Proyek

Enggang Terancam Sengkarut Pelestarian Kebudayaan

Belasan jenis burung enggang termasuk satwa yang dilindungi. Namun dalam arus modernitas, nasib enggang semakin dilema dalam sengkarut ide tentang pelestarian budaya.

Oleh Bram Setiawan

Enggang Terancam Sengkarut Pelestarian Kebudayaan

Yokyok Hadiprakarsa menunjukkan layar gawai saat berbincang dengan Tempo di sebuah kedai di Bogor, Jawa Barat pada pertengahan September 2019. Pimpinan tim peneliti organisasi nirlaba Rangkong Indonesia itu memperlihatkan berbagai gambar dalam Internet ihwal suasana Festival Karnaval Khatulistiwa di Pontianak, Kalimantan Barat, pada 2015.

Para peserta festival ada yang menggunakan kepala sungguhan burung enggang untuk hiasan semacam mahkota. Bulu burung enggang juga menjadi aksesori. Bila diamati dari tampilannya, kepala burung enggang yang digunakan ada yang tampak masih baru. 

Yokyok menduga kepala sungguhan beberapa jenis enggang dalam festival itu didapatkan dari membeli. “Untuk mendapatkan kepala enggang sungguhan itu bukan perkara mudah,” katanya.

Warga Suku Dayak Landak mengikuti Karnaval Khatulistiwa di Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu, 22 Agustus 2015. Karnaval dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) tersebut, akan dibuka Presiden Joko Widodo siang ini. [TEMPO/Subekti]

Warga Suku Dayak Landak mengikuti Karnaval Khatulistiwa di Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu, 22 Agustus 2015. Karnaval dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) tersebut, akan dibuka Presiden Joko Widodo siang ini. [TEMPO/Subekti]

Festival Karnaval Khatulistiwa hanya salah satu contoh acara yang mengusung jargon pelestarian budaya. Namun dari acara itu agaknya justru menunjukkan sengkarut ekspresi kebudayaan tak sejalan dengan populasi burung enggang yang dilindungi.

Semua jenis burung rangkong atau enggang dilindungi sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem. Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Dari belasan jenis enggang yang hidup di Indonesia, burung rangkong gading (rhinoplax vigil) adalah satwa yang hampir punah. Pada 2015, International Union for Conservation of Nature mengeluarkan status sangat terancam punah (critically endangered) untuk rangkong gading. Status tersebut dikeluarkan berdasarkan berbagai masukan sumber data penelitian di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun telah menetapkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rangkong Gading yang berlaku selama sepuluh tahun.

Populasi rangkong gading bisa ditinjau antara lain dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada 2014, luas total hutan di Kalimantan adalah 26 juta hektare. Dari angka itu, potensi area yang diperkirakan menjadi habitat rangkong gading seluas 2,6 juta hektare.

Sumber penunjang data populasi juga dimuat dalam SRAK Rangkong Gading. Tabel populasi menjelaskan pemetaan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Akumulasi estimasi temuan rangkong gading adalah 0,5-0,7 burung per kilometer persegi.

“Artinya kepadatan (rangkong gading) sangat rendah. Belum tentu ada satu burung rangkong gading per kilometer persegi,” ucap Yokyok Hadiprakarsa.

Kompilasi studi populasi rangkong gading di Indonesia tahun 1980-2011

Menurut dia, estimasi populasi itu diperoleh dari melihat langsung rangkong gading atau mendengar suaranya saja. “Faktanya survei rangkong gading itu 80 persen berupa suara,” ujarnya. Ia menambahkan, bukti minimnya populasi rangkong gading di habitat alam juga ditinjau dari jumlah temuan kepala satwa tersebut yang hendak diselundupkan.

Perdagangan tanduk rangkong gading dahulu pernah mengalir ke Cina. Berdasarkan data yang dihimpun Rangkong Indonesia, tanduk atau gading burung itu sebagai medium ukiran. Perdagangan itu sejak era Dinasti Ming pada abad ke-14.

“Dulu, hiasan itu disukai kalangan bangsawan,” katanya. Yokyok Hadiprakarsa menambahkan, materi pembentuk tanduk rangkong gading yang padat itu adalah keratin. Produk ukiran tanduk rangkong gading ini diminati pula sebagai barang antik.

Lama sudah tak muncul isu tentang perdagangan kepala rangkong gading. Namun pada 2011, upaya penyelundupan kepala burung itu banyak ditemukan di Indonesia. Berdasarkan SRAK Rangkong Gading, diketahui 1.368 kepala burung enggang itu diselundupkan dari Pontianak ke Jakarta, juga Belanda, Hong Kong, Cina, dan Jepang.

Kompilasi hasil penyitaan dan penangkapan paruh rangkong gading di Indonesia pada tahun 2012-2016

Kicauan bunyi burung bagai paduan suara alam menemani perjalanan Tempo yang didampingi anggota Tropical Forest Conservation Act Kalimantan, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, dan Rangkong Indonesia. Namun dari bermacam-macam bunyi burung itu tak terdengar sama sekali suara rangkong gading. Pada, Ahad, 29 September lalu kami menelusuri belantara hutan di kawasan Desa Segitak, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Penelusuran hutan selama hampir dua jam bermula dari permukiman warga Desa Segitak hingga tiba di pondok grid B5-bangunan kayu tempat menginap. Setelah bermalam di pondok grid B5, menjelang siang esoknya, juga tak terdengar suara rangkong gading. Padahal suara rangkong gading mudah dikenali mirip orang tertawa terpingkal-pingkal. Suaranya bisa terdengar dalam jangkauan 2 kilometer di hutan.

Sebelum meninggalkan belantara hutan, kami sempat menuju Bukit Belimbun. Bukit ini berjarak sekitar 15 menit berjalan kaki dari pondok grid B5. Aryf Rahman, anggota Rangkong Indonesia yang bertugas di Kapuas Hulu, mengajak ke area itu karena terdapat pohon ara, salah satu tumbuhan Ficus yang buahnya menjadi pakan rangkong gading.

“Ada waktu tertentu untuk bisa mendengar suara rangkong gading,” katanya. Ia menambahkan, waktu tertentu itu tak bisa pula dijadikan kepastian.

Selama satu jam pengamatan di dekat pohon ara, tak ada rangkong gading yang hinggap. Demikian pula sepanjang perjalanan kembali menuju permukiman Desa Segitak, masih juga tak muncul suara rangkong gading.

Yokyok Hadiprakarsa sampai sekarang terus mengamati perdagangan tanduk rangkong gading lewat berbagai situs online. "Kami masih menemukan perdagangan (tanduk) rangkong gading yang sudah menjadi perhiasan," ucapnya.

Kepala rangkong gading bagian atas paruh yang menyatu dengan tanduk. [Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa]

Kepala rangkong gading bagian atas paruh yang menyatu dengan tanduk. [Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa]

Burung rangkong gading diminati karena potensi ekonomi dari tanduknya. Namun demikian, sengkarut soal perdagangan ini juga karena burung enggang berhubungan dengan kebudayaan Dayak. Maka jenis enggang lainnya tak luput dari incaran karena dianggap melengkapi aksesori kesenian.

Lembaga studi di Pontianak Institut Dayakologi mengamati hal itu sebagai polemik dalam politik identitas. “Yang menjadi kebanggaan itu bukan seni dalam kebudayaan, tapi eksploitasi untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata,” ucap Richardus Giring, antropolog yang juga sebagai penyusun program riset Institut Dayakologi.

Ia menganggap terlalu muluk memakai enggang yang sungguhan untuk hiasan busana. Meskipun itu untuk alasan ekspresi budaya. Menurut dia, ketika seni didominasi oleh ekonomi dan pariwisata, maka burung enggang terjerumus dalam kapitalisme pasar. Giring menambahkan, polemik ide tentang pelestarian budaya ini juga dipicu oleh kecenderungan pamer di media sosial.

“Ekspresi ingin terkesan gagah menggunakan burung enggang sebagai hiasan pakaian,” katanya. “Padahal itu eksploitasi satwa yang dihormati dan dilindungi.”

Direktur Institut Dayakologi Krissusandi Gunui' mengamati permasalahan ini karena kebudayaan diartikan hanya dalam aspek kesenian. Belum lagi, ucap dia, ekspresi kebudayaan kerap diterjemahkan cuma untuk urusan hiburan. "Akhirnya melihat enggang seperti peluang duit," ucapnya.

Walhasil, burung enggang tidak lagi dihormati karena berhubungan sebagai sistem religi sub-suku Dayak. Tetapi, kata dia, menjadi sumber ekonomi karena pasarnya menggunakan alih-alih muslihat atas nama pelestarian kebudayaan. “Orang jadi tidak merasa bersalah menggunakan burung enggang untuk hiasan,” katanya. “Mereka justru merasa menjadi bagian kebudayaan.”

Krissusandi menjelaskan, bahwa ada 151 sub-suku Dayak dengan berbagai variasi bahasanya di Kalimantan Barat. “Kami tidak menemukan secara spesifik yang disebut pakaian adat Suku Dayak,” katanya.

Berdasarkan himpunan data penelitian, sub-suku Dayak dibedakan berdasarkan topografi dan adat istiadat. Krissusandi menjelaskan, pakaian berbagai sub-suku Dayak cenderung bersumber dari cara interaksi dengan alam, yakni hutan. Ia memastikan bahwa bermacam-macam pakaian sub-suku Dayak sebelum modernisasi tidak ada yang menggunakan kepala enggang sungguhan. Bila pada masa lampau ada di antara sub-suku Dayak memakai tulang hewan hasil berburu sebagai hiasan pakaian, maka itu hanya sekadar kreasi. “Bukan identifikasi sub-suku Dayak tertentu,” katanya.

Cerminan kaitan burung enggang dengan kebudayaan Dayak mudah ditemukan. Replika enggang cula (buceros rhinoceros) paling banyak ditemukan dalam bentuk patung atau pahatan yang menghiasi perkotaan Pontianak. Bahkan, maskot resmi Kalimantan Barat pun menggunakan lambang rangkong gading. 

Bandi Anak Ragai alias Apai Janggut masuk dalam ruangan di rumah betang. Ia mengambil poster yang menampilkan gambar berbagai jenis enggang. “Ini burung yang sangat dihormati karena berhubungan dengan ritual dan roh leluhur,” kata Apai Janggut sambil menunjuk gambar burung enggang cula, atau warga setempat menyebutnya kenyalang.

Apai Janggut adalah tokoh masyarakat adat Dayak Iban di rumah betang Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kapuas Hulu. Memang bukan rangkong gading yang berkaitan dengan adat di desa ini. Namun, aturan adatnya menetapkan larangan untuk berburu semua jenis enggang.

Patung burung enggang cula (buceros rhinoceros) di rumah adat Radakng, Pontianak, Kalimantan Barat. [TEMPO]

Patung burung enggang cula (buceros rhinoceros) di rumah adat Radakng, Pontianak, Kalimantan Barat. [TEMPO]

Saat Tempo bercerita tentang enggang yang digunakan sebagai hiasan busana adat, Apai Janggut menggeleng keheranan. Meski demikian, ia mafhum bila kepercayaan masing-masing sub-suku Dayak berbeda-beda.

Warga Dayak Iban di Sungai Utik menggunakan replika burung enggang cula sebagai simbol upacara adat, yakni gawai kenyalang. Saat kegiatan gawai kenyalang, warga akan membuat sebuah tiang yang di atasnya dibuat tiruan bentuk enggang cula menggunakan pahatan kayu.

“Tidak ada kenyalang (enggang cula) sungguhan,” katanya. Ia menegaskan bahwa seluruh jenis burung enggang dalam hutan Sungai Utik dilindungi pula dengan hukum adat. “Tidak boleh ditangkap, apalagi dibunuh.”

Demikian pula di Desa Segitak, pengetahuan warga setempat menghormati burung enggang cula. Penduduk Desa Segitak adalah keturunan Dayak Hulu Sungai “Warga kami pantang memburu, apalagi memakan enggang cula,” ucap Kepala Adat Desa Segitak Vensensius Moksin. 

Desa Segitak belum mempunyai kaidah resmi hukum adat atau peraturan desa terkait larangan berburu burung enggang. Namun, pemahaman menghormati enggang cula masih dihayati dalam tradisi lisan. “Ada ikatan batin (enggang cula) sebagai pelindung roh leluhur,” ujarnya. “Semua cerita itu dasarnya nasihat para orang tua terdahulu.”

II

Ekoturisme Demi Hayati Hutan

Cuaca pagi masih cerah tatkala Tempo menelusuri belantara hutan kawasan Desa Segitak, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada Ahad, 29 September. Selama berada dalam hutan terdengar bersahutan kicau burung di antaranya cucak kuricang, delimukan zamrud, dan kangkok ranting.

Meski tak terdengar suara burung rangkong gading atau enggang gading, bukan berarti satwa itu tak ada. “Selama sepekan dalam hutan saya terus mendengar suara burung rangkong gading dan enggang cula,” kata Aryf Rahman, anggota organisasi nirlaba Rangkong Indonesia yang bertugas di Kapuas Hulu.

Kami menginap di sebuah bangunan kayu yang dinamai pondok grid B5. Setelah bermalam, menjelang siang esoknya masih tak terdengar suara rangkong gading. Selama sepekan Aryf berada dalam hutan, hanya hari itu tidak muncul suara rangkong gading. Seharian menginap di hutan, hujan awet sampai keesokan. Namun bukan berarti karena hujan aktivitas rangkong gading tak ada sama sekali. “Pekan lalu saya pernah mendengar suara rangkong gading selang waktu hujan reda,” kata Aryf.

Saat memulai perjalanan memasuki hutan dari permukiman Desa Segitak, Tempo melintasi ladang warga yang ditanami padi, cabai, dan perenggi. Sesudah melewati perladangan, arah yang ditempuh cenderung menanjak. 

Selama penelusuran hutan, rute yang ditempuh menanjak serta menurun. Sesekali menyuruk pepohonan melewati sela yang terjal juga menyeberangi beberapa aliran sungai. Sesaat singgah di lahan yang tinggi, warga setempat menyebutnya Bukit Tamao. Persinggahan ini bagai merangkum pemandangan hutan.

Belantara hutan kawasan Desa Segitak memang tak termahsyur. Namun kealamian serta potensi keanekaragaman burung yang menghuninya boleh dibilang cukup memikat. Sebab itu pula Rangkong Indonesia menjadikan kawasan ini sebagai lokasi pengamatan burung enggang.

Kepala Desa Segitak Japari menganggap ragam burung yang menghuni hutan memungkinkan sebagai potensi ekoturisme. Namun masih ada kendala. “Ada pemburu yang sering masuk mengincar burung enggang,” katanya.

Burung rangkong gading dengan nama ilmiah Rhinoplax vigil. [Shutterstock]

Burung rangkong gading dengan nama ilmiah Rhinoplax vigil. [Shutterstock]

Ia mafhum bila ekoturisme kelak akan membantu konservasi. Japari ingin membuat aturan resmi ihwal larangan berburu. Kaidah itu diperlukan karena sulitnya menangkal pemburu yang asalnya tak pernah diketahui. “Pemburu bukan warga sini, mereka masuk tidak dari pemukiman Desa Segitak,” ujarnya.

Ekoturisme memang berbeda dengan watak pariwisata umum. “Pendekatan alami yang tidak memanfaatkan pengubahan bentuk, misalnya pembangunan,” kata pelaku ekoturisme Theodorus Libertus dari Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu.

Pengelolaan ekoturisme mengutamakan kealamian untuk menyokong kelestarian hutan. “Ikut menjaga habitat satwa, termasuk burung enggang, sehingga hutan tidak menjadi target eksploitasi,” kata peneliti burung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Mohammad Irham. 

Berdasarkan aspek keanekaragaman hayati, ekoturisme termasuk kategori jasa lingkungan. “Kalau memanfaatkan segala dari alam harus dipikirkan aspek keberlanjutannya,” ucap peneliti ekologi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Joeni Setijo Rahajoe.

Joeni menjelaskan, ekoturisme merupakan cara menggunakan peran hutan dalam memberikan manfaat untuk manusia. Ia menambahkan, pengelolaan ekoturisme harus mengutamakan pengetahuan tradisional dalam mengatur periode kunjungan serta jumlah wisatawan. “Supaya tidak menganggu kehidupan tumbuhan dan satwa,” tuturnya.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia