Proyek

Ketua Komisi bagi Koalisi Jokowi

Bagi-bagi posisi pimpinan alat kelengkapan dewan tak menguntungkan partai-partai non-pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin. PDIP ditengarai mengatur pembagian kursi pimpinan komisi dan badan.

Oleh Budiarti Utami Putri, Fikri Arigi

Ketua Komisi bagi Koalisi Jokowi

MENJADI partai dengan perolehan suara terbanyak kedua pada pemilihan umum April lalu tidak membuat Partai Gerindra mendapatkan banyak kursi ketua komisi. Yang terjadi justru sebaliknya, partai pimpinan Prabowo Subianto ini hanya bisa gigit jari karena tak mendapat satu pun kursi ketua komisi. Harapan partai itu, setidaknya, mendapatkan kursi ketua Komisi IV yang membidangi antara lain pertanian, maritim, dan kehutanan, pupus sudah.

Padahal pada periode sebelumnya, Gerindra menempatkan salah satu kadernya, Eddy Prabowo, sebagai ketua komisi tersebut. Wakil Ketua Umum Gerindra itu kini menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada kabinet Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin.“PDIP yang mengendalikan bagi-bagi kursi di periode ini,” kata Sekretaris Fraksi Gerindra di DPR, Desmond J. Mahesa pada Selasa, 29 Oktober 2019.

Menurut Desmond, PDIP yang mengatur siapa saja yang bisa duduk di kursi ketua DPR. “Koalisi sejak awal di bawah pimpinan itu sudah mengatur bagaimana musyawarah dan mufakat harus tunduk sama koalisi kekuasaan,” ujarnya.

Sebelumnya, kolega Desmon di Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pernah ada kesepakatan antar fraksi bahwa mekanisme pembagian ketua komisi menggunakan sistem Saint League. Rumus perhitungan ini diusulkan oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. 

Partai Demokrat yang perolehan kursinya di DPR berada di urutan keenam (54 kursi) juga tak kebagian posisi ketua komisi. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono ini cuma mendapat jatah ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). “Inilah menurut saya hak orang dihilangkan, khususnya Demokrat,” kata Desmond.

 

Politikus yang dipilih menjadi ketua dan wakil ketua AKD dari tiap fraksi.

Salah satu anggota Fraksi Demokrat mengatakan partainya tak diberi kesempatan memilih posisi di Alat Kelengkatan Dewan. Dia mengatakan Demokrat hanya diberi jatah BURT dan BAKN, serta posisi wakil ketua di Komisi I dan Komisi X. Komisi I membidangi, salah satunya pertahanan, dan Komisi X membidangi urusan pendidikan, olahraga, dan sejarah.

Demokrat, kata sumber ini, dipanggil paling terakhir setelah Gerindra, PAN, dan Partai Keadilan Sejahtera. Adapun pembahasan di internal koalisi Jokowi-Ma’ruf sudah lebih dulu rampung. “Kami diminta untuk take it or leave it. Kamu mau atau tidak, kalau tidak ya udah,” katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan mengaku tak tahu bagaimana mekanisme pembahasan penyusunan Alat Kelengkapan Dewan yang berlangsung. Namun dia mengakui partainya kecewa atas hasil pembagian itu. “Kalau proporsional itu mestinya Demokrat dapat paling tidak satu ketua komisi. Tapi itu yang terjadi,” kata Syarief.

Partai Keadilan Sejahtera juga tak kebagian kursi ketua komisi. Berdasarkan Pemilu 2019, PKS meraih 50 kursi di DPR, lebih banyak dari Partai Amanat Nasional yang mendapat 44 kursi. Namun PAN malah dapat porsi ketua komisi VIII, yang membidangi urusan agama dan sosial. Adapun partai dakwah mendapat ketua Mahkamah Kehormatan Dewan. “Kalau bicara puas atau tidak, PKS tidak puas. Tapi sekarang saatnya bekerja,” kata Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini.

Bagi-bagi Kursi Ketua Komisi

 Sementara itu Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengakui pernah ada usulan ini. Namun, kata dia, formula ini hanya berfungsi sebagai acuan awal. “Saat diaplikasikan, basisnya bukan rumus tapi berdasarkan dari kursi. Kemudian ada pembicaraan lagi antara pimpinan fraksi, itu intern fraksi ada pertemuan khusus,” kata Indra kepada Tempo.

Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto membantah proses penyusunan Alat Kelengkapan Dewan tidak adil. Utut juga menyinggung proses pembagian Alat Kelengkapan Dewan DPR periode 2014-2019. Meski memenangi Pemilu 2014, PDIP tak kebagian kursi ketua DPR dan Alat Kelengkapan Dewan lantaran parlemen dikuasai oleh Koalisi Merah Putih.“Kalau (soal) adil, kalau mau bandingkan, bandingkan dengan 2014. Kan (sekarang) sudah sangat adil berarti, semua diajak, enggak ada yang ditinggal,” kata Utut.

Utut mengakui pembagian itu tak bisa memuaskan semua pihak. Dia enggan menanggapi lebih jauh ihwal kekecewaan sejumlah fraksi. Wakil Sekretaris Jenderal partai banteng ini juga tak mau berkomentar ihwal namanya yang disebut sebagai penampung lobi serta penentu jatah kursi Alat Kelengkapan Dewan untuk fraksi-fraksi. “Sudah ya,” kata dia pada 29 Oktober lalu.

 


Q&A dengan Sekretaris Fraksi Gerindra DPR Desmond J. Mahesa, Selasa, 29 Oktober 2019.

Q: Mekanisme pembagian AKD sebenarnya seperti apa?

A: Mekanismenya adalah UU Pemilu sendiri yang proporsional. Yang harus ditanya kenapa jumlah fraksi lain dua, kenapa PPP yang harusnya enggak dapat jadi dapat. Berarti kan ada sesuatu yang enggak beres.

Q: Pada akhirnya memang berdasarkan lobi-lobi?

A: Bukan lobi-lobi. Musyawarah mufakat yang menghilangkan (hak) orang. Dalam kekuasaan koalisi partai di parlemen kita membunuh, menghilangkan hak-hak norma. Ini proporsional yang harusnya normal dibikin abnormal. Termasuk Gerindra dirugikan.

Q: Gerindra harusnya?

A: Ya ada pimpinan komisi, masa badan terus. Satu.

Q: Bukannya Gerindra melepas sendiri karena sudah dapat posisi menteri?

A: Kan juga tidak..., mekanismenya, demokrasi, yang ada kita harus lapor ke PDIP.

Q: Semua satu pintu lewat PDIP?

A: Iya PDIP yang menentukan musyawarah mufakat, siapa yang bisa melobi PDIP, dia dapat.

CREDIT

Penulis

Editor

Video

Multimedia