Interaktif

tempo

LONGFORM / SENIN, 6 FEBRUARI 2023

Hidup Keras Minoritas

Beberapa kelompok Muslim minoritas mengalami persekusi di Indonesia. Banyak yang terusir dari rumah dan tanah mereka, ada pula yang dianiaya, bahkan dibunuh. Dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan.

Penulis

Krisna Pradipta

SAYA mengalami sekitar delapan kali serangan, dan berkali-kali pindah,” kata Syahidin, seorang penganut Islam minoritas, Ahmadiyah, mengenang perjalanan panjang yang membawanya ke Asrama Transito.

Syahidin dan keluarganya adalah satu dari 35 keluarga Ahmadi yang tinggal di Asrama Transito di Jl. Transito, Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah kompleks yang tadinya untuk tempat transit keluarga yang akan berangkat transmigrasi pada masa Orde Baru.

Berasal dari Sambik Elen, Lombok Utara, Syahidin dan keluarganya adalah bagian dari komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang terusir dari tanah mereka setelah massa menyerang rumah-rumah mereka dan menyebabkan seorang Ahmadi tewas pada 2001 karena dituding sesat. 

Tapi itu bukan yang terakhir. Persekusi seolah mengikuti ke mana pun mereka pergi. Hingga akhirnya, keluarga Syahidin memutuskan terus menetap di Transito yang mereka huni sejak 2006 hingga pemerintah membolehkan mereka keluar dan tinggal di rumah sendiri, tentu dengan dengan jaminan keamanan.

Komunitas Muslim minoritas lain, Syiah, juga tak bebas dari persekusi. Hatimah, Umi Kulsum, Rizkiatul Fitriyah atau Fitri, dan hampir 66 keluarga mantan penganut Syiah lainnya saat ini tinggal di rumah susun Puspo Agro di Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka terusir dari rumah-rumah mereka di Sampang, Jawa Timur 10 tahun silam.

Seperti Syahidin, mereka juga menjadi korban persekusi karena keyakinan. Masih lekat di ingatan Umi Kulsum dan Fitri insiden 26 Agustus 2012, saat massa menyerang rumah mereka dan rumah keluarga Syiah lainnya di Dusun Nangkernang, Karanggayam, Kecamatan Ombe, Sampang, Jawa Timur. "Kami bersembunyi di kebun, beberapa bersembunyi di pinggir kali." kata Umi Kulsum. Sekitar 48 rumah rusak akibat serangan itu, juga seorang warga Syiah tewas. 

Sempat ditampung di Gedung Olah Raga Sampang sekitar 10 bulan, mereka kemudian dipindah ke Puspo Agro hingga kini. Belasan keluarga telah kembali ke Sampang setelah pada 2020, sebagian besar pengungsi Syiah di Puspo Agro berbaiat mengikuti Ahlussunnah Wal Jamaah atau Sunni, yang dianut mayoritas Muslim di Indonesia.

"Kalau kumpul, kami tidur seperti pindang," kata Fitri.

Klik di sini untuk membaca kisah Fitri dan para Shia.

Menurut Syera Anggreini Buntara, seorang peneliti kebebasan beragama dan berkeyakinan SETARA Institute, komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah kelompok agama yang paling banyak menjadi korban tindakan intoleransi dan diskriminasi di Indonesia, disusul komunitas Kristen.

Dari 2007 hingga 2021, lembaga tersebut mencatat 586 kasus pelanggaran kebebasan beragama terhadap komunitas Jemaat Ahmadiyah, dengan berbagai bentuk tindakan, dari kekerasan dan intimidasi, larangan beribadah, penyerangan rumah ibadah, diskriminasi dalam layanan publik, represi dan pembiaran oleh negara, hingga tindakan tidak menyenangkan oleh kelompok masyarakat lain. Sementara terhadap masyarakat Syiah, menurut Syera, sebagian besar berupa larangan perayaan Asyura, hari berkabung atas meninggalnya Husain, anak Ali bin Abi Thalib, yang diyakini penganut Syiah sebagai penerus sah Nabi Muhammad.

SETARA juga menyebutkan bahwa tindakan diskriminatif dan intoleran terhadap warga Jemaat Ahmadiyah bersifat struktural. Mereka mencatat terdapat 71 aturan di tingkat nasional maupun lokal yang restriktif terhadap masyarakat komunitas Ahmadiyah.

Pemerintah perlahan menangani permasalahan yang dihadapi warga Ahmadiyah. Selain telah mendapat bantuan sosial dan administrasi kependudukan, para pengungsi di Lombok, seperti Syahidin, tengah dalam proses mendapatkan bantuan pembangunan rumah. Syaratnya, memiliki tanah dengan atas nama masing-masing. 

Penanganan mereka berbeda dengan penanganan pengungsi dari insiden Lombok Timur 2018. Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dan Provinsi NTB sigap turun tangan. Sehingga dalam dua tahun, mereka sudah menempati rumah baru. “Saya mengeluarkan SK tanggap darurat, sehingga saya bisa mengeluarkan biaya tak terduga. Penanganan lebih cepat," kata Kepala Dinas Sosial NTB Ahsanul Khalik yang saat kejadian merupakan pejabat Bupati Lombok Timur. Namun akibat pandemi, kantong tergerus. Pemerintah daerah angkat tangan untuk membantu perumahan bagi pengungsi yang masih ada. Pemerintah pusat pun turun tangan.

Apartemen Puspo Agro menjadi tempat berlindung warga Sampang setelah digusur karena menganut paham Syiah yang dianggap sesat, 22 November 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari

Di Sampang, Bupati Sampang Slamet Junaedi juga sibuk membantu pengungsi Syiah sejak menjabat pada 2019. Dia mengurus masalah administrasi kependudukan dan sertifikat tanah mereka di Sampang. “Prinsip kami, memanusiakan mereka. Apapun bentuknya, apapun ideologinya, apapun keyakinannya, karena mereka adalah bagian dari masyarakat Sampang," ujarnya.

Pada 2020, mayoritas pengungsi Syiah di Puspo Agro baiat mengikuti paham Sunni. Dua tahun kemudian, 14 keluarga pulang ke Sampang. 

Children at the Transito Dormitory in Mataram, West Nusa Tenggara, November 27, 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari.

Meski demikian, pekerjaan rumah pemerintah belum tuntas. Sebagian besar keluarga mantan penganut Syiah di Sidoarjo masih menunggu untuk pulang ke Sampang. Ratusan Ahmadi juga masih menanti di Asrama Transito dan tempat pengungsian lain. 

“Sampai pemerintah menyatakan kami boleh menempati rumah kami sendiri,” kata Syahidin. “Dan, yang penting bagi kami, jaminan keamanan.”

Laporan ini dibuat dengan dukungan dari program Round Earth Media, International Women's Foundation.

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Krisna Pradipta

    Purwani Diyah Prabandari

  • Multimedia

    Krisna Adhi Pradipta

    Moerat Sitompul

    Sunardi Alunay

  • Editor

    Purwani Diyah Prabandari

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya