DUNIA

8 HARI
DI ATAS
PUING ISIS

Perjalanan Tempo menembus Suriah dan bertemu dengan sejumlah warga negara Indonesia.  

Editor: Moerat Sitompul

Penulis: Hussein Abri Donggoran

Masalah sudah menghampiri saat saya pergi meninggalkan Indonesia dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Petugas check-in pesawat Qatar, bertanya kepada saya, kenapa tidak memiliki tiket pulang dari Baghdad, Iraq, ke Jakarta. “Daerah ini kan tempat konflik, jarang orang Indonesia ke sana,” ujar pria itu, Selasa malam, 14 Mei 2019. Saya katakan kepada petugas itu, karena pekerjaan saya belum tahu tanggal pasti untuk bisa kembali ke Jakarta. Saya pun menunjukkan sebuah surat dari perwakilan Indonesia yang menjamin saya di Iraq.

Akhirnya, saya pun mengeluarkan kartu wartawan, dan menyatakan saya mau meliput kegiatan puasa di Baghdad. Petugas pergi dari tempat check-in. Lalu ia kembali membawa secarik kertas. Isinya adalah pernyataan bahwa maskapai tidak bertanggung jawab atas kepulangan saya dari Baghdad.  Begitu mendapat tiket dan memasukkan barang bawaan ke bagasi pesawat, saya buru-buru masuk ke bagian imigrasi.

Ibu kota Iraq itu masih berantakan dan penuh pengamanan ketat. Untuk keluar dari bandara saja misalnya, taksi saya berhenti dua kali karena diperiksa oleh penjaga pos bersenjata lengkap. Tank-tank juga gampang ditemui di beberapa sudut jalan dengan petugas yang berjaga di atasnya.

Bangunan-bangunan yang bolong karena senjata api. Belum lagi, udara yang panas dan saya mengalami saat suhu berada pada 49 derajat Celsius. Usai menginap dua malam di kota yang dulu pernah terjadi Perang Teluk Persia pada 1991 maupun digempur pasukan Amerika Serikat pada 2003 itu, saya pun terbang ke Erbil.

Waktu penerbangan ke kota di bagian utara Irak itu sekitar satu jam. Erbil merupakan daerah otonomi Kurdistan Irak, dan merupakan pintu masuk bagi saya menuju Suriah.

Setelah menempuh perjalanan sejauh 208 kilometer dari Erbil sejak 06.00 waktu setempat, akhirnya saya sampai di satu-satunya perbatasan yang menjadi pintu masuk ke kawasan Timur Laut Suriah. Puluhan mobil sudah antre di gerbang pertama yang dijadikan check point, begitu juga orang-orang yang ingin masuk ke Negara Suriah meskipun jam masih menujukkan pukul 10.00. 

Petugas laki-laki yang berjaga menghubungkan saya ke Viyan, pegawai yang mengurus izin bagi warga negara non Irak dan Suriah untuk melintasi perbatasan dari Fishkhabur di Irak, menuju perbatasan Semalka di Suriah. “Anda sudah punya izin melintas perbatasan?” ujarnya melalui telepon. Saya jawab, izin sudah dipegang sejak 27 April lalu, saat berada di Indonesia.

Izin itu diberikan oleh pemerintah regional Kurdistan untuk melitas perbatasan, dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), untuk meliput di kawasan Timur Laut Suriah. Viyan lalu mempersilakan saya ke kantornya yang khusus untuk mengurus pelintas dari luar Irak dan Suriah. 

Setelah satu setengah jam, saya diberikan izin untuk masuk ke Suriah melalui gerbang Semalka. Seharusnya, setiap orang hanya butuh 10 menit untuk bisa sampai di Suriah dari Irak melalui pintu Semalka.

Caranya, melewati jembatan terapung yang berada di sungai Tigris dan menghubungkan perbatasan Fishkhabur dan perbatasan di Semalka. Karena jembatan itu hancur akibat dihantam arus sungai Tigris, seluruh orang yang mau masuk ke Suriah dari Irak maupun sebaliknya harus menggunakan bus. 



Rutenya pun memutar melalui kawasan Al Walid. Jalanan aspal pun berubah menjadi tanah, dan itu tandanya kami sudah masuk Al Walid.  Setelah pindah bus, jalan mulus sudah tidak ada lagi.

Saya menuju tempat menginap di Kota Qamishli. Ketika itu, saya tidak bisa langsung ke tempat pengungsian Al-Hawl, ke tempat tahanan, maupun ke lokasi bekas markas ISIS di Provinsi Raqqa, dan ke Desa Baghouz Al-Fawqani, Dayr az-Zawr yang merupakan target liputan saya.

Musababnya, perlu izin khusus dari pejabat SDF ataupun Otoritas Kurdistan Suriah.

Besoknya, saya pergi ke Kota Ain Issa untuk bertemu dengan juru bicara SDF, Mustafa Bali. Setelah menempuh tiga jam perjalanan, saya pun tiba di kantor Mustafa Bali. Sebelum masuk ke topik pembicaraan, yakni meminta izin untuk masuk ke seluruh target liputan di Suriah, saya memberikan rokok kretek dan kopi kepada Mustafa.

Mustafa pun mencoba seluruh rokok, dan dia mengatakan suka dengan kretek yang baunya mirip siwak, alat pembersih gigi tradisional yang mudah ditemukan di Timur Tengah.

Begitu juga dengan kopi yang saya berikan. Menurut Mustafa, kopi dari Indonesia ini berbeda dengan kopi Suriah. “Ini juga sudah diberikan gula langsung,” ujarnya dalam bahasa kurdi yang diterjemahkan oleh Abdulrahman. Kopi Suriah rasanya asam, dan cara minumnya di gelas kecil yang dituangkan oleh petugas. Jika habis, petugas itu dengan sigap menuangkan kembali kopi itu ke gelas saya. Saya tidak puasa lantaran kondisi badan kurang fit dan cuaca di Suriah yang panas.  

Mustafa Bali- TEMPO/Hussein Abri Donggoran

Obrolan pun menjadi cair. Mustafa pun akhirnya menanyakan tujuan saya datang. Dahi dia mengkerut setelah saya bilang ingin masuk ke tempat tahanan maupun pengungsian di Al-Hawl karena berat untuk mengabulkannya.

Mustafa pun meminta saya bertemu dengan Ketua Komisi Luar Negeri Otoritas Kurdistan Suriah atau Rojava, Abdulkarim Omar yang sedang berada di Kota Ain Issa. Mustafa juga memberikan saya izin untuk masuk ke kawasan Raqqa namun tidak memperbolehkan menginap di sana karena alasan keselamatan. Saya juga tidak diizinkan masuk ke Baghouz lantaran masih ada konflik antara SDF dan teroris yang dikelompokkan sel tidur.

Pertemuan dengan Abdulkarim selama satu jam pun berbuah hasil. Dengan catatan, ucap dia, saya harus bertemu dengan Kepala BIN Rojava, Siaman atau juga dikenal Symand di Kota Rmelan dan mendapatkan persetujuannya.  

Lantaran waktu tempuh dari Ain Issa ke Rmelan sekitar 4 jam, saya memutuskan untuk bertemu dengan Siaman esok harinya. Setelah bertemu dengan Abdulkarim, saya menghabiskan waktu menjelajah ke kawasan Raqqa yang hancur akibat pertempuran.

Menjelang malam hari, saya kembali ke Qamishli. Perjalanan malam menuju Qamishli pun membuat saya was-was. Selain kondisi yang sepi, saya takut teroris sel tidur beraktivitas di dekat kendaraan saya yang melaju di jalanan.   

Hari ketiga di Suriah, saya bertemu dengan Siaman. Sosoknya tinggi dan sikapnya dingin. Siaman mengatakan tidak mungkin bisa masuk ke dalam tahanan dan bertemu dengan orang Indonesia. Yang bisa, ucap dia, hanya mendatangkan tahanan asal Indonesia ke kantornya. Saya tetap menego untuk bisa masuk ke dalam tahanan.

Namun, Siaman keukeuh tidak ada izin untuk masuk ke tahanan. Khawatir akhirnya tidak diberikan izin termasuk ke Al-Hawl, saya pun menyetujui dipertemukan dengan tahanan asal Indonesia. Siaman pun meminta saya menunggu untuk dapat izin.

Nafas saya lega setelah penerjemah memberikan kabar bahwa Siaman mengizinkan untuk bertemu tahanan berkewarganegaraan Indonesia pada Sabtu, 25 Mei, pukul 13.00. Tak lama berselang, informasi menggembirakan kembali datang karena saya diberikan izin untuk masuk ke Al-Hawl dan bertemu orang Indonesia pada Kamis, 23 Mei pukul 10.00.

Saya pun tiba di Al-Hawl setengah jam sebelum waktu perjanjian. Saya berharap mendapatkan waktu lebih untuk bisa mengeksplorasi tempat pengungsian. Namun, harapan itu sirna setelah penerjemah saya turun dari mobil dan ke kantor yang menangani pengungsian Al-Hawl. Petugas yang memberikan izin, Sardam, menyatakan Siaman tidak pernah memberitahu bahwa ada wartawan dari Indonesia yang bisa masuk ke Al-Hawl.

Sekitar pukul 14.00,Siaman mengabari sudah menghubungi Sardam. Petugas keamanan Al-Hawl yang berasal dari SDF pun meminta saya mencari sendiri warga negara Indonesia di antara 73 ribu pengungsi.

Saya pun kembali berputar, dan dikelilingi anak kecil yang menunjuk kawannya berasal dari Indonesia. Ketika saya tanya, bocah itu langsung kabur. Begitu juga dengan Ibu yang berjualan dan disebut berasal dari Indonesia oleh sekelilingnya. Ia langsung menggelengkan kepala. Hampir 25 menit berada di pengungsian, saya pun akhirnya bertemu dengan sejumlah wanita dan anak-anak yang berasal dari Indonesia. 

Di sana, saya mewawancarai dan mengajak ngobrol mereka selama satu jam. Setelah itu, petugas meminta mereka segera kembali ke tenda pengungsiannya. Sambil menuju mobil dan masih bersama para pengungsi yang merupakan istri dari kombatan ISIS, saya bertemu juga satu perempuan yang menggendong anak bayinya di dalam rombongan.

Dia meminta tolong karena tak tahu akan dibawa ke mana. Salah satu wanita pengungsi, Halimatun Sadiyah, menuturkan rekannya itu diamankan karena dituduh mencuri. Padahal, ucap Halimatun, temannya itu yang berteriak ada pencurian di areal tenda. “Barang-barang dia juga hilang,” katanya. Saya tak bisa menolongnya, dan perempuan itu pun hilang di antara barisan puluhan wanita lainnya. Saya pun kembali ke Qamishli. 

Dua hari kemudian, saya bertemu dengan tahanan berasal dari Indonesia. Awalnya, sempat ada petugas penjagaan menuju Rmelan dari Qamishli yang mempertanyakan izin tinggal saya sudah habis lantaran hari Sabtu merupakan hari ketujuh.

Namun, penerjemah saya menyatakan akan bertemu dengan Kepala BIN Siaman. Petugas itu pun akhirnya mempersilakan kami melajutkan perjalanan. Sampai di Rmelan, saya bertemu dengan tahanan asal Indonesia yang bernama Ubaid Mustofa Mahdi. Ubaid merupakan nama samaran. Ubaid yang didampingi dua petugas kaget lantaran belum pernah bertemu dengan orang Indonesia lain. “Biasanya saya ditanya oleh peneliti dari negara lain,” ujarnya.

Usai mewawancari Ubaid, saya pun bertemu dengan Siaman. Saya menanyakan bagaimana rasa rokok yang saya kasih. Berbeda dengan juru bicara Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mustofa Bali, Siaman rupanya tak suka dengan rokok itu karena rasanya berat. Siaman mengatakan kalau saya kembali ke Suriah, lebih baik membawa rokok putih. “Rokok yang kamu kasih, saya bagikan satu-satu ke anak buah saya,” ujarnya.