Longform

Terusir dari Kampung Sendiri: Perampasan Tanah Ulayat dan Satu Dekade RUU Masyarakat Adat Mangkrak

Jum'at, 25 Februari 2022

Pembahasan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat mandek selama lebih dari satu dekade di parlemen. Kehadiran RUU tersebut amat mendesak untuk melindungi masyarakat adat dari aksi perampasan wilayah adat atas nama pembangunan, izin perkebunan, tambang, maupun investasi lain berbasis lahan.

Oleh Dewi Nurita

header

HERMINA Mawa belum lupa saat polisi memborgol tangannya pada 4 Oktober 2021. Kala itu, ia dan sejumlah anggota masyarakat adat Desa Rendu Butowe, Nusa Tenggara Timur, sedang menghadang tim pengukur tanah di wilayah adat tanpa seizin mereka.

Pengukuran tanah itu bagian dari rencana pemerintah yang akan membangun Waduk Lambo tepat di Rendu Butowe, kampung Hermina. Warga yang tak terima meminta petugas angkat kaki. Bentrokan tak terelakkan. 

"Mereka masuk diam-diam, jadi kami hadang saat keluar. Mereka malah menelepon polisi yang kemudian datang membawa laras panjang. Salah satu dari polisi itu memerintahkan agar kami diborgol saja. Saya langsung ditarik dan diborgol," ujar Hermina kepada Tempo, Kamis, 3 Februari 2022.

Selama satu jam tangan perempuan 47 tahun yang akrab disapa Mama Mince digari. Dia dilepaskan karena sejumlah perempuan adat lainnya meminta diborgol jika polisi memborgol salah satu dari mereka. 

Kekerasan ini bukan yang pertama kali dialami Mama Mince. Pada April 2018, ia pernah dicekik aparat saat berdemonstrasi menolak penggusuran kampung adatnya yang akan dijadikan Waduk Lambo. Hari-hari Mama Mince tak pernah tenang sejak rencana pembangunan Waduk Lambo kembali mencuat pada 2015. 

Pada 2021, menjelang proyek pemerintah pusat ini berjalan, intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat meningkat. Rumah jaga dan atribut penolakan dirusak oleh polisi. Tidak sedikit warga yang mengalami perlakuan kasar polisi yang mengawal pembangunan waduk ini.

Pada pertengahan Desember 2021, bentrokan kembali terjadi saat warga Rendu Butowe menghalau kehadiran polisi. Siti Aisyah, 56 tahun, perempuan adat Rendu lainnya yang ikut aksi tersebut menceritakan insiden yang dialaminya. "Saya ditarik-tarik oleh polisi. Maaf, kami akhirnya sampai telanjang dada, supaya mereka tidak mengganggu lagi," ujarnya.

Rencana pembangunan bendungan di Lowo Se yang merupakan tanah ulayat tiga adat, yakni Rendu, Ndora, dan Lambo, telah mencuat sejak 2001. Saat itu, masyarakat sudah menolak dan pemerintah mengurungkan niat melanjutkan pembangunan.

Rencana itu kembali hidup setelah Presiden Joko Widodo berpidato di Nusa Tenggara Timur pada Desember 2015. Ketika itu, Jokowi menetapkan pembangunan tujuh waduk di NTT sebagai program strategis nasional--salah satunya Waduk Lambo. Jokowi mengklaim pembangunan ini akan menyelesaikan masalah kebutuhan air bersih dan meningkatkan produktivitas pertanian.

Mama Mince dan Mama Siti menegaskan bahwa masyarakat adat di ketiga komunitas yang terkena dampak langsung pembangunan sebetulnya tidak menolak kehadiran Waduk Lambo. Mereka hanya tidak menerima jika lokasi proyek menggusur tanah ulayat.

Mama Siti tidak ingin kampung, kebun, tempat ibadah, sekolah, tempat ritual adat, dan kuburan leluhur mereka tenggelam jika waduk dibangun di situ. Masyarakat adat menawarkan dua lokasi alternatif, yaitu di Lowo Pebhu dan Malawaka. "Tapi pemerintah berkeras membangun di wilayah hidup kami," ujar Siti.

Bertahun-tahun para perempuan adat di Rendu Butowe menjadi garda terdepan penghadang rencana pembangunan. Pemerintah menawarkan mereka ganti rugi, tapi warga bergeming. "Kami tidak memperjualbelikan harga diri nenek moyang kami. Biar kami mati demi mempertahankan tanah kami," kata Siti.

Direktur Bendungan dan Danau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Airlangga Mardjono mengatakan alasan Lowo Se dipilih sebagai lokasi proyek. Menurut dia, di lokasi tersebut waduk bisa mendapatkan volume tampungan yang lebih besar. Jika bendungan dibangun di Malawaka dan Lowo Pebhu seperti saran masyarakat, kata Airlangga, volume tampungannya sangat kecil dan manfaat waduk tidak sebanding dengan biaya pembangunannya.

Ia mengatakan penetapan lokasi pembangunan Waduk Lambo dipayungi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Pembangunan bendungan sebagai proyek strategis nasional akan dilaksanakan sesuai dengan kaidah umum pembangunan bendungan,” ujar Airlangga.

Deputi Sekretaris Jenderal AMAN Erasmus Cahyadi menjelaskan akar penyebab konflik negara dan masyarakat adat yang kerap terjadi. Menurut Erasmus, selama ini tak ada kepastian hukum yang melindungi masyarakat adat dan lingkungan tempat mereka tinggal. Misalnya, kata Erasmus, tanah yang menjadi objek pengadaan untuk proyek kebanyakan statusnya belum dimiliki oleh masyarakat. 

"Jadi negara bisa melakukan apa pun, termasuk menggunakan undang-undang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal dari sisi masyarakat adat, tanah-tanah itu masih berada dalam status konflik," ujar Erasmus pada Kamis, 17 Februari 2022.

AMAN mencatat, sepanjang 2021 ada 13 konflik di wilayah adat yang mencakup area seluas 251.000 hektare dan berdampak pada 103.717 jiwa. Selain disebabkan oleh rencana pembangunan infrastruktur, konflik terjadi akibat banyaknya izin atau konsesi hutan, kebun, ataupun tambang yang merambah wilayah adat.

Menurut Erasmus, keberadaan masyarakat adat diakui oleh Undang-Undang Dasar, khususnya pada Pasal 18B ayat (2). Namun sampai detik ini, kata Erasmus, belum ada undang-undang yang dibuat secara khusus untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat adat. Pengaturan dan pengelolaan masyarakat adat di tingkat pemerintah pusat tersebar setidaknya di 13 kementerian-lembaga. Menurut Erasmus, masing-masing undang-undang yang menyinggung masyarakat adat berfokus pada sektor terkait saja.

Berbagai peraturan yang ada, Erasmus melanjutkan, mensyaratkan pengakuan terhadap masyarakat adat harus dikukuhkan lewat peraturan daerah. "Jadi, seolah-olah aturan hukum tersebut yang membuat masyarakat adat ada. Padahal, mereka sudah ada sebelum republik ini merdeka," ujarnya.

Menagih RUU Masyarakat Adat 

SEJAK 2009, AMAN dan jaringan masyarakat sipil menginisiasi draf RUU Masyarakat Adat yang diharapkan bisa menjadi payung hukum yang kuat bagi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Namun rancangan undang-undang itu mandek di DPR.

RUU Masyarakat Adat keluar-masuk program legislasi nasional. Memasuki 2021, RUU tersebut tercantum dalam prolegnas prioritas. Pada September 2020, RUU yang diberi judul "Masyarakat Hukum Adat" itu dibahas di Badan Legislasi DPR dan disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna sebagai RUU usulan DPR. Namun setiap kali rapat paripurna digelar, usulan tersebut tak pernah diketuk.

2009

Perancangan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat pertama kali dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan jaringan masyarakat sipil. Draf pun dilanjutkan dengan serangkaian konsultasi dan dialog dengan berbagai pihak.

2012

RUU Masyarakat Adat diusulkan ke DPR RI melalui Fraksi PDIP.

2013

RUU Masyarakat Hukum Adat pertama kali berhasil masuk ke dalam Prolegnas DPR.

2014

Kembali masuk dalam Prolegnas dengan status ‘luncuran’. RUU ini sudah sempat dibahas dalam Pansus dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat.” Akan tetapi, pembahasannya tidak selesai hingga masa jabatan DPR RI periode 2009-2014 berakhir.

2015-2016

Tidak berjalan atau tidak ada agenda.

2017

RUU ini masuk Prolegnas Prioritas dan diusulkan oleh Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

2018

Draft RUU rampung di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan tidak lanjut:

  1. Draft disampaikan ke Presiden melalui Surat No.LG/03105/DPR-RI/2018.
  2. Terbit Surpres No. B-186/M.Sesneg/D 1.HK.00.03/03/2018 tentang Pembentukan Tim Pemerintah untuk Membahas RUU Bersama DPR RI, terdiri dari Kemendagri, KLHK, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemendes/PDT, Kemenkumham
  3. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara. Hingga masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 berakhir, pemerintah tidak kunjung menyerahkan DIM kepada DPR dan pembahasan RUU tidak dapat dilanjutkan.

2020

RUU Masyarakat Hukum Adat kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas. RUU yang bersifat carry over ini dibahas di Baleg. Mayoritas fraksi menyetujui pembahasan RUU ini dilanjutkan ke tahap berikutnya. Namun, hingga saat ini, RUU Masyarakat Adat masih stagnan di tahap harmonisasi, sampai saat ini belum dibawa ke rapat paripurna dan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Adat, Willy Aditya, mengatakan Badan Legislasi sudah mengirimkan surat kepada pimpinan DPR untuk menggelar rapat paripurna pengesahan RUU usulan Fraksi NasDem tersebut namun tak kunjung mendapat balasan. Tempo mencoba mengkonfirmasi hal tersebut kepada lima pimpinan DPR, tapi belum mendapat respons.

Menurut Willy, melihat peta dukungan fraksi di Baleg, tujuh dari sembilan fraksi mendukung pembahasan RUU ini dibawa ke paripurna sebagai inisiatif DPR. Dua yang tidak setuju adalah Fraksi Golkar dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Sekarang tinggal political will dari pimpinan dan kenegarawanan mereka yang kami harap bisa menjadi pendorongnya," ujar dia pada Senin, 7 Februari 2022.

Golkar menolak RUU Masyarakat Adat dengan alasan aturan tersebut belum mendesak untuk dibahas dan disahkan. "Terkait dengan RUU Masyarakat Hukum Adat, Fraksi Partai Golkar menolak untuk dilanjutkan karena setelah kami kaji masih belum mendesak saat ini," kata anggota Fraksi Golkar, Christina Aryani, saat menyampaikan pandangan fraksi dalam Rapat Kerja Baleg dan Menteri Hukum dan HAM pada Kamis, 14 Januari 2021.

Adapun politikus PDIP, Hendrawan Supratikno, membantah menolak RUU Masyarakat. PDIP, ujar dia, mendukung seperti halnya fraksi lain asalkan drafnya diperbaiki. "RUU ini beririsan dengan sejumlah undang-undang yang lain. Sehingga berdasarkan masukan yang kami terima, substansinya harus diperbaiki agar tidak menimbulkan resistensi dan bertabrakan dengan kepentingan yang lebih besar," ujar Hendrawan yang pernah menjadi anggota Panitia Kerja RUU Masyarakat Adat pada Kamis, 17 Februari 2022.

Salah satu aturan yang beririsan dengan RUU Masyarakat Adat adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Analisis Yayasan Madani Berkelanjutan bersama jaringan masyarakat sipil menyebut faktor ekonomi-politik serta sejumlah klausul dalam Undang-Undang Cipta Kerja ditengarai menjadi salah satu batu sandungan bagi pembahasan RUU Masyarakat Adat. 

Menurut Willy Aditya, saat ini ada isu bahwa RUU Masyarakat Adat berbenturan dengan regulasi yang menjadi payung pembangunan dan investasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal menurut Willy, Undang-Undang Cipta Kerja membawa semangat perlindungan dan pemajuan masyarakat adat. Salah satu buktinya, kata dia, aturan anyar tersebut melarang penerbitan perizinan berusaha di atas wilayah adat dan tanah ulayat masyarakat adat. "Jadi sekali lagi jangan menarasikan RUU MHA ini vis a vis (berhadapan) dengan pembangunan dan investasi," ujar politikus NasDem itu. 

Persoalannya, menurut Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo, saat ini proses pembuatan aturan yang mengakui masyarakat adat berjalan sangat lambat di daerah. Sebaliknya, pemanfaatan hutan adat dan tanah ulayat untuk kepentingan investasi dan pembangunan berlangsung cepat. "Terlebih, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang secara substansial memberikan banyak kemudahan perizinan berusaha berbasis lahan," ujarnya, Kamis, 17 Februari 2022.

Menurut data BRWA hingga Agustus 2021, sebanyak 1.034 peta wilayah adat yang telah diregistrasi dengan luas mencapai sekitar 12,4 juta hektare. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 provinsi dan 136 kabupaten/kota. 

Sebanyak 154 wilayah adat sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan luas 2,46 juta hektare atau hanya 19,8 persen dari total wilayah adat teregistrasi di BRWA. Di provinsi dan kabupaten/kota yang telah menerbitkan peraturan daerah yang mengakui masyarakat adat, terdapat 617 peta wilayah adat dengan luas 7,66 juta hektare. Masih ada 2,31 juta hektare wilayah adat belum memiliki payung hukum. 

Dari 12,4 juta hektar peta wilayah adat teregistrasi di BRWA, potensi luas hutan adat mencapai 8,35 juta hektare. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menerbitkan 75 surat keputusan pengakuan hutan adat seluas 56.903 hektare atau 0,68 persen dari potensi hutan adat saat ini. 

Adapun untuk tanah ulayat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang sepanjang 2015-2016 menetapkan 14.321 hektare lahan untuk empat komunitas adat. Kemudian pada akhir 2019, Kementerian ATR/BPN mengubah Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 9/2016 dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Tapi sejak itu hingga 2021, belum ada lagi penetapan atau penegasan hak atas tanah ulayat masyarakat adat.

Dengan pengaturan yang payah seperti saat ini, butuh waktu sangat lama bagi masyarakat adat untuk mendapatkan kembali hutan dan tanah ulayat mereka. Hak-hak masyarakat adat yang menurut hukum positif belum diakui oleh negara rentan dilanggar. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012 menegaskan agar wilayah adat harus dikembalikan kepada masyarakat adat karena penguasaan negara atas wilayah adat itu bersifat inkonstitusional. "Tetapi komitmen rendah yang menyembunyikan motif-motif ekonomi dan politik telah menyebabkan betapa sulitnya meluruskan kesalahan tersebut," ujar Kasmita. 

infografis

Dalam RUU Masyarakat Adat, sebanyak 30 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat--termasuk BRWA, menawarkan mekanisme baru untuk mendapatkan pengakuan negara. Cara pertama, pendaftaran oleh pemerintah daerah setelah lahan diverifikasi lembaga khusus yang diusulkan dibentuk. Cara berikutnya, masyarakat adat meminta pengadilan untuk mengeluarkan penetapan, seperti halnya pengadilan menetapkan ahli waris.

Usulan lainnya menghapus bab tentang evaluasi, menambahkan bab tentang restitusi dan rehabilitasi, menambahkan perlindungan hak kolektif perempuan adat, dan mengatur kelembagaan khusus di tingkat nasional. Meski belum diakomodasi dalam draf terakhir, koalisi optimistis bisa mengawal usulan ini jika RUU lolos di rapat paripurna untuk dilanjutkan pembahasannya.

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar setuju pembahasan RUU Masyarakat Adat harus dilanjutkan. Menurut Halim, selama ini pembentukan desa adat sulit dilakukan lantaran status kesatuan masyarakat hukum adat sulit diidentifikasikan, lebih-lebih jika terkait dengan batas wilayah ulayat. 

Sampai dengan kondisi Januari 2022 belum ada satu pun desa adat terbentuk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desa. "Untuk itu, kami menilai pembahasan RUU Masyarakat Adat ini urgen untuk penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi desa adat," tuturnya kepada Tempo, Selasa, 15 Februari 2022.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang berbeda pandangan. Staf Khusus Menteri ATR Bidang Hukum Adat, M. Adli Abdullah, mengatakan pengaturan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat tidak diperlukan undang-undang tersendiri. Ia menilai hal itu masih bisa diatur dalam undang-undang sektoral yang ada saat ini. Menurut Adli, tiga hal penting dalam hukum tanah adat adalah adanya subjek, yaitu masyarakat adat; objek, yaitu tanah; dan adanya penguasaan fisik terhadap tanah adat.

"Permasalahan subjek itu kewenangan Kemendagri atau pemda. Objeknya itu kewenangan Kementerian ATR. Kalau subjek sudah jelas dan objeknya clear and clean, serta dikuasai oleh masyarakat adat, untuk kepastian hak diberikan sertifikat hak pengelolan lahan (HPL) kepada masyarakat Adat dan ini telah diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2021," ujarnya pada Rabu, 16 Februari 2022. 

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko enggan menjawab saat ditanya sikap Istana mengenai RUU Masyarakat Adat ini. "Mohon maaf, saya belum bisa memberi penjelasan sekarang, ya," katanya lewat pesan singkat pada Rabu, 16 Februari 2022.

Deputi II Sekretaris Jenderal AMAN, Erasmus Cahyadi menilai belum ada komitmen kuat dari DPR dan pemerintah untuk membahas RUU Masyarakat Adat. Padahal, RUU ini sangat mendesak dibahas. Apalagi pemerintahan Joko Widodo gencar membangun infrastruktur. 

Erasmus mencontohkan rencana pembangunan ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. AMAM mengidentifikasi ada 11 wilayah komunitas masyarakat adat yang menjadi zona inti pembangunan ibu kota negara. Undang-Undang Ibu Kota Negara dinilai tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi hak masyarakat adat. Padahal, ada 20 ribu penduduk yang terancam tergusur dari wilayah adatnya.

Erasmus berharap Presiden Jokowi mendorong pembahasan RUU yang masih menggantung di parlemen itu. "Kalau Presiden Jokowi memberi arahan membahas, saya yakin ini bisa cepat selesai. RUU lain saja seperti jalan tol. RUU IKN bisa selesai tidak sampai dua bulan, tapi RUU Masyarakat Adat dibiarkan mangkrak lebih dari satu dekade," kata Erasmus.

Liputan ini merupakan hasil In-depth Journalism Collaboration on Legislation Issues yang diselenggarakan oleh Indonesian Parliamentary Center.

CREDIT

Penulis

Multimedia

Editor