…

LONGFORM - SELASA, 7 NOVEMBER 2023

Bencana di Bali: Krisis Iklim Surga di Bumi

Bencana banjir yang dua tahun ini terjadi di Bali ada pemicunya. Tempo bersama BaleBengong, IDN-Bali, Tribun Bali, Radar Bali dan warga dari Bali dengan bantuan Kurawal Foundation melakukan liputan bersama di Karangasem, Tabanan, dan Jembrana untuk menguak penyebabnya.

Penulis

Tim Liputan Bali

Parwani, penghuni Perumahan BTN Panorama Sanggulan di Tabanan, Bali, masih mengingat dengan jelas banjir bandang yang menerjang rumahnya pada Juli 2023 lalu. Ia bersama ibu-ibu dan anak-anak menyelamatkan diri ke SDN 6 Banjar Anyar. 

Tak hanya trauma, seringnya banjir melanda juga membikin dilema bagi Parwani. Menjual rumah yang telah ditinggalinya selama bertahun-tahun bukan pilihan. Tiga tahun lagi rumah tersebut lunas. Ia berpikir siapa yang mau membeli rumah di permukiman yang termasyhur jadi langganan banjir tersebut.

Parwani dan penghuni kompleksnya tidak sendirian. Banjir juga merendam rumah warga di kabupaten Jembrana dan Karangasem. Bencana ini pun terjadi saat Bali bersiap-siap menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 yang digelar pada 15-16 November 2022. 

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 3.056 bencana yang terjadi pada 1 Januari hingga 1 Oktober 2023, tercatat ada 893 kejadian banjir di Indonesia.

Banjir tersebut disebabkan karena curah hujan yang tinggi pada musim hujan akhir tahun. 

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Denpasar memperkirakan banjir dan tanah longsor di Bali mungkin akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Lembaga ini melaporkan potensi curah hujan pada rentang 500-600 milimeter per bulan dan mengimbau warga untuk waspada.

Penelusuran Tempo bersama BaleBengong, IDN-Bali, dan Tribun Bali menemukan tiga kasus pemicu kerentanan banjir di kabupaten lokasi bencana, selain karena curah hujan yang tinggi. Di antaranya, alih fungsi lahan di Tabanan, pengelolaan hutan di Jembrana, dan sedimentasi sungai di Karangasem.

Klik navigasi di bawah untuk membaca cerita-cerita lengkap dari tiga kabupaten tersebut.

Alih Fungsi Lahan di Tabanan

Baca cerita lengkap dari Tabanan pada berita berjudul "Banjir Makin Mudah Warga Meresah" di situs Balebengong.id. Klik tautan ini untuk membaca cerita ini.

BPBD Tabanan mencatat ada 225 titik bencana pada 7-9 Juli 2023, dengan total kerugian mencapai Rp 20 miliar. Jalan, jembatan, dan saluran irigasi mengalami kerusakan parah setelah digerus longsor atau dirusak banjir.

Satu rumah di Perumahan BTN Panorama Sanggulan setelah banjir 7 Juli 2023, penuh lumpur dan berantakan. Foto oleh: Irma Yudistirani

Banjir diduga terjadi karena luapan air dari sungai yang meningkat drastis karena curah hujan yang berlebihan. Namun dosen Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB), Edi Riawan, berpendapat ada faktor lain yang membuat banjir kerap merendam wilayah itu. Menurut Edi, alif fungsi lahan menjadi daerah permukiman berpotensi besar meningkatkan debit air dan mengakibatkan banjir lebih sering terjadi.

“Itu yang perlu diwaspadai. Jadi belum tentu sungainya yang salah. Bisa saja sungainya tidak ada perubahan, tapi manusianya yang mendekati sungai. Ini tergantung dari bagaimana mengelola tata ruang wilayahnya mana yang ditetapkan sebagai budidaya, dan mana yang tidak,” kata Edi.

Edi menjelaskan bahwa alih fungsi lahan dapat mengurangi daya resap alamiah yang dimiliki oleh wilayah itu. Bergantinya tumbuhan dengan bangunan menghilangkan hal tersebut. Air yang mengalir dari curah hujan dan banjir kiriman dari hulu walhasil tidak terserap. “Jika fungsi peresapan tidak dapat dipertahankan, aliran air semakin deras sebab tidak terserap sama sekali,” kata Edi.

Saat Edi melakukan penelitian, dia selalu bertanya mengenai kondisi wilayah tersebut pada zaman dulu dan sejak kapan banjir sering terhadi. Dari jawaban pertanyaan itu, dapat ditarik kesimpulan mengenai kondisi daerah tangkapan air (DTA). Jika warga melaporkan kejadian banjir meningkat pesat, DTA daerah itu sudah mengalami perubahan. “Ini indikasi awal. Baru kita mulai menelusuri, apakah benar mengalami perubahan lahan yang cukup masif. Jadi bisa digunakan sebagai pembuktian terbalik kalau banjirnya lebih sering,” terang Edi.

Pelaksana Tugas Kepala BPBD Tabanan, I Nyoman Sri Nadha Giri, menyoroti permukiman di sekitar daerah aliran sungai (DAS). Giri mengatakan bahwa banyaknya sampah di saluran sungai dan drainase membuat air hujan dan sungai meluap ke daratan. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Perumahan Multi Jadi . Saluran air di perumahan itu terhalang sampah plastik sehingga terjadi banjir yang menimbulkan berbagai kerusakan seperti menjebolkan tembok warga. 

Selain Perumahan Multi Jadi, banjir juga merendam RSIA Puri Bunda, Perumahan BTN, kawasan Gang Beringin, dan Bali Primary School. Menariknya, semua pemukiman yang menjadi korban dibangun di area daerah aliran sungai Yeh Empas. Menurut KLHK Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara, DAS Yeh Empas bertipe sungai perenial, yakni sungai yang aliran airnya terus ada sepanjang tahun.

Satu rumah di Perumahan BTN Panorama Sanggulan dibangun di samping sungai. (Foto: Irma Yudistirani)

Pembangunan permukiman di daerah dekat sungai diatur dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Namun, aturan tersebut tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Penelusuran tim liputan menemukan bahwa permukiman malah dibangun di sempadan sungai, padahal seharusnya ada jarak yang cukup antara lahan bangunan dan sempadan.

Infografis Pengaturan Sempadan Sungai Menurut Perda Bali Nomor 3 Tahun 2020:

Tim liputan mendatangi kantor pengembang Perumahan BTN dan Perumahan Multi Jadi. Pengembang Perumahan BTN, Panorama Sanggulan, tidak dapat ditemui. Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bali sekaligus pengembang Perumahan BCA Multi Jadi IX, I Gede Suardita, tak menampik telah terjadi penyempitan dan pendangkalan sungai setelah unit perumahan yang ia gagas selesai dibangun. "Memang tidak dimungkiri ada juga penyempitan dan pendangkalan sungai, kita sebagai developer sudah membantu optimal dengan perbaikan fasum (fasilitas umum) yang rusak dan pengerukan sungai di sekitar perumahan," kata Suardita.

Menurut Ahli Madya DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Tabanan, I Kadek Suardana Dwi Putra, pihak yang berwenang untuk pengawasan bangunan adalah Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPR PKP) Tabanan. Suardana mengatakan bahwa perubahan mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) membuat semua proses pembangunan menjadi kewenangan Dinas PUPR PKP. Contohnya, kewenangan ini termasuk menentukan zona dan wilayah mana saja yang boleh dilakukan pembangunan. 

Suardana mengatakan hal tersebut merupakan beban bagi DPMPTSP karena terkadang bangunan yang sudah terbangun tidak sesuai dengan tata ruang. “Kami benturan di lapangan. Mau cabut izinnya, tapi pusat yang mengeluarkan izin,” kata Suardana.

Tim Liputan Tabanan mengukur lebar sempadan di sekitar Banjar Anyar. (Foto: Irma Yudistirani)

Namun, ketidakberdayaan pihak DPMP berbeda dengan aturan yang tertuang di Peraturan Bupati Tabanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi. Pasal 8 Ayat 2 dari peraturan ini menyebutkan izin lokasi pembangunan seharusnya diajukan secara tertulis kepada bupati melalui DPMPPTSP.

Persoalan menjadi kian rumit dengan berubahnya mekanisme izin lingkungan. Sekarang, pembangunan hanya cukup menyertakan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Suardana mengatakan dengan adanya surat ini, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dan bahkan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) menjadi jarang diperhatikan.

Belum lagi perubahan yang dibuat oleh pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu dampak negatif dari undang-undang tersebut adalah lemahnya pengawasan terhadap pembangunan dan kesesuaian bangunan tersebut dengan tata ruang.

Sampai saat ini, tim liputan masih memantau bahwa lahan di sekitar daerah terdampak banjir masih dipromosikan untuk pembangunan perumahan. Menurut data izin kawasan permukiman di Kabupaten Tabanan, sudah ada 4.951 unit perumahan yang dibuat dari 2015 hingga 2022. Tipe bangunan perumahan beragam, dengan luas tanah yang mulai dari 60 meter hingga 200 meter.

Pengelolaan Hutan di Jembrana

Baca cerita lengkap dari Jembrana pada berita berjudul "Merana Wana di Jimbarwana" di situs Balebengong.id. Klik tautan ini untuk membaca cerita ini.

Banjir besar terjadi di Kabupaten Jembrana pada 16 Oktober 2022 lalu. Seperti Tabanan, kerugian akibat banjir yang terjadi di puluhan titik diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah. Banjir ini menerjang lahan pertanian dan permukiman yang terletak di daerah aliran sungai Bilukpoh. 

Ida Ayu Wiratmi, salah seorang warga Jembrana, menjelaskan bahwa banjir bandang terjadi karena Sungai Bilukpoh yang meluap. Hal ini terpantau terjadi pada tahun 1998, 2018, dan pada Oktober 2022 lalu. “Banjir pertama yang saya alami saat anak saya berusia tiga tahun. Saat itu tidak separah ini. Yang paling parah adalah tahun lalu,” kata Ida.

Jumlah Peristiwa Bencana 2022

Bencana pada 2022 mengakibatkan 3.889 unit rumah warga terdampak dan 162 keluarga mengungsi. Volume air dan volume material banjir sangat besar. Sebagian rumah warga rusak parah sampai sekarang, bahkan ada belasan rumah yang sudah tidak bisa ditinggali lagi. 

Sama seperti Tabanan, tingginya curah hujan menjadi dugaan pertama atas penyebab meningkatnya banjir di daerah itu. Dugaan lainnya, terjadi perubahan kondisi hutan di hulu. 

Warga menduga kondisi hutan mempunyai andil dalam terjadinya banjir. Mereka melihat banyaknya batangan kayu besar yang terbawa arus air bah saat banjir di tahun 2018 dan 2022 lalu. Kayu-kayu itu sampai menumpuk di Jembatan Bilukpoh. 

Jumlah Peristiwa Bencana 2023

Alih fungsi hutan di Jembrana sebenarnya sudah dilakukan sejak masa transisi Orde Baru menuju era Reformasi. Banyak warga merambah hutan lindung karena kebutuhan ekonomi, sehingga hutan dijadikan ladang atau kebun. 

Salah satu praktik yang sering dilakukan adalah dengan menyuntik pohon dengan cairan herbisida yang kemudian merobohkan pohon tanpa harus ditebang. Hal ini dilakukan untuk mengelabui proses penebangan liar yang dijerat hukuman pidana. 

Wawan Kastawa, salah seorang warga yang merambah hutan di Desa Yehembang Kauh, mengatakan perambahan terjadi secara spontan. Setelah area hutan yang lebat “dibersihkan”, warga kemudian membaginya menjadi kavling-kavling. Luas totalnya tidak diketahui karena hanya bergantung pada kesepakatan. 

Di atas kavling tersebut kemudian ditanam komoditas tanaman berumur pendek vanili, kakao, dan pisang menjadi populer di kalangan warga. Tanaman bermanfaat secara ekonomis dan mampu menopang ekonomi keluarga secara umum. Tapi komoditas tersebut tak bisa menyimpan banyak air. Walhasil, resapan air di wilayah itu jauh berkurang dan menyebabkan ancaman banjir meningkat.

Setelah mengetahui dampaknya, kebanyakan warga mulai mengalihkan komoditas tersebut menjadi tanaman yang lebih mengoptimalkan peresapan air. Tapi mereka tetap dituduh sebagai penyebab bencana alam. Wawan pernah bertandang ke daerah hulu dan dikucilkan oleh masyarakat sekitar karena perbuatannya. 

Menanggapi fenomena perambatan hutan, pemerintah meluncurkan program untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan yang melibatkan warga. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat sistem perhutanan sosial. Dalam sistem ini, pengelolaan hutan lestari di kawasan hutan negara atau hutan hak/adat dilakukan oleh masyarakat. 

Menurut Kepala Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Bali Barat Agus Sugiyanto, perhutanan sosial memberi masyarakat ruang dan tanggung jawab untuk mengelola hutan. Sebelum ada sistem ini, pelestarian hutan lebih bergantung pada ancaman pidana terhadap perambah hutan. Kenyataannya, KPH menemukan bahwa hukuman tidak membuat pelaku jera. 

Sistem yang tertuang di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 memberikan KPH landasan untuk mengawasi penggunaan hutan dan membina masyarakat tanpa memotong sumber nafkah mereka. Sekarang, KPH lebih memilih untuk memberikan edukasi dan nasihat kepada masyarakat pengelola hutan jika ada penyimpangan di daerah zona kelola. 

Dengan desakan masyarakat, terbentuk juga Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan Kelompok Tani Hutan (KTH). Dengan adanya lembaga ini, pengelolaan masyarakat menjadi lebih rapi dan teratur. Pengawasan dari pemerintah juga tidak lagi dianggap sebagai ancaman keberlangsungan mereka yang bertani di hutan. 

Ketua LPHD Penyaringan, Gede Sugiana mengatakan bahwa setelah izin pengelolaan terbit dari KLHK, semua bentuk aturan dan sanksi menjadi jelas. Siapa pun yang melanggar ketentuan tersebut dapat dicabut hak pengelolaan jika pelanggarannya fatal. “Mereka yang terdaftar di kelompok bertanggung jawab menjaga, memelihara, jenis tanamannya dan lainnya. Sehingga mereka tidak mungkin berani sekarang,” kata Sugiana.

Kastawa pun sekarang menjadi anggota KTH Giri Amerta, Desa Yehembang Kauh, Kecamatan Mendoyo. KTH ini mempunyai izin sejak 2019. KTH ini terdapat 304 hektar yang menjadi kawasan pemanfaatan. Luasan ini dikelola oleh 225 orang. 

Sejak beberapa tahun lalu, Kastawa berupaya untuk mengembalikan fungsi hutan dengan dukungan dari Yayasan IDEP. Menurut Kastawa, di lahan ini juga sudah ada program Hutan Belajar untuk mengedukasi masyarakat tentang bagaimana cara menjaga hutan. 

Kastawa berpendapat bahwa masyarakat yang akan mengelola kawasan blok pemanfaatan ini semakin berkurang dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Ini karena status ekonomi mereka sudah meningkat. Kebanyakan keturunan petani yang merambat hutan sekarang sudah mulai bekerja di luar bidang itu. 

“Kami harap, momentum tersebut nantinya bisa membuat hutan bisa kembali ke seperti semula,” kata Kastawa. “Pohon pohon keras tumbuh subur dan resapan air kembali maksimal. Artinya tanah tidak kering seperti saat ini dan tutupan lahan menjadi maksimal.”

Pasir dan Batu dari Sungai Mati di Karangasem

Baca cerita lengkap dari Karangasem pada berita berjudul "Ketika Sungai Mati Membawa Banjir dengan Material Pasir dan Batu" di situs Balebengong.id. Klik tautan ini untuk membaca cerita ini.

Sejumlah sungai mati di Kabupaten Karangasem berubah menjadi sungai yang mengalirkan air bah pada Oktober 2022. Mirip dengan kedua kabupaten yang lainnya, curah hujan ekstrem menyebabkan meluapnya air sungai yang akhirnya merusak berbagai infrastruktur seperti perumahan dan sekolah. 

Perbedaannya adalah material pasir dan batu yang dibawa oleh air bah yang menggerus berbagai titik di Karangasem. Rumah Gusti Ngurah Suparta di Desa Santi, Kecamatan Selat, hancur direndam air setinggi dua meter penuh dengan material pasir dan batu. Kejadian itu juga merenggut nyawa dua anaknya yang belakangan ditemukan terkubur pasir.

Sementara itu di Dusun Geriana Kauh, Duda Utara, rumah Jero Samar juga menjadi langganan banjir bandang selama dua tahun terakhir ini. Banjir bandang pada 2022 dan awal Juli 2023 menggagalkan panen padi dan ternak tambaknya. Gerusan banjir juga merobohkan tembok pembatas rumahnya.

Gusti dan Jero tu mengatakan daerah mereka tidak pernah diterjang banjir sebelum kejadian pada 2022 dan 2023. “Tahun 2012, pernah ada hujan tiga hari tiga malam,” kata Gusti. “Air hanya setinggi mata kaki.”

Lantas apa yang memicu perubahan sungai mati menjadi sungai yang meluapkan banjir? Warga menduga penyebabnya adalah aliran material, pasir dan batu, dari galian di sejumlah titik di Karangasem. 

Aliran material ini diduga mengubah bentuk aliran sungai melalui proses sedimentasi sungai dan erosi pinggiran sungai. Proses sedimentasi merupakan fenomena penimbunan batu dan pasir pada lokasi sungai. Adapun erosi adalah pengikisan daerah kiri dan kanan sungai yang membuat sungai menjadi lebih lebar. 

Sedimentasi menyebabkan bentuk sungai menjadi lebih dangkal. Adanya material pasir dan batu tambahan mengurangi daya serap dan meningkatkan potensi aliran sungai tertutup. Dampak sedimentasi tersebut, misalnya, perubahan yang terjadi di Sungai Buhu. Karena sedimentasi itu, permukaan sungai menjadi dangkal dan bahkan rata dengan jalan raya. 

Sementara itu, erosi melebarkan sungai dan menggerus jarak antara sempadan sungai dan bangunan yang berada di wilayah itu. Contohnya, lokasi SMP Negeri 3 Bebandem yang berada di Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem. Jarak antara bangunan dan sempadan sungai tinggal dua meter. Sejak diterjang banjir pada 2022, sebagian sekolah berpotensi ambruk ke sungai. 

Neke Krisna Yana dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida mengatakan ada sejumlah DAS di Karangasem yang mengalami sedimentasi. Dia juga menyebutkan bahwa aliran material pasir dan batu ini dipicu oleh sisa erupsi Gunung Agung pada 2019. Adapun pengerukan material tersebut dilakukan oleh perusahaan. 

Berdasarkan data One Maps Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), setidaknya ada 40 badan usaha penambangan mineral nonlogam dan batuan yang beroperasi di Karangasem. Jenis izin bervariasi, ada yang masih pada tingkatan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), ada yang sudah mencapai Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.

Posisi lokasi wilayah penambangan ditemukan berdekatan dengan lokasi sungai. Ada beberapa perusahaan di Kecamatan Selat dan Bebandem yang beroperasi di wilayah hulu, sedangan di Kecamatan Kubu ada perusahaan yang beraktivitas di wilayah hilir. 

Penambangan ini menyumbang pendapatan pajak terbesar di Karangasem. Selama dua tahun terakhir, pendapatan pajak dari penambangan mengalahkan pendapatan dari pajak hotel dan pajak restoran. Pada 2022, Pemerintah Kabupaten Karangasem melaporkan bahwa pendapatan pajak dari sektor mineral mencapai Rp 96 miliar. Jumlah ini merupakan 68 persen dari target pada 2022 sebesar Rp 142 miliar. 

Meskipun menghasilkan pendapat pajak yang lumatan, ada sejumlah masalah dalam manajemen pertambangan ini. Analis kebijakan dari Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM, I Nyoman Wiratmo Juniarta, mengatakan masalahnya mulai dari pengawasan dan pemberian izin. 

Beberapa peraturan tumpang tindih untuk mengatur bagaimana perizinan penambangan dilakukan di Karangasem. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan kewenangan perizinan di pemerintah pusat. Ada juga Perpres Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengubah tata kelola perizinan.

Kedua aturan tersebut bertolak belakang. Tata kelola ruang diatur pada RTRW tingkat kabupaten, tapi perizinan dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan pusat. Meski sistem ini membolehkan hasil pertambangan dimanfaatkan oleh kabupaten, anggaran pengawasan dan sumber daya digelontorkan di level provinsi. 

Pemerintah Provinsi Bali yang mengeluarkan izin pertambangan tersebut mengaku kesulitan mengawasi usaha tambang karena kurangnya anggaran. Nyoman Wiratmo mengatakan bahwa jika ada pelanggaran, pihaknya tak punya tangan untuk menjangkaunya. Dia menyarankan adanya pengawasan akurat di tingkat pemilik lahan dan penyanding. “Kita koar-koar pengawasan, tidak nyambung. Mungkin perlu dibenahi, ” kata Wiratmo saat wawancara di kantornya pada 28 Juli 2023. “Lebih pas (pengawasan) di kabupaten, karena tahu wilayah, provinsi hanya membina. Lingkungan rusak dan wilayah kan punya kabupaten, duitnya juga untuk recovery.”

Sulitnya pengawasan menyuburkan penambangan liar. Sebagai contoh, lokasi sekolah SMPN 3 Bebandem diapit titik penambangan di hulu dan hilir. Wiratmo menyebut titik-titik yang tak jauh dari sekolah tersebut tidak mempunyai izin dan pernah didatangi Satpol PP. 

Pemulihan di lokasi-lokasi tambang tersebut. Banyak pengusaha menggali material sampai habis, termasuk di wilayah pinggiran, yang kemudian mendorong erosi. Penggalian penambangan ini kedalamannya bervariasi 10-20 meter, namun syaratnya pengusaha harus membuat terasering agar tidak terjadi longsor.

Di kasus SMPN 3 Bebandem, pengusaha berjanji menyender sempadan sekitar sekolah. Tetapi struktur ini dihantam air bah saat hujan deras Juli 2023 lalu, yang akhirnya berkontribusi pada rentannya bangunan sekolah ini ambrol. 

Menanggapi fenomena ini, BWS Bali Penida berencana melakukan normalisasi beberapa titik daerah yang rawan terjadi banjir dan air bah. ”Rata-rata normalisasi 1 kilometer dengan lebar sekitar 8 meter,” kata Kabid Sumber Daya Air Dinas Perumahan dan Permukiman Karangasem Made Wiguna. ”Sungai yang dinormalisasi rata-rata dekat dengan permukiman. Agar tak ada korban jiwa dan kerugian.”

Pada 2021 dan 2022, tercatat ada 11 titik normalisasi dengan berbagai hitungan anggaran. Sungai Batuniti-Desa Tulamben, Sungai Belong-Desa Ban, Sungai Buhu, Sungai Petiwasan-Manggis, Sungai Sayong-Kubu, Sungai Sehe-Abang, dan Sungai Wates-Tianyar Tengah dianggarkan Rp 200 juta. Sementara itu Sungai Dalem Hulu dianggarkan 150 juta. 

Namun, pada 2022 pemerintah hanya melakukan normalisasi di Sungai Buwatan, Sungai Deling-Kubu, dan Sungai Ketes-Abang. Untuk 2023, proyek normalisasi nihil karena terkendala anggaran. 

“Sungai Ketes ada usulan, cuma belum direalisasikan menunggu ketersedian anggaran.” kata Neke Krisna Yana dari BWS Bali Penida. “Tahun 2023 ini ada aliran Sungai Buhu yang dinormalisasi. Nanti akan kita survei lagi kondisi sungai di Karangasem.”

Liputan ini adalah kolaborasi antara wartawan media di Bali dengan pewarta warga yang didukung oleh Kurawal Foundation.

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Tim Liputan Bali

    Krisna Pradipta

  • Penyumbang Bahan

    Karangasem

    Ni Ketut Juniantari

    I Gede Rai Astrawan

    Saiful

    Jembrana

    I Made Prasetia Aryawan

    Putu Parta Adiguna

    Kadek Estu Jendi Phallopy

    Tabanan

    Juliadi

    Irma Yudistirani

    Ni Komang Yuko Utami

    I Putu Gede Rama Paramahamsa

  • Editor

    Luh De Suriyani

    Anton Septian

  • Multimedia

    Riyan Akbar

    Krisna Pradipta

    Rizkika Syifa

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya