Tanpa mengobrak-abrik lemari arsip, sejumlah dokumen internal berhasil dikumpulkan oleh Frances Haugen. Lebih dari sepuluh ribu halaman dokumen internal Facebook berisi sejumlah masalah dan skandal didapat hanya dengan menelusuri jaringan sosial internal Facebook. Karyawan Facebook menggunakan jaringan media sosial versi perusahaan itu sebagai alat komunikasi kerja yang dinamakan Workplace selama kerja jarak jauh akibat pandemi Covid-19. Jaringan media sosial ini hampir identik dengan versi umum Facebook.
Dokumen-dokumen itu kemudian ia foto dengan ponselnya. Haugen sendiri merupakan manajer produk di perusahaan induk sejumlah media sosial itu. Namun, ia kini tidak lagi bekerja di sana.
Dokumen yang dikumpulkan Haugen itu kemudian diungkap oleh kolaborasi 17 organisasi pemberitaan Amerika. Dokumen itu kini dikenal dengan Facebook Papers.
Facebook Papers memberikan pandangan mendalam mengenai budaya internal Facebook, pendekatan yang dilakukan terhadap misinformasi dan moderasi ujaran kebencian, penelitian riset dari algoritma linimasa berita, hingga komunikasi internal. Haugen baru-baru ini juga bersaksi di depan Kongres tentang berbagai masalah dan kebijakan yang meresahkan Facebook. Menurut Haugen, banyak produk Facebook membahayakan anak-anak, memicu perpecahan, dan melemahkan demokrasi.
Selain itu, praktik pembiaran atas isu-isu sosial juga terjadi meski para eksekutif perusahaan, termasuk Mark Zuckerberg, mengetahui masalah itu. Salah satu contohnya, Facebook tinggal diam saat konten ujaran kebencian berkembang di Vietnam. Haugen mengatakan, Zuckerberg telah mengetahui hal tersebut, tetapi ia membiarkannya sehingga konten tersebut memperparah polarisasi sosial di Vietnam.
Alasan Facebook, mereka mengalami masalah keterbatasan linguistik. Namun Haugen menganggap bahwa pembiaran itu bukan kendala linguistik, melainkan konten ujaran kebencian justru memberikan keuntungan. Berdasarkan algoritma perusahaan, konten itu telah menciptakan interaksi yang hebat di platform. Ketiadaan kebijakan tentang pembatasan ujaran kebencian atau hoaks juga terjadi di Myanmar, Pakistan, serta Ethiopia. Padahal, negara-negara tersebut terdapat sejumlah besar pengguna Facebook sekaligus menghadapi risiko tinggi ketidakamanan.
“Ini karena ada keengganan di Facebook untuk mengakui bahwa mereka bertanggung jawab kepada siapa pun,” kata Haugen dikutip dari CNN Internasional pada Senin, 1 November 2021.
Ada dugaan, pembiaran juga dilakukan Facebook terkait gerakan menerobos Gedung Putih yang dilakukan pendukung Trump. Facebook disebutkan mengetahui tentang gerakan untuk menerobos Gedung Putih yang digalang secara online. Gerakan itu nyata menggunakan platform Facebook untuk mengatur dan menggerakkan pemberontakan yang berujung kekerasan. Namun, platform media sosial itu tidak bertindak menghentikan gerakan tadi sebelum meletus. Mereka baru berupaya membatasi penyebaran informasi saat peristiwa telah terjadi.
Ada pula laporan mengenai cara pelaku perdagangan manusia memanfaatkan platform Facebook untuk mengeksploitasi orang. Facebook disebutkan telah menyadari perdagangan manusia untuk dijadikan pembantu rumah tangga lewat platformnya sejak 2018. Namun, platform itu memilih untuk tidak bertindak. Setelah kabar perdagangan manusia terkuak dalam laporan investigasi BBC News Arabic diikuti ancaman Apple Inc. memblokir Facebook dan Instagram dari App Store pada 2019, Facebook baru menurunkan konten-konten bermasalah tersebut.
CEO Facebook Mark Zuckerberg merespons berbagai tudingan yang dialamatkan pada perusahaannya seiring kemunculan Facebook Papers. Dalam statusnya, Zuckerberg menilai tudingan-tudingan tersebut merupakan upaya untuk memberikan gambaran palsu tentang Facebook.
Menurut Zuckerberg, organisasi besar memang wajar jika dikritik. “Kritik beriktikad baik membantu kita menjadi lebih baik,” ujarnya. Zuckerberg mengklaim, Facebook memiliki budaya terbuka terhadap diskusi dan penelitian tentang pekerjaannya. Namun yang terjadi belakangan, menurut dia, justru muncul upaya terkoordinasi dan dengan sengaja ingin menjatuhkan perusahaan yang didirikannya itu.
Terkait produk-produknya yang dinilai berbahaya dan bermasalah, Zuckerberg mengaku memiliki program industri terkemuka untuk mempelajari efek produk yang dihasilkan dan memberikan transparansi. “Karena kami peduli terhadap hak pengguna,” ujarnya. Apalagi Facebook menduduki peringkat pertama di dunia media sosial dalam hal jumlah pengguna aktif terbanyak.
Selang sepekan dari heboh Facebook Papers, Facebook Inc. resmi berubah nama menjadi Meta Platforms Inc. Nama baru itu merupakan rebranding untuk perusahaan induk dari layanan media sosial Facebook, Instagram, dan aplikasi chat WhatsApp. Zuckerberg menjelaskan, ia ingin Facebook—sebelumnya dikenal sebagai perusahaan media sosial—kini telah bergeser jadi perusahaan yang berfokus pada metaverse. Sebab, perusahaannya memiliki visi masa depan menjadi perusahaan metaverse.
“Saat ini, merek kami terkait erat dengan satu produk sehingga tidak mungkin mewakili semua yang kami lakukan hari ini, apalagi di masa depan,” kata Zuckerberg. Berdasarkan data dari We Are Social, empat aplikasi yang berada di bawah Meta Platforms Inc. duduk dalam daftar lima aplikasi yang paling banyak digunakan di dunia.
Meta disebutkan berasal dari kata Metaverse. Zuckerberg berharap, Metaverse menjadi masa depan baru yang bisa diandalkan dalam bidang internet seluler. Perusahaan sudah menggelontorkan setidaknya USD 10 miliar atau setara Rp 141,6 triliun untuk membangun metaverse.
Dilansir The Verge, Zuckerberg menyadari bahwa rebranding ini dinilai mencurigakan karena diumumkan setelah rentetan kritik tanpa henti ditujukan ke perusahaan akibat bocoran dokumen internal yang diberikan mantan karyawannya kepada media. Tapi, Zuckerberg menegaskan, perubahan nama menjadi Meta tidak ada hubungannya dengan Facebook Papers.
“Tidak ada hubungannya dengan ini. Meskipun saya pikir beberapa orang mungkin ingin menghubung-hubungkannya. Saya pikir itu hal yang konyol,” kata Zuckerberg. Ia mengaku, rencana rebranding sudah dipikirkan perusahaan setelah Facebook membeli Instagram pada 2012 dan WhatsApp pada 2014.