Riedno Graal Taliawo percaya, ia bisa mendapatkan dukungan suara dalam pemilihan legislatif 2019 tanpa harus membelinya dengan uang. Usahanya maju sebagai calon Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Maluku Utara dilakukan tanpa janji-janji spesial kepada kelompok tertentu.
Graal, 31 tahun, tidak bersikap seperti calon lainnya—membagi-bagikan uang kepada masyarakat yang bertemu dengannya, atau berjanji membangun rumah ibadah, atau membiayai anak mereka sekolah. Yang ia lakukan ketika bertemu calon pemilih adalah membeberkan kemampuannya dan apa yang bisa ia lakukan ketika menjadi anggota DPD nanti. “Tagline saya adalah siap mikir, sedia kerja,” kata dia saat ditemui di sebuah kafe di Jakarta, 20 Agustus 2018.
Graal adalah contoh pemuda—dalam tulisan ini adalah orang-orang yang berusia 40 tahun ke bawah—yang masih percaya bahwa institusi politik seperti Dewan Perwakilan Daerah adalah kendaraan yang efektif untuk membuat perubahan. “Kebijakan publik adalah persoalan struktural. Perlu subyek untuk terlibat mendorong perubahan pada jalur struktural,” kata dia.
Di negara-negara lain di dunia, orang-orang seperti ini makin sedikit, setidaknya menurut survei Orb Media Network , sebuah lembaga jurnalistik global, yang dalam tulisan ini bekerja sama dengan Tempo.co. Laporan lengkap hasil survei ini bisa dibaca di Orbmedia.org.
Dari analisis Orb Media terhadap survei terhadap 979 ribu orang di 128 negara yang dilakukan mulai 1980-2018, ditemukan bahwa anak-anak muda yang peduli pada pemerintahan malah menolak terlibat dalam politik praktis. Bahkan untuk memberikan suara pun mereka enggan. Mereka lebih memilih mengadakan protes-protes di jalanan.
Kesimpulan itu tercermin dalam hasil sigi ini: orang-orang yang berumur di bawah 40 tahun punya kecenderungan berdemonstrasi 9-17 persen ketimbang mereka yang di atas 40 tahun. Hasil itu menunjukkan jurang yang kian lebar dengan kondisi pada awal 2000-an. Saat itu, kecenderungan orang-orang berusia di bawah 40 tahun untuk menjalankan protes jalanan hanyalah 3 persen dibandingkan mereka yang berusia di atas 40 tahun.
Perbandingan kecenderungan berperan aktif di politik informal antar generasi pada 2000-an dan 2010-an. (Sumber: Orb Media)
Artinya, anak muda banyak yang memilih politik informal. Kenapa? Ada berbagai alasan.
Pertama, karena mereka merasa suara mereka tidak didengar. Di Nikaragua, misalnya, terjadi fenomena yang disebut adulterismo. “Orang-orang tua bilang: kalau kamu tidak terlibat dalam revolusi 1979, kamu tidak punya hak bicara,” kata aktivis Nikaragua berusia 22 tahun, yang minta namanya ditulis sebagai Maria. Saat ini dia sedang bersembunyi menghindari kejaran aparat keamanan yang sudah membunuh ratusan pemuda di Nikaragua sejak demonstrasi menentang rezim Daniel Ortega meledak pada April lalu.
Di Zimbabwe, terjadi fenomena yang hampir sama. Mereka yang lahir setelah jatuhnya rezim kulit putih pada 1980 dianggap kaum yang “merdeka sejak lahir”. “(Istilah ini) semacam ingin berkata bahwa kalau kamu tidak berjuang untuk pembebasan negara ini, pendapatmu tidak berpengaruh,” kata Kimberley Kute, pemudi Zimbabwe berusia 24 tahun.
Alasan kedua kenapa anak muda cenderung enggan masuk jalur politik praktis adalah karena mereka berpandangan bahwa politik adalah dunia yang korup. Di Zimbabwe, berdasarkan data 2016, pemuda yang melihat negaranya korup akan 21 persen cenderung tidak memilih.
Sedangkan di skala global, penelitian Orb Media menemukan bahwa orang-orang berusia 40 tahun ke bawah yang berpikir bahwa pemerintah mereka korup punya kecenderungan tidak memilih 7-15 persen dibandingkan orang-orang seumuran yang memandang bahwa pemerintahan mereka bersih. Untuk orang-orang di atas 40 tahun, kecenderungan tidak memilih di antara mereka yang berpandangan bahwa pemerintahan mereka korup hanya 4-7 persen dibandingkan yang merasa bahwa pemerintahan mereka bersih.
Penurunan kepercayaan pada pemerintah karena korupsi. (Sumber: Orb Media)
Indeks persepsi korupsi internasional. Angka 100 menunjukkan pemerintah yang dipersepsikan tidak korup. (Sumber: Transparency International)
Pengaruh persepsi korupsi terhadap keterlibatan dalam politik praktis ini juga diakui oleh Isabella Silalahi, pemudi Indonesia 21 tahun yang lahir dan besar di Jakarta sebelum menempuh pendidikan S1 dan S2-nya di Australia dan Amerika Serikat. “Di Indonesia, belum ada yang bisa membawa anak-anak muda ke dalam ranah politik,” kata perempuan yang aktif terlibat dalam konferensi pemuda di Perserikatan Bangsa-Bangsa itu. “Ini karena dalam politik Indonesia, banyak yang korup.”
Di Bangladesh bulan lalu, ribuan anak muda yang ingin pemerintah meningkatkan keamanan di jalan umum berdemonstrasi. Pemicu protes ini adalah tewasnya dua remaja karena ditabrak bus yang ngebut di Dhaka, ibu kota mereka.
“Tidak ada yang menyuruh saya berdemonstrasi, tapi saya harus melakukannya,” kata seorang mahasiswa arsitektur Bangladesh, yang tangannya diperban. “Politikus kami semuanya korup. Mereka tidak berbuat apa-apa.” Pemuda 20 tahun ini bahkan berikrar tidak akan pernah memberikan suara dalam pemilihan. Menurut dia, suaranya bakal tidak berpengaruh. Tapi, menurut survei Orb, sikap apatis macam ini ternyata tidak terlalu populer di Indonesia.
Dari 3.255 responden yang disurvei Orb, anak-anak muda Indonesia yang menganggap bahwa pemerintah Indonesia korup punya kecenderungan tidak memilih hanya 2-6 persen dibandingkan pemuda seumuran mereka yang berpikir pemerintah Indonesia bersih. Persentase ini jauh lebih kecil jika dibandingkan data dunia yang menyatakan bahwa pemuda yang berpikir pemerintahan mereka korup punya kecenderungan tidak memilih 7-15 persen dibandingkan orang-orang seumuran yang berpandangan pemerintahan mereka bersih.
Perbandingan sikap politik antargenerasi. (Sumber: Orb Media)
Sebenarnya, jalur informal cukup populer. Lihat saja Change.org Indonesia. Mereka mencatat pertumbuhan pengguna yang sangat signifikan. Dari hanya 8 ribu pengguna pada awal berdiri pada 2012, menjadi 4 juta pengguna per Desember 2017. Selama 2017, mereka mencatat ada lebih dari 500 ribu orang yang menang.
Bagaimanapun, menurut Graal, yang sejak muda sudah memutuskan ingin membuat perubahan dengan masuk jalur politik praktis, melihat dua jalur itu—formal dan informal—tidak perlu dipertentangkan.
“Berbagai metode mendorong perubahan, baik melalui jalur petisi dan bentuk lainnya, maupun terlibat aktif secara langsung dalam politik praktis, diperlukan dan bahkan harus disinergikan,” kata Graal, yang sudah masuk dalam Daftar Calon Sementara Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Maluku Utara ketika tulisan ini dibuat. “Petisi bisa menjadi rujukan bagi kami yang berposisi sebagai perumus kebijakan.”