Longform

Awas, Siasat Pinjaman Negeri Panda

Jum'at, 22 Oktober 2021

Pinjaman Cina untuk proyek pembangunan infrastruktur dapat jadi bom waktu bagi keuangan negara jika terjadi wanprestasi dalam pembayaran.

Oleh Faisal Javier

tempo

Pada 6 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi memperkenankan penggunaan APBN dalam pembiayaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Keputusan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 93 Tahun 2021 itu mengubah perpres serupa tentang kereta cepat yang diteken pada tahun 2015.

Keputusan itu pun memantik kontroversi. Ekonom senior Faisal Basri pun mengkritik penggunaan dana APBN untuk proyek itu yang menurutnya mubazir. “Diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal,” katanya dalam sebuah dialog virtual, Rabu, 13 Oktober 2021.

Anggaran proyek kereta cepat diperkirakan membengkak 40 persen dari biaya awal. Awalnya proyek ini membutuhkan dana US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,52 triliun. Belakangan, dalam perhitungan terbaru, biayanya kini membengkak jadi US$ 8 miliar atau senilai Rp 122,58 triliun.

Lembaga riset asal Amerika Serikat AidData dalam laporan risetnya, Banking on the Belt and Road yang rilis September lalu, turut menyorot proyek kereta cepat itu. AidData menyebut proyek itu berpotensi menjerumuskan pemerintah dalam utang besar terhadap Cina.

Proyek yang mendapat pinjaman dengan komposisi hingga 75 persen dari China Development Bank (CDB) itu mulanya berjalan dengan skema business-to-business antara perusahaan BUMN Indonesia dan Cina. Kemudian, bagi Aiddata, skema itu tidak tepat karena fungsi kereta cepat sebagai transportasi publik tentu membutuhkan dukungan anggaran negara. 

Penilaian itu pun terbukti seiring dengan kebijakan Jokowi menyetujui penggunaan APBN. AidData lantas menjadikan proyek kereta cepat itu sebagai contoh penyaluran utang tersembunyi (hidden debt) yang menjerat negara-negara berkembang. 

Jurus Tanpa Bayangan

Selain proyek kereta cepat, laporan itu menyebut Indonesia terjerat utang tersembunyi kepada Cina sebesar US$ 17,28 miliar atau sekitar Rp 245,7 triliun. Jumlah itu setara dengan 1,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama 2000-2017. Utang itu terkait inisiatif megaproyek Belt and Road Initiative (BRI). 

Selain itu, Indonesia juga menanggung pinjaman sebesar US$ 4,42 miliar dalam periode yang sama lewat skema official development assistance (ODA) dan US$ 29,96 miliar melalui skema other official flows (OOF). 

Berdasarkan definisi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dikutip AidData, ODA merupakan skema pinjaman yang hampir seluruhnya merupakan pinjaman lunak (besaran komponen hibah minimal 25 persen) dan digunakan untuk tujuan pembangunan. Secara luas, ODA juga dapat diartikan sebagai “bantuan pembangunan”.

Sementara OOF merupakan skema pinjaman yang digunakan atau tidak digunakan untuk kepentingan pembangunan. Pinjaman lunak dalam skema ini hanya sebagian kecil, dengan besaran komponen hibah di bawah 25 persen.

Menurut AidData, Indonesia merupakan negara penerima ODA Cina terbesar keempat, dengan nilai US$ 4,42 miliar atau sekitar Rp 63 triliun selama 2000-2017. Indonesia juga merupakan negara penerima OOF Cina terbesar keenam, jumlahnya mencapai US$ 29,96 miliar atau sekitar Rp 426,7 triliun dalam periode yang sama. Di tingkat Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Indonesia menjadi negara dengan penerima ODA dan OOF Cina tertinggi.

Proyek infrastuktur di Indonesia yang mendapat kucuran dana terbanyak dari kreditur Cina bukanlah kereta cepat Jakarta-Bandung, melainkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan. Pembangkit listrik itu dibangun oleh gabungan perusahaan PT. Kayan Hydro Energy dan China Power, dan butuh modal US$ 17,8 miliar atau sekitar Rp 253,5 triliun. Selain itu, pembangkit listrik ini pun digadang-gadang sebagai PLTA terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi hingga 9.000 megawatt.

Kehadiran inisiatif BRI sejalan dengan perubahan pola pemberian pinjaman dari Cina. Menurut AidData, proporsi pinjaman sektor resmi Cina untuk perusahaan proyek khusus (SPV), perusahaan negara, bank negara, dan lembaga swasta pada tahun 2000 hanya sekitar 31 persen. Namun pada 2017—tahun kelima pelaksanaan inisiatif BRI—melonjak jadi 68 persen. Sementara proporsi pinjaman Cina untuk lembaga pemerintah menurun dari 55 persen di tahun 2000 menjadi 30 persen di tahun 2017. 

Hal serupa tampak pula pada proporsi utang pemerintah dan swasta Indonesia terhadap Cina seperti yang dicatat Bank Indonesia (BI). Sejak 2015, utang swasta Indonesia terhadap Cina nilainya selalu konstan sekitar 10-15 kali lipat utang pemerintah kepada Negeri Tirai Bambu.

Utang non-pemerintah terhadap kreditur Cina ini sekilas tidak mengkhawatirkan bagi keuangan negara karena nilainya tidak muncul dalam neraca pemerintah. Tetapi menurut AidData, terdapat sejumlah kasus kreditur Cina memberi pinjaman pada pihak swasta dan SPV di beberapa negara sambil menuntut jaminan pemerintah negara itu. Apabila perusahaan tersebut bangkrut atau proyek yang dibangun tidak menguntungkan, maka utang itu otomatis menjadi utang pemerintah negara itu.

Praktik lain yang kian populer adalah pemberian pinjaman terhadap perusahaan swasta ataupun SPV tanpa menuntut jaminan negara. Namun, kreditur Cina meminta jaminan pemerintah atas kepemilikan saham perusahaan swasta atau SPV jika terjadi kegagalan pembayaran utang. Sekilas, tak ada masalah dalam praktik ini. Tetapi menurut AidData sebenarnya praktik ini sama saja dengan jaminan pembayaran pinjaman yang dilakukan pemerintah dengan nilai yang tidak perlu diungkap.

Praktik-praktik itu sekilas secara intrinsik tidak membahayakan kepentingan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Namun, praktik itu meningkatkan kekhawatiran tentang utang tersembunyi itu. Muncul pertanyaan apakah pemerintah negara-negara berkembang secara efektif memantau dan mengelola utang tersembunyi itu.

Dengan rasio utang tersembunyi terhadap PDB sebesar 1,6 persen, Indonesia bisa saja masih merasa aman. Ini karena tambahan utang tersembunyi itu masih belum signifikan mendongkrak utang Indonesia hingga melewati ambang batas rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen sesuai Pasal 12 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tapi contoh yang dipaparkan AidData berikut dapat jadi pertimbangan Indonesia agar lebih waspada.

Becermin dari Laos

Proyek kereta api Laos-Cina jadi salah satu contoh penting dari potensi bahaya utang tersembunyi. Untuk mendanai proyek kerja sama pemerintah-swasta senilai US$ 5,9 miliar, tiga perusahaan BUMN Cina dan satu perusahaan BUMN Laos bersepakat membentuk usaha bersama Laos-China Railway Company Limited (LCRC), dengan rincian 70 persen saham dikuasai kongsi Cina, dan 30 persen saham dimiliki BUMN Laos. Empat perusahaan itu menanggung 40 persen pembiayaan proyek, sementara sisanya didanai oleh LCRC dengan paket pinjaman keuangan senilai US$ 3,54 miliar dari China Eximbank.

Pemerintah Laos tidak mengeluarkan jaminan pemerintah atas utang LCRC itu. Selain itu, perusahaan negara Laos bukanlah pemilik saham mayoritas. Sehingga, proyek ini sekilas bukan ancaman bagi neraca keuangan Laos. Namun menurut AidData, potensi utang tersembunyi muncul karena proyek ini “terlalu besar untuk gagal”. Apabila nantinya jalur kereta api ini tidak menguntungkan, pemerintah Laos berpotensi menghadapi tekanan politik untuk mengucurkan pendanaan (bail out) ke proyek ini.

Meski struktur perusahaan LCRC mayoritas dikuasai kongsi Cina, tidak terdapat kejelasan siapa pemegang saham yang paling bertanggung jawab apabila proyek ini tidak menguntungkan secara finansial dan atau terjadi kegagalan pembayaran utang ke China Eximbank. Pemerintah Laos akan aman apabila kongsi Cina bertekad mencegah proyek ini gagal secara finansial. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka Laos harus menanggung sepenuhnya beban utang LCRC senilai US$ 3,54 miliar atau bahkan lebih.

Inilah letak utama tantangan dari utang tersembunyi. Karena sifatnya yang tersirat, suatu negara justru tidak akan menyadari bahwa utang ini bisa saja muncul di masa depan dan dapat membebani neraca keuangan. Utang tersembunyi ini dalam istilah akuntansi dikenal pula sebagai “kewajiban kontijensi”.

Tentu kewajiban kontinjensi ini berbahaya bagi negara-negara dengan tingkat utang pemerintah yang tinggi. Laos lagi-lagi menjadi contoh. Tanpa memasukkan kewajiban kontinjensi pun, rasio utang pemerintah Laos terhadap PDB berada di antara 55-60 persen. Negara-negara dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB di atas 50-60 persen berpotensi besar mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. AidData memperkirakan kewajiban kontijensi Laos nilainya sekitar 35 persen dari PDB negara itu.

Utang tersembunyi itu telah membunyikan alarm peringatan bagi Laos. Pada Agustus 2020, lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat kredit internasional Laos dari B3 ke Caa2—satu tingkat di atas peringkat gagal bayar. Hal serupa juga dilakukan lembaga pemeringkat lain, Fitch Ratings, pada September 2020. Fitch Ratings pun menyebut potensi kewajiban kontijensi sebagai alasan utama mereka menurunkan peringkat Laos.

Mencengkeram Asia Tenggara

Selain Indonesia dan Laos, AidData menemukan ada sejumlah negara Asia Tenggara lain yang juga terjerat utang tersembunyi terhadap Cina. Antara lain Vietnam sebesar 2,8 persen dari PDB, Myanmar (7,2 persen), dan Brunei Darussalam (13,5 persen).

Giuran utang Negeri Panda juga membius negara-negara di kawasan lain. Dikutip dari Koran Tempo edisi 13 Oktober 2021, Sri Lanka terpaksa harus menyerahkan konsesi pengelolaan Pelabuhan Hambantota selama 99 tahun kepada perusahaan Cina lantaran kegagalan pembayaran pinjaman US$ 361 juta kepada kreditur Cina. Bahkan angkatan laut Cina pun dapat ke wilayah perairan Sri Lanka atas undangan negara itu, sehingga Cina dapat semakin menancapkan pengaruhnya di kawasan Samudra Hindia.

Negara lain yang mengalami hal serupa adalah Kenya. Negara di kawasan Afrika timur itu terjerat utang US$350 juta kepada Cina, yang merupakan modal pembangunan jalur kereta penghubung kota pelabuhan Mombasa. Karena arus penumpang dan barang di kawasan itu sepi, pengelola pun kesulitan mengembalikan biaya investasi, sehingga Cina berpotensi menguasai infrastuktur itu.

Namun, studi AidData yang rilis pada tahun 2018 menyebut bahwa sebenarnya proyek investasi Cina juga berdampak positif. Investasi Cina mengarah pada pemerataan ekonomi dengan menambah akses pasar dan lapangan pekerjaan yang dapat, “mengurangi risiko kerusuhan berdarah.”

“Pengamat dan politisi sering mengklaim Beijing sebagai aktor yang keji dan jahat,” kata Direktur Eksekutif AidData, Bradley C. Parks dikutip dari DW. Tapi dengan mendorong pemerataan ekonomi, “Investasi Beijing turut mengentaskan salah satu akar masalah ketidakstabilan di seluruh dunia dan memudahkan negara Barat menanggulangi ancaman dan krisis global.”

Di saat yang sama, AidData menyebut bahwa pinjaman Cina untuk pembangunan infrastruktur negara-negara berkembang juga memiliki potensi jerat utang.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adinegara mengingatkan pemerintah untuk tetap waspada terhadap potensi utang tersembunyi Cina. 

“Saat ini rasio utang pemerintah yang tercatat 40 persen dari PDB. Padahal kalau dijumlah dengan hidden debt, rasio utang yang sesungguhnya bisa lebih besar,” katanya dalam Koran Tempo edisi 13 Oktober 2021. Apalagi utang itu pun pada akhirnya bakal jadi beban pemerintah bila terjadi wanprestasi.

Selain itu, risiko kerugian pada perusahaan BUMN yang mendapat pinjaman Cina untuk proyek infrastruktur dapat berdampak pada APBN dalam jangka menengah maupun panjang. Menurut Bhima, efeknya pun sangat berat, seperti pertambahan beban bunga pinjaman per tahun dan pelebaran defisit anggaran. 

“Padahal ketika konstruksinya selesai, pemerintah masih harus membayar biaya operasional yang tidak mungkin ditutupi dari pendapatan,” ujarnya. 

AidData menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah proyek infrastruktur BRI berkinerja buruk terbanyak di antara negara-negara lain. Jumlah proyek infrastruktur BRI di Indonesia yang tidak berjalan sesuai harapan mencapai 12 proyek dengan total nilai US$ 6,24 miliar atau sekitar Rp 88,9 triliun.

Ada sejumlah pertimbangan AidData dalam menilai kinerja infrastruktur BRI di suatu negara. Antara lain kegagalan bayar utang oleh peminjam, aset infrastruktur yang penggunaannya tidak maksimal atau kurang profit dari perkiraan, perusahaan bangkrut, dan kontraktor yang gagal memenuhi aspek penting dalam kontrak. Analisis AidData meyakini 10 persen dari keseluruhan proyek infrastruktur BRI masuk dalam kategori berkinerja buruk.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan tingkat utang Indonesia keseluruhan masih aman, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Menurutnya, Indonesia tergolong konservatif dalam pengelolaan utang Cina dibanding negara-negara lain. 

“Cina lebih banyak menanamkan modal, bukan utang,” katanya pada Koran Tempo edisi 13 Oktober 2021. “Jika ada perusahaan yang berutang, baik swasta maupun BUMN, itu menjadi tanggung jawab perusahaan, karena bukan utang pemerintah.”

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia