarang, pembangunan hanya cukup menyertakan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Suardana mengatakan dengan adanya surat ini, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dan bahkan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) menjadi jarang diperhatikan.
Belum lagi perubahan yang dibuat oleh pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu dampak negatif dari undang-undang tersebut adalah lemahnya pengawasan terhadap pembangunan dan kesesuaian bangunan tersebut dengan tata ruang.
Sampai saat ini, tim liputan masih memantau bahwa lahan di sekitar daerah terdampak banjir masih dipromosikan untuk pembangunan perumahan. Menurut data izin kawasan permukiman di Kabupaten Tabanan, sudah ada 4.951 unit perumahan yang dibuat dari 2015 hingga 2022. Tipe bangunan perumahan beragam, dengan luas tanah yang mulai dari 60 meter hingga 200 meter.