Proyek

Orb Media - Tempo.co

Pertarungan Buta Melawan Terorisme

Mengubah ideologi bukan satu-satunya jalan menuju deradikalisasi. Hasil analisis Orb Media mengungkapkan hubungan sosial menjadi senjata yang lebih efektif untuk memerangi terorisme.

Oleh Zara Amelia

Pertarungan Buta Melawan Terorisme

Joko Tri Harmanto sibuk mengangkat tempe mendoan dari penggorengan besar berisi minyak mendidih. Sejumlah pelayan mondar-mandir melayani sederetan pengunjung rumah makan yang memesan soto. 

Harmanto dan kawan baiknya, Wasiran, merupakan pemilik rumah makan yang berlokasi di Solo, Jawa Tengah ini. Keduanya bukan sekadar teman biasa atau rekan bisnis. Salah satu tujuan Harmanto membuka rumah makan adalah mencegah Wasiran bergabung dalam kelompok jaringan terorisme.

Harmanto masih ingat jelas tragedi pemboman Bali yang pertama pada 2002 lalu. Dia adalah salah satu mantan terpidana kasus Bom Bali I yang menewaskan 202 orang tersebut. Harmanto ikut merakit bom bersama otak utama aksi tersebut, Dr. Azhari.

Enam belas tahun berlalu dari tragedi itu. Selepas menyandang status narapidana, Harmanto sadar bahwa jihad tidak diwujudkan dengan membasmi sesama manusia.

Bapak enam anak itu kini mencegah Wasiran untuk menempuh jihad dengan cara yang sama seperti dirinya dahulu. Dia menanamkan Islam tanpa kekerasan kepada Wasiran dengan membina dan mempekerjakannya. Pria yang juga dipanggil Jack Harun itu menilai kemiskinan menjadi salah satu pemicu aksi radikal.

“Dia (Wasiran) kurang beruntung secara ekonomis. Saya tarik dia agar tidak ikut bagian (menjadi teroris),” kata Harmanto.

Wasiran bukan satu-satunya individu yang rentan bergabung dalam aksi radikal. Laporan organisasi nirlaba Orb Media menunjukkan bahwa masyarakat semakin memaklumi pada tindakan kekerasan terhadap masyarakat. Secara bersamaan, semakin banyak negara yang mengalami aksi terorisme, seperti pemboman dan penyerangan markas polisi. Indonesia pun mengalami tragedi penyerangan Markas Komando Brigade Mobil, Depok, oleh seratus lebih narapidana terorisme pada Mei lalu. Lima polisi gugur dan satu narapidana teroris tewas akibat penyerangan itu.

Peningkatan jumlah negara yang telah diserang teroris. (Sumber:Orb Media)

Peningkatan jumlah negara yang telah diserang teroris. (Sumber:Orb Media)

Riset psikologis terbaru menunjukkan, ideologi hanya sebagian kecil penyebab seseorang rentan bergabung dalam aksi terorisme. Para peneliti menemukan faktor yang lebih kompleks dari sekedar narasi ideologis. Dibandingkan ideologi, hubungan sosial ternyata menjadi pemicu besar perilaku terorisme. Meski begitu, hubungan sosial juga dapat menggiring para teroris keluar dari radikalisme. 

Harmanto menceritakan awal mula dirinya direkrut oleh jaringan teroris. Di serambi halaman rumahnya di Solo, Jawa Tengah, Harmanto mengisahkan sejumlah pelajar laki-laki yang lebih tua merekrutnya di bangku SMA. Para pelajar tersebut tergabung dalam kelompok ekstremis dengan kemasan mempelajari Al-Qur’an.

“Teman-teman saya menganut Islam garis keras. Akibatnya, saya terpengaruh,” ucap Harmanto.

Teori hubungan sosial sebagai penyebab radikalisme itu juga dilontarkan oleh Chernov Hwang, associate professor di bidang sains politik dan hubungan internasional Goucher College.

  Persentase penurunan aksi terorisme. (Sumber:Orb Media)

Menurut Chernov, kekerabatan juga menjadi faktor pendorong untuk bergabung dalam jaringan terorisme. Generasi muda ikut bergabung dengan kelompok jihadi di Bosnia, Afghanistan, dan Suriah karena sejarah anggota keluarganya yang juga teroris.

“Seseorang bisa bergabung dalam jaringan teroris karena sahabat atau keluarganya merupakan bagian kelompok tersebut,” kata Chernov. Dia mengatakan, ikatan persaudaraan menjadi pemicu seseorang bergabung dalam kelompok jaringan terorisme.

Namun, hubungan sosial juga dapat menggiring seseorang keluar dari radikalisme. Bagi Harmanto, kedekatan dengan ibunya dan keluarganyalah yang membuat dia meninggalkan jalan kekerasan.

Polisi pernah memburu Harmanto selama dua tahun sebelum akhirnya meringkusnya pada 2004. Polisi mengejar dia hingga ke rumah orang tuanya di Manang, Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Harmanto tertegun saat menyaksikan polisi menggeledah rumahnya dan menemukan ratusan peluru. “Dari dalam mobil polisi saya melihat ibu saya menangis. Saat itu, saya memutuskan harus berubah,” ucap Harmanto.

Hermanto menggunakan pendekatan sosial itu untuk menggiring teman-temannya keluar dari radikalisme. “Saya ini dulu kacau, acuh, dan tidak peduli idengan orang lain. Setelah bertemu Harmanto, saya belajar lebih banyak soal agama dan cara berinteraksi dengan orang lain,” ucap Wasiran.

Wanita juga rentan terhadap perekrutan anggota jaringan terorisme. Kelompok teroris di Jerman memanfaatkan teknologi komunikasi daring untuk merekrut wanita sebagai anggotanya. Wanita menjadi target empuk kelompok teroris karena memiliki hubungan sosial yang lebih terkungkung. Perekrut akan berpura-pura bersimpati kepada mereka sambil menyelipkan ideologi radikal.

Tidak hanya di Jerman, perekrutan secara online juga populer di Indonesia.

Memerangi terorisme kian gencar dilakukan oleh berbagai negara. Namun, tindakan itu seringkali tidak dibarengi upaya pencegahan. Alhasil, perekrutan teroris kian menjamur.

Menurut penelitian terbaru dari pusat studi Stimson Center, Amerika Serikat merupakan negara dengan pengeluaran terbesar memerangi terorisme. Amerika Serikat menggelontorkan US$ 2,8 triliun untuk melawan aksi terorisme selama 2002 hinga 2016. Dari jumlah tersebut, Amerika hanya menghabiskan US$ 11 juta atau kurang dari satu persennya untuk mengatasi bantuan anggaran senjata maupun pelatihan terorisme dari negara lain. Jumlah yang sangat kecil diambil dari total anggaran tersebut untuk pencegahan terorisme.

Peneliti senior dari Brookings Institution, Eric Rosand, menganggap upaya Amerika tersebut tidak akan mampu memberantas terorisme. “Semua ini tidak terbukti dapat mengurangi ancaman terorisme dalam jangka panjang. Upaya pencegahan terorisme kita tidak cukup,” ucap Eric.

Analisis data Orb Media mengungkap bahwa meski perlawanan dunia terhadap terorisme semakin gencar, persentase jumlah penduduk yang menoleransi tindak kekerasan juga semakin meningkat. Survei Orb Media menunjukkan, di Timur Tengah, tingkat penerimaan terhadap kekerasan melonjak dari lima menuju sembilan persen selama periode survei pada 2002 hingga 2009 dan 2012 hingga 2018. Tingkat penerimaan yang sama juga meningkat di Sub-Sahara Afrika dari 12 menuju 14 persen.

  Persentase peningkatan penduduk yang toleran atas tindak kekerasan terhadap warga sipil

Profesor emeritus dari Bryn Mawr College, Clark McCauley, mengatakan, pandangan yang terbuka terhadap kekerasan itu membuat individu lebih rentan bergabung dalam aksi terorisme. “Itu masuk akal,” ucap Clark.

Terorisme sendiri merupakan tindakan berupa ancaman menggunakan paksaan dan kekerasan oleh aktor nonpolitik dengan tujuan politik, ekonomi, agama, atau sosial melalui rasa takut, intimidasi, dan tekanan. Dosen dari Global Studies Institute dan Georgia State University mengatakan, taktik ini telah digunakan oleh kelompok dengan ideologi dan agama tertentu selama berabad-abad. Di antaranya adalah Tentara Republik Irlandia Sementara (Provisional Irish Republican Army), Al Qaeda, Pasukan Revolusioner Kolombia (FARC), dan kelompok Maois India (Naxalites).

 

Peningkatan kecemasan warga dunia terhadap aksi-aksi teror. (Sumber:Orb Media)

Peningkatan kecemasan warga dunia terhadap aksi-aksi teror. (Sumber:Orb Media)

Penelitian Chernov Hwang mengungkap bahwa pemuda yang merasa terasingkan cenderung berpotensi terjun dalam aksi terorisme. “Sebab, para pemuda akan terus mencari hubungan yang terasa hilang tersebut,” kata David Aufsess, seorang pekerja sosial VAJA, sebuah organisasi pencegahan terorisme di Jerman.

Di Jerman, kelompok teroris memanfaatkan ketakutan para imigran yang merasa tidak diterima di masyarakat. Taktik serupa dilakukan oleh kelompok teroris di negara-negara Nordik. Politik identitas menjadi jalan bagi kelompok teroris untuk menyebarkan radikalisme.

Keluarga bisa menjadi solusi untuk melepaskan diri dari ideologi ekstrem. Hubungan positif antara orang tua dan anak merupakan jalan keluar dari radikalisme.

Meski sama-sama bertumpu pada hubungan sosial, Jerman dan Indonesia punya cara berbeda untuk program deradikalisasi. Jerman memerangi terorisme dengan mengubah pola pikir yang radikal. Sementara, program deradikalisasi Indonesia bertujuan untuk mengubah perilaku.

Usai menjalani hukuman enam tahun penjara, Harmanto saat itu langsung bekerja di sebuah restoran di Solo milik Yayasan Prasasti Perdamaian, organisasi nonpemerintah untuk deradikalisasi. Manajer restoran tersebut, Thayep Malik, menuturkan bahwa pihaknya dapat membantu para eks teroris itu untuk melawan tindak kekerasan. Namun, ideologi mereka tidak bisa diubah.

“Tidak ada titik temu kalau bicara soal ideologi,” kata Malik.

Hermanto tidak pernah mengubah pandangan Islam garis keras yang dianutnya. Meski begitu, menurut dia, kekerasan hanya diperlukan untuk melindungi diri.

Eks anggota Jemaah Islamiyah lainnya, Arif Budi Setiawan, juga telah meninggalkan penggunaan kekerasan usai melihat salah satu anggota milisi Nasrani ikut dipenjara bersama dirinya. Namun, seperti Harmanto, Arif tidak pernah mengubah ideologinya. “Terkait hukum Islam, pandangan saya tidak berubah. Tapi kekerasan hanya untuk perlindungan diri,” kata Arif.

Para pembina Harmanto, Arif, dan mantan teroris lainnya memahami bahwa ideologi radikal mereka tidak hilang. Mereka hanya berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan lagi.
Bagi Wasiran, hubungannya dengan Harmanto lah yang membantunya meninggalkan tindakan kekerasan. Persahabatan, pembinaan, serta pekerjaan barunya dengan Harmanto telah membentuk lingkungan sosial yang baru bagi Wasiran.

Sekitar pukul 10.00 WIB, Wasiran akhirnya bisa beristirahat setelah sibuk melayani pelanggannya satu per satu. Dibantu anak laki-laki dan keponakannya, Wasiran mulai membereskan rumah makan yang hendak tutup. Wasiran menganggap tempat ini sebagai ladang ibadah dan amal. Sebulan sekali, Wasiran dan Hermanto membagikan makanan gratis di rumah makannya, pada hari Jumat. Mereka menyebutnya ‘berkah Jumat’.

Rumah makan itu menjadi komunitas baru Wasiran. Di sana, Wasiran belajar banyak hal dari Harmanto sembari memperkuat keimanannya. Memiliki banyak teman berkat pekerjaan barunya itu juga membantu Wasiran meninggalkan tindakan kekerasan.

Wasiran tidak menampik jika suatu saat kekerasan dibutuhkan untuk membela agamanya. Namun, untuk saat ini, rumah makan tersebut menjadi keluarga kedua Wasiran yang menjauhinya dari jalan ekstremisme kekerasan.

Laporan Orb Media dapat diakses secara penuh di laman ini

CREDIT

Penulis

Reportase

Editor

Multimedia