Proyek

Polemik Serobot Tanah di Indonesia

Rabu, 28 September 2021

Persoalan kepemilikan tanah di Indonesia masih banyak yang belum tertangani. Sengketa tanah hingga praktik serobot tanah oleh korporasi masih banyak memakan korban.

Oleh Inge Klara Safitri

tempo

Sepucuk surat tersisip di pagar rumah Rocky Gerung, 12 Agustus 2021. Setelah dibuka, surat itu ternyata berisi somasi yang ditujukan untuk dirinya. Di surat itu pula tertulis perintah mengosongkan dan membongkar bangunan milik di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Ia harus melakukan pembongkaran itu dalam tempo satu minggu. Kalau tidak dilakukan, maka pembongkaran akan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Somasi ini merupakan somasi ketiga yang dilayangkan PT Sentul City ke Rocky. Sebelumnya, dua surat somasi dikirim masing-masing pada 28 Juli dan 6 Agustus 2021. Sentul City mengklaim memiliki bukti kepemilikan atas tanah tersebut berupa sertifikat.

Sejak awal, Rocky tak pernah dengar bahwa tanah yang akan dibelinya itu milik orang lain. Ia hanya tau kalau tanah itu merupakan tanah garapan Andi Junaedi. Kemudian pada 1 Juni 2009, Rocky membeli oper alih garapan tersebut dengan batas sebelah utara adalah garapan Agus, sebelah Timur Jalan Raya, sebelah Selatan garapan Rita Wita dan sebelah Barat garapan Agus.

Proses pembeliannya pun diklaim Rocky dilakukan sesuai dengan prosedur, disaksikan langsung Ketua RT 02, Ketua RW 11 dan ditandatangani Kadus V, Kelurahan Bojong Koneng yang menjabat saat itu.. “Saya sempat bertanya apakah tanah ini ada sengketa, semua yang hadir termasuk lurahnya menjawab tidak dan ada surat pernyataan tidak dalam sengketa,” kata Rocky menjelaskan.

Sementara itu, Sentul City mengklaim memegang sertifikat hak guna bangunan atau SHGB Nomor B2412 dan B2411 terbitan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor. Sertifikat itu juga yang menjadi landasan pengembang itu mensomasi Rocky Gerung agar segera meninggalkan huniannya. 

Sentul City menyatakan bahwa Rocky Gerung telah membeli lahan dari orang yang salah. Menurut Head of Corporate Communication PT Sentul City Tbk David Rizar Nugroho, penjual tanah bernama Andi Junaedi sudah beberapa kali menggadaikan lahan milik pengembang itu. Andi disebut pernah tersandung masalah hukum dan menjadi terpidana kasus jual beli tanah dan pemalsuan surat. Andi pun pernah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Cibinong nomor 310/Pid.B/2020/PN.Cbi tahun 2020.

“Somasi tersebut juga dikirimkan kepada pihak-pihak yang juga menduduki lahan kami yang telah bersertifikat, yang di keluarkan oleh BPN tadi,” kata David.

Selain Rocky, klaim kepemilikan tanah oleh Sentul City juga berdampak pada puluhan kepala keluarga lain yang tinggal di Kampung Gunung Batu, Bojong Koneng. Bahkan, Sentul City tetap melakukan upaya penggusuran tanah dan/atau bangunan milik warga setempat walaupun proses hukum saat ini masih berjalan.

Rocky mengaku tak akan tinggal diam. Ia berencana menuntut PT Sentul City sebesar Rp 1.000.000.000.001. “Rp 1 untuk harga tanah saya, Rp 1 triliun untuk harga batin yang merasa diteror,” katanya. Ia sudah menunjuk Haris Azhar sebagai kuasa hukumnya dan telah menyiapkan sejumlah langkah hukum. Haris disebutkannya juga akan mendampingi puluhan kepala keluarga lainnya yang juga bernasib sama dengannya. 

Kasus sengketa tanah antara warga dengan pengembang bukan kali pertama terjadi. Belakangan marak juga kasus-kasus yang diduga melibatkan mafia tanah. Sejak awal tahun, bahkan kepolisian mulai membentuk satgas anti mafia tanah. Satuan tugas ini bertugas memberantas praktik-praktik mafia tanah di daerah dan memproses hukum para pelakunya. Satgas ini akan bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menjalankan tugasnya.

Dugaan mafia tanah berada di balik sengketa lahan Rocky Gerung vs Sentul City pun ikut mencuat. Modusnya, oper alih garapan yang dilakukan oleh Andi Junaedi. Sebab, Andi dikenal sering menggadaikan tanah milik Sentul City.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencatat kasus yang terindikasi sebagai mafia tanah di Indonesia sejak 2018 mencapai 242 kasus. Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan RB Agus Widjayanto mengatakan penanganan kasus-kasus tersebut dilakukan kementeriannya dengan melibatkan kepolisian hingga kejaksaan.

“Dengan penegakan hukum yang menjadi mitra. Sampai hari ini ada 242 kasus yang kita tangani ada yang sudah P21, pengadilan sudah putus dan ada juga yang diselesaikan secara perdata karena tanahnya sudah dikembangkan kepada korban yang berhak,” ujar Agus, Juni lalu.

Agus melanjutkan jumlah kasus mafia tanah memang terbilang sedikit jika dengan kasus sengketa serta konflik pertanahan. Namun penanganan kasus-kasus ini tetap menjadi prioritas kementeriannya agar dapat memberikan efek jera bagi para pelaku.

Sebelum Rocky Gerung, ada banyak laporan terkait sengketa tanah hingga serobot tanah yang melibatkan pengembang. Para korban tergabung dalam Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI). “Ada banyak perampasan tanah rakyat. Perusahaan mengklaim memiliki HGU atau HGB di atas tanah rakyat. Padahal, belum ada proses jual beli kepada pemilik tanah yang sah,” kata Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), SK Budiardjo.

Menurut Budi, banyak tanah yang telah memiliki sertifikat (SHM) maupun girik milik rakyat menjadi sasaran para mafia tanah. Tanpa proses jual beli, di atas tanah milik rakyat bisa terbit Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama perusahaan.

Dalam beberapa kasus, perusahaan hanya bermodal Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah (SIPPT) untuk menekan rakyat agar menjual dengan harga murah atau menyeret rakyat ke pengadilan. Padahal, banyak korban perampasan sudah memiliki surat kepemilikan tanah baik, berupa girik maupun sertifikat.

Parahnya, meski para korban telah melaporkan praktik perampasan tanah dengan bukti-bukti lengkap, institusi terkait tak kunjung menindak komplotan mafia. Seperti yang dialami Robert Sudjasmin. Kasusnya sudah berlangsung puluhan tahun tanpa penyelesaian yang baik.

Semua bermula saat Robert berniat mengikuti lelang tanah seluas 8.320 meter persegi di Boulevard, Kelapa Gading setelah membaca koran Suara Pembaruan. Saat itu, ia memang memiliki rencana membangun rumah sakit bersama dengan 10 rekannya. Salah satunya adalah M. Sarengat, pelari yang mengharumkan Indonesia di ajang Asian Games.

Lahan yang dilelang itu milik CV Griya Tirta. Kemudian Robert menang lelang dengan harga Rp 629 juta dan mengantongi sertifikat hak milik (SHM) no. 139. Saat itu, jumlah uang yang dibayarkan Robert setara dengan 50 kilogram emas. Sebulan berlalu, masalah datang. PT Summarecon Agung ikut mengklaim memiliki tanah yang dibeli Robert itu. “Saya menjalani peradilan sejak 1991 sampai sekarang. Terakhir, Kemenkeu sebagai penanggung jawab lelang ajukan PK tahun 2018,” ujar Robert.

Menurut Budi, Robert bukan satu-satunya korban. “Di FKMTI ada ratusan korban dari seluruh Indonesia,” katanya. Ia berharap perintah Presiden Jokowi untuk memberantas mafia tanah dan beking-bekingnya segera dilaksanakan. “Jadi, aneh jika para pendukung Presiden hanya bersuara nyaring soal kasus Rocky Gerung dan Sentul City. Sebab, banyak juga relawan Jokowi yang menjadi korban perampasan tanah,” katanya.

Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN Daniel Adityajaya mengatakan, modus yang dipakai pelaku mafia tanah saat ini cukup beragam. Biasanya, modus dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum, dan umumnya dilakukan oleh sekelompok orang secara terencana, rapi, dan sistematis. Namun, Daniel memastikan pihaknya akan menangani kasus sengketa melibatkan mafia tanah dengan serius. “Kementerian ATR/BPN akan melakukan penanganan yang serius dalam memberantas mafia tanah tersebut,” ujarnya.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia