Longform

Quantified Self, antara Azimat atau Perangkap

Jum'at, 18 Februari 2022

Praktik self-tracking yang lebih luas dikenal sebagai quantified self menjadi salah satu tren kekinian seiring kemajuan teknologi. Meski dianggap sebagai cara ampuh untuk mencapai tujuan pribadi tertentu, praktik ini tidak terlepas dari sejumlah pandangan skeptis.

Oleh Faisal Javier

tempo

Sebagai seorang edukator kesehatan, Dion Haryadi (29) telah mempraktikkan kegiatan pencatatan diri (self-tracking) sekitar enam tahun lalu. Saat itu, seingatnya, ia turut serta dalam tren pemakaian gelang pintar atau smartband keluaran Xiaomi.

Ia memanfaatkan smartband untuk mengetahui jumlah detak jantungnya saat berolahraga serta menghitung langkah kakinya setiap hari. Meski ia sebenarnya menggunakan alat itu semata karena alasan lain.

“Saat itu lebih karena gaya, ya. Ya sudah, pakai aja,” kata Dion kepada Tempo pada 26 Januari 2022. Karena tidak punya tujuan spesifik, serta fitur-fitur alat itu yang baginya masih minim, penggunaan smartband itu tidak bertahan lama.

Sekitar dua tahun berselang, Dion memulai kembali melakukan kegiatan self-tracking. Kala itu, ia mulai menggunakan aplikasi penghitung kalori, untuk mengetahui jumlah kalori yang ia konsumsi dalam sehari.

“Jadi setiap hari kita timbang makanan kita, kita ukur, kita catat, terus kita review. Kira-kira hari ini saya makan berapa (kalori) ya, dalam seminggu makan berapa (kalori) ya, apakah saya bisa mencapai target makronutrien,” kata Dion, yang berprofesi sebagai dokter umum di Batam.

 “Terus saya bandingkan dengan progres berat badan, (dan) lingkar tubuh,” lanjut pria yang sekaligus pelatih kesehatan tersertifikasi itu.

Namun, kegiatan itu tidak rutin ia lakukan setiap saat. Ia telah melakukan kegiatan itu dalam waktu lama, kini telah ia melepas kebiasaan itu. Ini karena ia telah mengetahui secara umum kebutuhan kalorinya. 

Selain itu, ia biasanya juga tidak melakukan kegiatan ini bila musim liburan tiba. Lantaran makanan yang terhidang saat itu umumnya lebih bebas—bukan makanan yang ia siapkan sendiri. Sehingga lebih sulit bagi Dion untuk menakar jumlah kalorinya.

“Kalau kita mau nimbang-nimbang keakuratan dari hitung kalori lebih rendah, ya sudah lepasin aja,” kata Dion. 

Ia akan kembali melakukan penghitungan kalori bila ia memiliki target angka kenaikan atau penurunan berat badan secara spesifik.

Bukan Sekadar Kegiatan Individu

Selain Dion, terdapat banyak orang yang turut melakukan kegiatan serupa. Praktik yang lebih luas dikenal sebagai pengukuran diri (quantified self) ini makin menjamur seiring perkembangan teknologi self-tracking

Quantified self lantas meluas menjadi sebuah gerakan dengan nama serupa. Gerakan ini dicetuskan oleh dua editor majalah teknologi Wired, Kevin Kelly dan Garry Wolf pada 2007. Berdasarkan keterangan di situs resminya, perkumpulan ini bertujuan untuk mengeksplorasi alat-alat self-tracking serta menciptakan lingkungan di mana orang-orang yang terlibat dalam kegiatan itu dapat mendiskusikannya lebih lanjut. 

Futuris asal Amerika Serikat (AS), Melanie Swan dalam artikelnya di jurnal Big Data yang terbit pada 2013 mendefinisikan quantified self sebagai kegiatan di mana individu terlibat dalam kegiatan self-tracking untuk menggali informasi seputar aspek biologis dan fisik tubuh mereka, kondisi psikologis mereka, dan lingkungan sekitarnya.

Hal-hal yang Dapat Diukur

Aktivitas fisik

Pertama, dan paling umum dilakukan ialah pencatatan aktivitas fisik. Kegiatan-kegiatan yang dapat dicatat meliputi jarak, langkah, kalori terbakar, repetisi gerakan, set, metabolic equivalent of tasks (METs).

Diet

Kedua, yang juga umum dilakukan pelaku quantified self adalah seputar aktivitas diet. Mereka umumnya mencatat dan mengukur kalori yang mereka konsumsi, beserta makronutrien.

Psikologi

Ketiga ialah variabel psikologis. Aspek-aspek yang dapat dicatat, diukur, lalu diinterpretasikan melalui quantified self meliputi suasana hati, kebahagiaan, ketersinggungan, emosi, kecemasan, harga diri, depresi, dan kepercayaan diri.

Kognitif

Berikutnya adalah variabel keadaan dan sifat mental dan kognitif. Aspek-aspek yang termasuk dalam variabel ini antara lain IQ, kewaspadaan, fokus, reaksi, memori, kelancaran verbal, kesabaran, kreativitas, penalaran, dan kemampuan psikomotorik.

Keseharian

Variabel lain yang dapat dicatat dan diukur adalah variabel situasi. Meliputi konteks serta situasi yang dihadapi seseorang, kepuasan, pemanfaatan waktu dalam sehari, dan pemanfaatan hari dalam seminggu.

Sosial

Pelaku quantified self juga dapat mencatat, mengukur, serta menginterpretasikan variabel sosial yang mereka miliki. Aspek-aspek yang termasuk variabel ini adalah pengaruh, kepercayaan, karisma, karma, dan status dalam grup atau jejaring sosial.

Lingkungan

Terakhir ,pelaku quantified self juga dapat mencatat dan menginterpretasikan variabel lingkungan sekitar mereka. Variabel ini meliputi lokasi, arsitektur, cuaca, kebisingan, polusi, cahaya, serta musim.

Jauh sebelum teknologi komputer ditemukan, jejak kegiatan ini telah muncul ratusan tahun lampau. Salah satu kegiatan paling awal, tercatat dilakukan Santorio Santori, seorang profesor kedokteran di University of Padua, Italia pada abad ke-16. Ia mencatat penggunaan energi dengan membandingkan berat badannya dengan makanan yang ia konsumsi dan kalori yang ia bakar selama 30 tahun.

Pada 2012, Pew Research Centre menemukan bahwa 60 persen orang dewasa di AS menghitung berat badan, diet, serta olahraga mereka. Sekitar sepertiga orang dewasa di AS juga memantau beberapa indikator lain seperti gula darah, tekanan darah, sakit kepala atau pola tidur.

“Kami memiliki penelitian yang menunjukkan bahwa self-tracking benar-benar dapat berdampak positif bagi orang-orang,” kata Susannah Fox, peneliti hubungan internet dan kesehatan di Pew Research Centre dalam sebuah simposium self-tracking di Stanford University, AS pada 2012.

Perkembangan teknologi informasi pun mendorong perusahaan-perusahaan teknologi berlomba-lomba menciptakan teknologi self-tracking. Salah satu model paling populer ialah wearable atau berbentuk terpasang pada anggota tubuh, seperti jam tangan pintar (smartwatch) dan gelang pintar (smartband). 

Alat wearable ini memiliki sensor yang dapat menghitung jumlah denyut nadi pada pergelangan tangan penggunanya. Dengan cara kerja itu, perusahaan-perusahaan teknologi mengeklaim bahwa alat ciptaan mereka dapat mendeteksi detak jantung, saturasi oksigen, level stres, jam tidur, langkah kaki, hingga jumlah kalori terbakar saat berolahraga. Selain itu, alat ini juga dapat mengingatkan penggunanya untuk berdiri dan bergerak jika telah duduk dalam waktu lama.

Bahkan ada pula alat wearable yang menawarkan fitur yang lebih mutakhir. Media teknologi TechCrunch melaporkan bahwa perusahaan rintisan teknologi asal India, Ultrahuman, meluncurkan versi beta alat wearable yang dinamai Cyborg. Perusahaan ini mengklaim bahwa alat yang terpasang di lengan penggunanya dapat mendeteksi level gula darah—glukosa—dalam tubuh. 

Alat ini dapat memperingatkan penggunanya apabila level gula darah mereka terlampau rendah atau tinggi. Sehingga, penggunanya dapat terhindar dari gangguan kesehatan yang diakibatkan level gula darah yang tidak normal.

Selain alat wearable, perusahaan-perusahaan teknologi juga menciptakan aplikasi self-tracking pada smartphone. Aplikasi yang juga dapat terhubung dengan alat wearable melalui bantuan bluetooth ini umumnya digunakan untuk mencatat aspek-aspek seperti kondisi psikologis, ataupun jumlah kalori yang dikonsumsi seseorang.

Kehadiran Aplikasi Buatan Dalam Negeri 

Salah satu aplikasi self-tracking buatan dalam negeri adalah Hitung Kalori. Aplikasi ini dirilis pada tahun 2019. Berdasarkan pantauan di platform Google Play Store, aplikasi ini mendapat rating 4,3 dan telah diulas oleh 1.657 pengguna.

Sesuai namanya, aplikasi ini memang ditujukan untuk menghitung konsumsi serta pembakaran kalori pengguna dalam sehari. Adi Wibowo (36), pengembang aplikasi ini, menyebut bahwa aplikasi ciptaannya telah diunduh sekitar 800 ribu pengguna

Sebagai seorang penyuka kegiatan fitness, ia menciptakan aplikasi ini berdasarkan hasil pengamatan terhadap kesehatan orang-orang di sekitarnya. 

“Jadi saya terinspirasi lihat sekitar, orang Indonesia yang obesitas buanyak banget. Mau ke Indomaret aja naik motor, mau ke mana naik motor,” kata Adi kepada Tempo pada 26 Januari 2022. “Makanya berat badan segitu (ketika) umur 30 ke atas, perut mesti membuncit.”

Dengan latar belakang sebagai pekerja teknologi informasi, ia mempelajari sendiri pengetahuan seputar kalori makanan dan minuman, serta metabolisme tubuh.

“Untuk lebih detailnya, saya baca-baca artikel (tentang) calorie intake-outtake,” kata Adi, yang berdomisili di Semarang. Ia melanjutkan, “Menghitung kebutuhan kalori itu yang perlu belajar sih, dari (persamaan) Harris-Benedict, dan lain-lain.”

Meski tidak punya latar belakang di bidang gizi, ia merasa yakin dengan akurasi angka kalori, dan kandungan gizi daftar makanan dan minuman dalam aplikasinya. “Kredibilitasnya enggak usah diragukan lagi, karena saya sampling data itu yang ada di kemasan belakang (produk) itu, lho,” ujar Adi.

Setelah berjalan selama sekitar 3 tahun, ia bangga ketika menemukan cerita keberhasilan pengguna aplikasi buatannya di kolom ulasan Google Play Store maupun kolom komentar akun Instagram Hitung Kalori.

“Sebagai developer merasa puas, ternyata aplikasiku berguna buat orang lain,” kata Adi.

Tetapi, ia masih merasa belum puas dengan fitur-fitur aplikasi buatannya. Ia berencana menambah sejumlah fitur baru pada aplikasi Hitung Kalori. Salah satunya adalah pemantau progres berat badan pengguna.

Fitur itu dapat mendeteksi apakah progres peningkatan atau penurunan berat badan pengguna dapat berjalan sesuai target yang ditetapkan. 

“Jadi kira-kira grafik berdasarkan pola penginputan data… kalau di-compared dengan kebiasaan sekarang, (apakah) menuju progres tepat waktu, lebih lambat, atau lebih cepat,” ujar Adi.

Kritik terhadap Quantified Self

Praktik quantified self tidaklah bebas dari kritik. Salah satu kritik utama menganggap bahwa para individu yang terlibat dalam kegiatan self-tracking terlalu terpaku pada angka-angka yang mereka catat. Penyebabnya, mereka memandang angka sebagai ukuran sesungguhnya kebenaran objektif.

Dominic Basulto, futuris sekaligus blogger asal AS, dalam artikelnya di Big Think pada 2012 menyebut para individu tersebut sebagai “urban datasexual”. Sedangkan peneliti filsafat teknologi Tamar Sharon dan antropolog digital Dorien Zandbergen dalam artikel mereka di jurnal New Media & Society (2016) menyebut perilaku itu sebagai “data fetishism”.

Pada situsnya, gerakan Quantified Self mengakui bahwa data self-tracking juga punya keterbatasan. “Tidak semua hal penting dalam kehidupan bisa diukur dan tidak segalanya yang dapat diukur bersifat penting,” dikutip dari situs Quantified Self Institute.

Sebagai edukator kesehatan yang aktif di media sosial, Dion seringkali memperoleh pertanyaan dari sejumlah pengikutnya terkait kegagalan pola diet mereka. Ia tidak menepis jika mereka seringkali terpaku pada angka, terutama angka berat badan dan kalori.

“Respons pertama orang biasanya adalah, ‘Kalau saya makan (kalorinya) segini, terus berat badan stuck, saatnya mengurangi atau membakar kalori lebih banyak lagi’,” kata Dion.

Padahal, menurut Dion, selain angka pada timbangan badan, pelaku diet juga perlu memperhatikan aspek lain. Seperti waktu dan intensitas menimbang, progres bentuk tubuh, serta lingkar perut.

Ia juga mengingatkan pelaku diet untuk berhati-hati saat memasukkan kalori yang dikonsumsi. Dion mencontohkan, jumlah kalori menu nasi goreng yang terdapat pada aplikasi Calorie Counter rilisan MyFitnessPal bisa saja berbeda dengan nasi goreng yang dimasak sendiri oleh pelaku diet.

“Itu hasilnya akan beda dengan nasi goreng yang kita bedah. Misalkan nasi putih berapa (gram), minyak berapa (liter), daging berapa (gram) yang digunakan, telur berapa (gram). Itu hasil (kalorinya) akan berbeda,” ujar Dion.

Temuan para ahli menunjukkan bahwa data self-tracking tidak sepenuhnya akurat. Salah satunya jumlah kalori pada label makanan kemasan. Di Negeri Abang Sam, label kandungan gizi pada produk makanan kemasan mengacu pada regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Meski dianggap terpercaya, sebenarnya FDA masih menoleransi kesalahan data pada label tersebut.

“Anda mungkin mendapatkan lebih banyak kalori daripada yang Anda harapkan hingga 20 persen,” kata Catherine Lee, peneliti makanan perusahaan Procter & Gamble pada VeryWell Fit. Dengan kata lain, snack bar yang diklaim menghasilkan 200 kalori, sebenarnya mengandung 240 kalori. Namun, selisih tersebut masih sesuai dengan pedoman FDA.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics (2010) pun mengkonfirmasi hal tersebut. Meski penelitian itu menyebut bahwa selisih itu tidak signifikan secara statistik. Selain itu, tidak ada satu pun produk makanan yang menawarkan data yang sepenuhnya akurat.

Tidak hanya itu, keakuratan data pada fitur perekam kegiatan olahraga yang terdapat pada smartband atau smartwatch juga dipertanyakan. Meski dapat mengukur detak jantung secara akurat, alat-alat tersebut tidak cukup akurat untuk menghitung jumlah kalori yang terbakar saat berolahraga, menurut temuan tim peneliti kesehatan Stanford University pada Mei 2017.

Alat pendeteksi kadar glukosa produksi Ultrahuman juga mendapat keraguan dari ahli. Matthew Campbell, peneliti metabolisme manusia asal University of Sunderland, Inggris, skeptis bahwa alat itu benar-benar bermanfaat bagi pengguna biasa.

Meski kadar glukosa fluktuatif, tetapi menurut Campbell, sebenarnya tubuh memiliki rentang batas normal untuk menoleransi kenaikan maupun penurunannya. Ahli baru akan mendiagnosis seseorang terkena diabetes atau pada level berisiko diabetes jika glukosa orang tersebut tidak menurun pada level tertentu setelah makan, atau mengalami lonjakan kronis di pagi hari.

“Jadi saya kira jika Anda sudah berada—95% dari waktu (Anda)—dalam batas yang sehat (kemudian) mencoba meratakan garis itu (level glukosa) atau secara agresif menurunkannya lebih rendah lagi, saya tidak berpikir itu memberi manfaat kesehatan tambahan karena Anda sudah berada dalam batas yang sehat,” kata Campbell kepada TechCrunch.

Selain kritik soal data-fetishism, praktik quantified self juga rentan terhadap keamanan digital. Pada 2018, perusahaan induk MyFitnessPal, Under Armour, mengungkap bahwa sekitar 150 juta data pengguna MyFitnessPal bocor. The Register melaporkan bahwa data yang bocor itu ditawarkan oleh peretas bersama data yang bocor dari situs-situs lain di situs gelap (dark web) seharga kurang dari US$ 20.000 dalam bitcoin.

Meski Sharon dan Zandbergen menemukan sejumlah pelaku quantified self dalam penelitian etnografis mereka yang terjebak dalam data fetishism, tetapi praktik itu juga dapat menimbulkan kesadaran bagi pelakunya untuk menaruh perhatian lebih pada diri mereka dan lingkungan sekitar. 

Kegiatan ini juga dapat menjadi “jalur komunikasi” antara pelaku dengan diri mereka untuk mengetahui lebih dalam informasi seputar diri mereka. Sebagai contoh, seorang partisipan penelitian tersebut rutin mencatat jumlah kepergiannya ke toilet setiap hari. Dengan membandingkannya dengan jumlah milik orang lain, ia dapat mengetahui apakah dirinya memiliki masalah kandung kemih atau masih dalam batas wajar. 

Dion pun menganggap bahwa praktik self-tracking dapat bermanfaat bagi pelakunya jika dijalankan dengan tepat. Mencontohkan dirinya sendiri, ia merasa bahwa proses diet yang dilakukannya akhir-akhir ini dengan menghitung kalori masuk lebih terukur dibanding saat pertama kali melakukan diet di 2012.

“Di 2012 itu, 'Perasaan gue sudah kurangin karbo, perasaan sudah banyakin protein, sudah latihan beban lebih banyak, istirahat juga cukup-cukup aja, kok progresnya gini-gini aja,’” cerita Dion.

Agar pelaku quantified self yang masih awam tidak terjebak dalam data fetishism, Dion menyarankan mereka untuk meriset dahulu alat-alat self-tracking yang akan mereka gunakan sesuai kebutuhan mereka. Setelah itu, mereka juga harus melihat data lain di samping yang tercatat pada alat self-tracking. “Jadi enggak cuma dari satu titik data doang terus kita percaya benar-benar plek terhadap hal tersebut,” ujar Dion.

Tak kalah penting, pelaku quantified self juga harus mampu menginterpretasikan data yang mereka dapat dengan benar. Sehingga mereka mampu mengambil keputusan yang lebih tepat sesuai tujuan mereka.

“Dan (data) itu semua bisa kita gunakan berbarengan, dan menjalankan keputusan dengan baik dari data-data itu tadi yang kita dapatkan,” kata Dion.

CREDIT

Penulis

Multimedia

Editor