Parmi merupakan petani penggarap. Perempuan dua anak ini merupakan generasi kedua yang menggeluti kerja menggarap sawah. Lahan pertanian yang dia garap bukan pula miliknya. Sawah seluas itu milik warga lain yang masih satu banjar dengan Parmi yang saat ini tinggal di Singaraja.
Piala Dunia 2022 telah memasuki fase gugur. Prancis dan Argentina menjadi tim unggulan yang tersisa di babak semifinal.
Di sisi lain, Piala Dunia kali ini juga memunculkan kejutan-kejutan. Salah satunya ialah kegagalan dua tim unggulan, Jerman dan Belgia, lolos ke fase 16 besar.
Kedua tim tersebut punya reputasi mentereng, dengan nilai skuad termahal dibanding tim-tim lainnya di grup mereka masing-masing. Pemain-pemain Jerman dan Belgia juga berlaga di liga-liga Eropa, yang disaksikan jutaan orang di seluruh dunia.
Ini menandakan bahwa bermain di level klub memiliki atmosfer yang berbeda dibanding tim nasional. Klub bisa meraih kesuksesan dengan menjuarai liga, yang berlangsung lebih panjang. Sedangkan kesuksesan tim nasional hanya dapat diukur dengan menjuarai turnamen.
Turnamen seperti Piala Dunia terdiri dari fase penyisihan grup dan babak gugur. Berdasarkan catatan Tempo, sejak Piala Dunia 1998, tim-tim yang melaju hingga babak terakhir—final atau perebutan tempat ketiga—menjalani tujuh laga. Tiga laga di antaranya pada fase penyisihan grup, sedangkan empat laga lainnya pada babak gugur.
Pada babak grup, para peserta untuk meraih poin terbanyak sebagai tim terbaik dengan tiga kemungkinan hasil pertandingan: menang, kalah, atau seri. Sekilas babak ini sama seperti liga. Namun, ketika mereka melaju ke fase gugur, kemungkinan hasil itu berkurang menjadi dua. Menang dan maju ke babak selanjutnya, atau kalah dan tersingkir. Dengan kata lain, pilihannya hanya hidup atau mati.
Bagaimana Perbedaan Level Tim Nasional dan Klub?
Steve Douglas, jurnalis olahraga Associated Press, menulis bahwa pragmatisme adalah jaminan tim nasional untuk menjuarai turnamen. Artinya, tim yang ingin sukses harus kebobolan sesedikit mungkin, dan memanfaatkan setiap peluang menjadi gol. Ia menjadikan Timnas Prancis saat menjuarai Piala Dunia 2018 sebagai contoh.
Saat itu, Prancis hanya mencatatkan rata-rata penguasaan bola 48 persen. Namun Prancis berhasil mencatatkan 14 gol. Douglas menulis bahwa mereka bertahan dengan rapat dan sangat efisien dalam penyelesaian akhir. Mereka juga efektif memanfaatkan bola mati untuk mencetak gol.
Bermain pragmatis lebih menguntungkan bagi tim nasional lantaran format kompetisi turnamen yang mereka jalani. Alhasil, tim nasional harus bermain seefektif mungkin untuk melaju ke babak selanjutnya.
Salah satu indikator adalah expected goal (xG), metrik yang mengukur seberapa banyak peluang satu tim untuk mencetak gol. Tim nasional hanya menghasilkan expected goal (xG) senilai 1,31 setiap pertandingan. Sedangkan pada level klub, xG yang tercipta sebanyak 1,36. Dengan kata lain, klub lebih banyak menciptakan peluang dibanding tim nasional.
Namun, tim nasional lebih efektif dalam mengkonversikan peluang tersebut menjadi gol. Opta mencatat rata-rata gol pada satu pertandingan level internasional dalam lima musim terakhir mencapai 1,73, sedangkan level klub hanya menghasilkan 1,39 gol dalam setiap pertandingan.
Selain itu, tim nasional juga lebih berhati-hati, dengan menghasilkan rata-rata kesalahan berbuah tendangan sebanyak 0,15 setiap pertandingan. Sedangkan di level klub, rasio kesalahan tersebut mencapai 0,24. Namun, Opta juga menggarisbawahi bahwa 44 persen kesalahan di pertandingan internasional dapat berujung pada tendangan yang dikonversikan menjadi gol, berbanding 38 persen di level klub.
Kesalahan tersebut memang berdampak signifikan bagi kesuksesan tim di turnamen sekelas Piala Dunia. Para peneliti Karlsruhe Institute of Technology (KIT), Jerman dalam jurnal Frontiers in Psychology yang terbit pada 2021 menyebut bahwa faktor paling berpengaruh bagi kesuksesan tim adalah kesalahan bertahan (defensive errors), yang mengakibatkan bola terebut, sehingga dapat berakibat pada tembakan atau gol
Mereka menemukan bahwa setiap kesalahan bertahan dapat mengurangi peluang menang tim sebesar 10,25 persen, tertinggi dibanding faktor-faktor lainnya. Tim peneliti tersebut mengambil sampel 128 pertandingan dari Piala Dunia 2014 dan 2018 sebagai objek penelitian.
Statistik para juara dalam enam edisi Piala Dunia terakhir di bawah menjadi salah satu cerminan bentuk pragmatisme tersebut.
Para juara tersebut berusaha untuk seminimal mungkin untuk kebobolan, seperti Prancis (1998), Brazil (2002), Italia (2006), dan Spanyol (2010). Prancis bahkan menjadi tim di Piala Dunia 1998 dengan catatan kebobolan setiap pertandingan paling sedikit dibanding 31 tim lain. Sedangkan Brazil, Italia, dan Spanyol menempati peringkat kedua tim dengan kebobolan setiap pertandingan paling sedikit di masing-masing edisi.
Sedangkan catatan kebobolan per pertandingan Jerman (2014) dan Prancis (2018) tidak terlalu mentereng. Tetapi kekurangan itu tertutupi fakta bahwa kedua tim tersebut merupakan salah satu tim dengan gol per pertandingan terbanyak di masing-masing edisi.
Di sisi lain, rata-rata gol setiap pertandingan Spanyol pada 2010 kalah mentereng dibanding lima tim juara lainnya. Jumlah gol yang sedikit ini tidak terlepas dari fakta bahwa rata-rata gol pada Piala Dunia 2010 merupakan yang terendah kedua setelah Piala Dunia 1990.
Statistik di atas tentu masih belum cukup menjelaskan seberapa signifikan perbedaan permainan di level klub dengan tim nasional. Oleh karena itu, perbandingan statistik serangan klub dengan tim nasional di bawah dapat menjadi referensi yang lebih lengkap untuk memahami perbedaan tersebut. Tempo memilih Manchester City dan PSG, dua klub yang menjuarai liga masing-masing musim lalu sebagai sampel klub, dan Timnas Prancis dan Inggris, dua tim unggulan yang melaju ke babak gugur, sebagai representasi timnas.
Dua tabel di atas menunjukkan bahwa permainan menyerang di level klub lebih masif dibanding level timnas. Gabungan rata-rata penguasaan bola Manchester City dan PSG di liga masing-masing menandakan bahwa mereka lebih berani untuk menguasai bola lebih lama.
Namun, ada dua metrik yang menunjukkan bahwa serangan di level tim nasional lebih efektif. Yakni gol serta rasio gol per tendangan. Gabungan rata-rata dua metrik itu milik Prancis dan Inggris di Piala Dunia 2022 lebih besar dibanding gabungan rata-rata milik City dan PSG di liga masing-masing pada musim lalu.
Dari 38 pertandingan yang dijalani dua klub itu musim lalu, rata-rata gabungan milik mereka hanya mampu mencatatkan 2,4 gol per pertandingan. Sedangkan, Inggris dan Prancis menghasilkan rata-rata gabungan 2,6 gol setiap pertandingan dari empat laga yang telah mereka jalani.
Meski gabungan peluang gol Prancis dan Inggris lebih kecil dibanding gabungan milik City dan PSG, tetapi dua timnas tersebut lebih efektif dalam mengonversikan tendangan menjadi gol. Rasio rata-rata gabungan gol per tendangan Prancis dan Inggris bernilai 19,1 persen. Sedangkan City dan PSG hanya mampu menghasilkan rasio rata-rata gabungan sebesar 14,3 persen.
Pada aspek bertahan, tim nasional juga bermain lebih defensif. Meski memiliki rata-rata kebobolan yang sama, tetapi tim nasional lebih ketat dalam mencegah peluang gol (xG) tim lawan dan kesalahan berbuah tendangan dibanding klub. Tim nasional juga lebih unggul dalam aksi-aksi defensif seperti tekel, intersep, dan sapuan.
Pelatih Inggris, Gareth Southgate, pun mengakui bahwa keseimbangan permainan lebih penting bagi tim untuk tetap dapat bertahan di turnamen. Hal itu ia sampaikan pada konferensi pers sesudah Inggris kalah 0-4 dari Hungaria di kandang pada lanjutan penyisihan grup UEFA Nations League pada Juni lalu.
Saat itu, ia dikritik karena terlalu konservatif dan tidak memaksimalkan potensi pemain-pemain serang Inggris.
“Dengan klub, mungkin jika Anda berada di puncak (performa), dan Anda sudah lama bekerja sama dengan para pemain, Anda bisa memainkan permainan yang lebih menyerang,” katanya. “Tapi saya pikir, bahkan tim-tim top, mereka sangat bagus dalam bertahan, mereka bagus dalam transisi, keseimbangan segalanya berjalan dengan baik.”