Tempo, Kupang – Pembangunan rumah milik Absalom Tameo di Kelurahan Manulai II, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu ditengarai bermasalah. Rumah yang ditinggali Absalom bersama anak dan istrinya itu merupakan bagian dari Program Bedah Rumah Pemerintah Kota Kupang. Hingga kini, rumahnya gelap gulita tak dialiri listrik.
Rumah Absalom memang tampak baru dibangun dan berukuran 6x6 meter. Terlihat alakadarnya, rumah tersebut tidak diplester bagian luar dan dalam. Mereka hanya memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi tanpa plafon.
Absalom sebenarnya sudah memiliki rumah di Oeba, Kota Kupang. Namun Absalom tetap tercatat sebagai penerima bantuan program bedah rumah. Proyek pembangunan makin terasa ganjil karena bukannya tidak “dibedah” atau renovasi, melainkan membangun dari awal.
Bantuan yang diterima juga lumayan fantastis, Rp 80 juta. Padahal, rumah-rumah lain hanya menerima bantuan rata-rata Rp 10 juta. “Kami sebelumnya tinggal di Oeba, setelah dapat bantuan dan rumah jadi sekitar April 2021 baru tinggal disini,” kata Ani Tameo, anak Absalom kepada wartawan dari Klub Jurnalis Investigasi NTT saat ditemui di kediamannya pada Kamis, 22 September 2022.
Situasi berbeda dialami Kristofel Mbeo. Ia tidak pernah mengusulkan atau mengajukan untuk mendapat bantuan bedah rumah Pemkot Kupang. Namun dia terpilih sebagai salah satu penerima bantuan bedah rumah tersebut. “Saya memang tidak pernah mengajukan permohonan, tapi tiba-tiba beberapa orang datang dan mengaku tim yang akan mengerjakan rumah kami,” kata Christofel.
Seorang janda, Sabrina Havihanny Soeek, 66 Tahun, warga Kelurahan Merdeka, Kecamatan Kota Lama juga mengeluhkan kondisi rumahnya usai dibedah Pemkot Kupang. Karena tidak diplester, lantai rumah hanya berupa bekas semen kasar yang dirapikan. Selain itu rumah tersebut tanpa adanya plafon bagian dalam dan luar rumah. Dinding dalam dan luar rumah tidak. Pintu rumah sebagai akses masuk keluar setiap ruangan rumah tersebut hanya terbuat dari tripleks bingkai kayu yang dibentuk menyerupai pintu.
Rumah itu dianggap tak layak huni. Pasalnya, pintu rumah tak bisa dikunci, sehingga saat malam daun pintu harus diganjal kayu atau batu agar tidak terbuka lebar agar orang asing tak bisa masuk ke rumah.
Selain pintu yang tak bisa ditutup, atap rumah tersebut juga menyisakan serbuk halus. Serbuk itu terhirup penghuni rumah. Akibatnya menimbulkan beberapa jenis penyakit pada anggota keluarga seperti batuk-batuk dan mata menjadi merah. Proses ini sudah berlangsung sejak mereka menempati rumah tersebut dari minggu ke dua bulan agustus tahun 2021.
Rumah Sabrina yang baru dibangun itu diketahui merupakan bantuan pemerintah Kota Kupang melalui Program Bedah Rumah pada tahun 2020. Data Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kota Kupang, dalam dokumen perubahan anggaran tercantum program pengembangan perumahan dengan sub program rehabilitasi rumah tidak layak huni bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Dengan rincian perhitungan, volumenya sebanyak 500 unit dengan harga satuan Rp 10 juta dengan total anggaran Rp 5 Miliar. Setelah perubahan volumenya dihitung per paket dengan nilai yang bervariatif berdasarkan kontrak unit price.
Sabrina harusnya senang dengan bantuan Bedah Rumah Pemkot Kupang itu. Namun dia kecewa dengan kualitas rumah yang dikerjakan yang jauh dari layak. Karena walaupun rumah sebelumnya terbilang kurang layak huni, namun dinilai masih lebih layak dari rumah dari hasil program bedah rumah ini. “Saya bukannya tidak tahu berterima kasih, tapi kondisi rumah ini membuat kami kecewa dan saya merasa tidak nyaman dengan rumah baru ini,” kata Sabrina Soeek.
Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kupang sudah membentuk Panitia Khusus (Pansus) dugaan pelanggaran dalam Program Bedah Rumah Pemerintah Kota Kupang. Program tersebut dianggap tak sesuai Peraturan daerah (Perda) yang ditetapkan. “Ditemukan bahwa mekanisme penganggaran sampai dengan pelaksanaan pembangunan tidak menunjukan asas keadilan dan kewajaran dalam besaran anggaran dan kualitas pekerjaan, untuk itu direkomendasikan kepada pemerintah untuk segera melakukan audit,” kata Ketua Pansus DPRD Kota Kupang, Telenmark Daud.
Perda itu merupakan program rehabilitasi rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tahun anggaran 2020. Program ini dibahas dan disepakati anggaran sebesar Rp 5 miliar dan di-refocusing menjadi Rp 2,5 miliar dengan perincian kegiatan peningkatan kualitas rumah, dan alokasi anggaran setiap rumah sebesar Rp10 juta. Rencananya, penerima manfaat harusnya mencapai 250 rumah.
Dalam pelaksanaannya, anggaran tersebut dibagi dua dengan rincian, bedah rumah sebanyak 42 rumah dan peningkatan kualitas rumah sebanyak 30 rumah, sehingga totalnya hanya 72 rumah. Untuk peningkatan kualitas rumah pun ditemukan nilai bantuan yang bervariatif dari yang terendah sebesar Rp 4 juta dan nilai tertinggi Rp 12,9 juta.
Perda menyebutkan bahwa bantuan hanya senilai Rp 10 juta per rumah. Sedangkan pembangunan 42 rumah, tidak pernah dilakukan pembahasan di tingkat DPRD, mulai dari perencanaan, pengawasan. Pembangunan rumah itu tidak memiliki petunjuk teknis dan siapa penerima bantuan rumah tersebut, sehingga besaran bantuan menjadi bervariasi antara Rp 50 juta hingga Rp 82,5 juta.
Sesuai hasil uji petik di beberapa lokasi pembangunan bedah rumah antara lain kawasan Penfui, Maulafa dan Manulai II ditemukan bahwa mekanisme penganggaran sampai dengan pelaksanaan pembangunan tidak menunjukkan asas keadilan dan kewajaran dalam besaran anggaran dan kualitas pekerjaan. Pansus DPRD Kupang kemudian merekomendasikan pemerintah segera melakukan audit internal melalui Inspektorat Daerah Kota Kupang. “Saya tidak bisa katakan sekarang bahwa ada perbuatan melawan hukum, tetapi perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut, karena patut diduga ada pelanggaran itu,” kata Tellendmark Daud.
Dalam dokumen Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota Kupang tahun anggaran 2020, tercatat rekomendasi pansus ditindaklanjuti. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTT menemukan fakta pelaksanaan perencanaan anggaran yang sebelumnya Rp 10 juta berubah menjadi Rp 50 juta per unit.
Ada pula temuan kekurangan volume pada paket pengadaan kegiatan bedah rumah bagi MBR yang bersumber dari DAU, dan denda keterlambatan sebesar Rp 23,1 juta dan tertib administrasi sejak perencanaan anggaran sampai dengan pelaksanaan kegiatan. “Sesuai LKPj, hanya 42 penerima bedah rumah dan 30 penerima peningkatan kualitas rumah. Ini berbeda jauh dari target yang ada, sehingga kami merasa bahwa ada pelanggaran terhadap aturan dan pemanfaatan anggaran,” kata Tellend.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Benny Sain saat dikonfirmasi wartawan mengaku program kerja pada dinasnya sudah sesuai dengan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) Dinas PRKP Kota Kupang tercantum nama program pengembangan perumahan dengan jenis kegiatan rehabilitasi rumah tidak layak huni bagi MBR dengan target kinerja 500 unit rumah dengan total Rp 5 miliar.
Namun dalam DPA setelah dirasionalisasi sebesar Rp 2,5 miliar, maka belanja modal pengadaan rehabilitasi rumah bagi MBR berubah menjadi satuan paket tidak per unit. Menurut dia, jika hanya rehabilitasi rumah senilai Rp 10 juta untuk tiap rumah, maka nilai manfaatnya tidak nampak.
Apalagi dengan kondisi rumah masyarakat yang tidak memungkinkan kalau hanya direhabilitasi sehingga program bangun baru rumah juga dilaksanakan dengan nominal Rp 50 juta. Pelaksanaan program dengan besaran anggaran senilai Rp 2,5 miliar tersebut dibagi dua. Yaitu bedah rumah sebanyak 42 rumah yang menelan anggaran sebesar Rp2,1 miliar lebih.
Berikutnya adalah peningkatan kualitas rumah sebanyak 30 rumah yang menghabiskan anggaran senilai Rp 306,7 juta. Total kedua proyek tersebut senilai Rp 2,4 miliar lebih. “Proyek ini kita kerja sesuai kontrak unit price, kalau nilainya variatif, karena memang bukan kerja di tanah lapang dan datar. Intinya kerja sesuai DPA, kalau rehab-rehab kecil itu tidak efektif, anggaran terbuang percuma,” ucap Benny Sain.
Dia menjelaskan kesepakatan pola kerja berdasarkan kontrak harga satuan (unit price). Kontrak unit price mempunyai kelemahan dalam penentuan biaya total proyek secara pasti, karena hanya dapat diketahui setelah proyek selesai dikerjakan.
Ia beralasan menggunakan pola kontrak unit price karena lokasi pembangunan rumah baru bukan terpusat pada satu area atau tanah lapang terbuka yang datar. Tapi sesuai kondisi dan kontur rumah warga yang kondisi lokasi tanahnya miring, sehingga perlu urukan dan pondasinya berbeda. “Intinya anggaran Rp 50 juta, kita kerja senilai itu, kecuali jika anggaran Rp 50 juta lalu kita kerja hanya Rp 10 juta. Itu salah masuk bui. Pemeriksaan BPK juga ada dan selesai, apalagi yang mau diragukan,” tutur Benny.
Berdasarkan data LPSE Kota Kupang, proyek senilai Rp 2,5 miliar diikuti oleh empat perusahaan yakni CV Tuak Mandiri, Sinar Naga Mas, Kencana Sakti dan CV Kurnia Sejati Utama, yang kemudian dimenangkan oleh CV Kurnia Sejati Utama (KSU) milik Yacob Misa yang beralamat di Jalan Fatutuan RT03/RW06, Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, dengan nilai penawaran Rp 2,4 miliar.
Kontraktor CV Kurnia Sejati Utama, Yakob Misa, saat ditemui wartawan memang mengaku perusahaan itu miliknya. Namun dia bukan pelaksana proyek karena tengah sakit. Ia memberi kuasa proyek kepada temannya, Evan Taneo. “Beta (saya) waktu itu sakit, jadi kawan yang maju pake perusahaan, memang beta sonde (tidak) bisa lagi karena sakit dan opname di rumah sakit. Jadi kuasa direkturnya Om Even Taneo, dan pakai CV saya,” kata Yakob.
Saat ditemui, Evan Taneo membantah merenovasi rumah milik Sabrina Havihanny Soeek di Kelurahan Merdeka. “Rumah itu bukan kami yang kerja. Lokasi di Kelurahan Merdeka tidak ada,” tegasnya.
Namun dia mengakui mengerjakan rumah milik Absalom, dan sesuai RAB tidak ada pemasangan jaringan listrik atau rehab listrik. “Kalau ini betul, Pak Jack yang kerja, tapi memang RAB tidak ada pasang listrik,” tegasnya.
Dia mengatakan pada tahun 2020 mereka mendapat pekerjaan 74 unit rumah dengan anggaran Rp 2,5 miliar. Anggaran itu untuk membangun 42 unit rumah baru dengan alokasi Rp 50 juta per rumah, dan sisanya 32 unit renovasi dengan anggaran bervariasi. Antara Rp 1 juta hingga Rp 8 juta. “Dana sebesar itu sudah termasuk PPN/PPH, biaya tukang (ongkos kerja) dan pembelian bahan bangunan rumah,” ia menjelaskan.
Saat pelaksanaan di lapangan, ada rumah yang ukurannya tidak sesuai gambar sehingga proyek berimbas terhadap anggaran Rp 50 juta tersebut. “Kalau volume berkurang berarti uangnya tidak sampai Rp 50 juta lagi. Nah kelebihan itu ada pekerjaan rehab untuk masyarakat yang rumahnya rusak, atau tidak layak. Ada yang ganti seng, pasang plafon dan plester serta lantai rabat untuk kekurangan,” ucapnya.
Dia mengaku proyek tersebut sudah dilakukan serah terima sementara pekerjaan (PHO), serah terima akhir pekerjaan (FHO) serta telah dilakukan audit oleh BPK, namun belum dibayarkan. Evan tidak mengetahui kendala apa sehingga belum dilunasi, padahal sudah masuk dalam DPA tahun 2022.
Pekerjaan program bedah rumah tahun 2020 itu selesai dikerjakan pada Februari 2021, dan dilakukan PHO, FHO. “Yang belum bayar itu seingat saya masih ada Rp 500 juta. Waktu itu dari Inspektorat ada rekomendasi untuk denda keterlambatan dan pemeriksaan, tapi tidak tahu apa yang belum bayar,” ujar Evan.