…

LONGFORM - KAMIS, 30 NOVEMBER 2023

Serampangan Proyek Pelebur Nikel Kutai Kartanegara

Pembangunan industri peleburan nikel milik PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) di Kelurahan Pendingin, Kutai Kartanegara diduga bermasalah. Proyek bernilai Rp 30 triliun ini diduga sudah berjalan sebelum dokumen analisis mengenai dampak lingkungan terbit. Sejumlah tenaga kerja asing yang dipekerjakan juga disinyalir cacat prosedur.

Penulis

Riri Rahayu

Sudah berbulan-bulan Dedi Susanto - Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur - tidak nyenyak tidur. Musababnya, hampir setiap hari ada masyarakat di kampungnya yang mengadukan dampak pembangunan industri smelter nikel yang dibangun PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) di desanya.

Keluhan warga beragam. Mulai dari jalan desa yang rusak karena dilintasi truk-truk besar bermuatan material pembangunan proyek, meningkatnya debu, pencemaran parit, rumah warga yang retak karena terkena dampak getaran proses pembangunan smelter, hingga banyaknya tenaga kerja asing yang tiba-tiba datang ke kampungnya. “Ada sekitar 300 keluarga di delapan rukun tetangga (RT) yang terdampak proyek pembangunan smelter tersebut,” kata Dedi saat ditemui di Pendingin pada Rabu, 20 Agustus 2023.

PT KFI memulai peletakan batu pertama pembangunan smelter nikel di Kelurahan Pendingin pada 25 Januari tahun lalu. Smelter ini digadang-gadang menjadi salah satu proyek hilirisasi nikel terbesar di Kalimantan Timur. Nilai investasinya mencapai Rp 30 triliun dengan melibatkan sejumlah investor, yaitu PT Nityasa Prima dan perusahaan asal Cina, San Tai Hoi Tong New Material Co, Ltd. Berdasarkan memiliki dokumen AHU yang diterbitkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) San Tai Hoi Tong New Material memiliki 1.125.000 lembar saham dengan nilai Rp 1.125.000.000.000. Sedangkan PT Nityasa Prima memiliki 125.000 lembat saham dengan nilai Rp 125.000.000.000.

Potret PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) dari atas. Dokumentasi Tim KJI

Pada 19 September lalu PT KFI meresmikan tahap pertama pembangunan pabrik smelter nikel tersebut. Berdasarkan siaran pers perusahaan, KFI sekurangnya telah menggelontorkan dana investasi sebesar Rp 5 triliun. Saat ini sebanyak dua line dari target 18 line yang beroperasi.

Namun, di balik pembangunan pabrik tersebut terdapat sejumlah persoalan yang dikeluhkan warga. Awalnya, warga Kelurahan Pendingin menyangka pembangunan smelter itu akan membuat kehidupan mereka lebih baik. Mereka bermimpi kampung mereka menjadi lebih makmur dan tertata, pun para pemuda desa bisa mendapatkan lapangan pekerjaan baru. Namun, harapan itu jauh dari kenyataan. Alih-alih mendapat manfaat, warga justru lebih banyak merasakan dampak negatifnya.

Dedi dan warga Kelurahan Pendingin tidak diam saja. Mereka beberapa kali menyampaikan protes ke pihak perusahaan, bahkan sempat melakukan penutupan jalan. Namun, suara mereka tidak pernah mendapat tanggapan. “Kami hanya berharap PT KFI bisa memberikan suatu kenyamanan untuk kami. Bagaimana caranya bisa mengevaluasi dampak-dampak negatif keberadaan smelter nikel ini pada warga,” ujar Dedi.

Hal yang sama juga dikeluhkan Muhammad Zainuri, 41 tahuh, warga Kelurahan Sanga-Sanga, yang setiap hari mesti melintasi jalanan rusak dan berdebu di Kelurahan Pendingin untuk menuju ke tempat kerjanya. “Belum lagi parit di sepanjang pinggir area proyek berwarna hitam, berbusa, dan berbau busuk,” ujarnya.

Dulu, parit yang membentang di sepanjang jalan desa itu berair jernih. Namun setelah proyek pengerjaan smelter nikel mulai berjalan parit yang bermuara ke Sungai Mahakam itu berubah menjadi hitam dan berbau tak sedap. Warga menduga PT KFI membuang limbah ke parit. Pada 9 Agustus lalu, warga sekitar pabrik melakukan penutupan parit sebagai bentuk protes terhadap pencemaran tersebut.

Bangun Pabrik Dulu, Amdal Belakangan

Banyaknya persoalan yang muncul karena pembangunan smelter nikel PT KFI membuat Dedi dan warga Kelurahan Pendingin mempertanyakan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) proyek tersebut. “Kami minta salinannya, karena menurut kami perlu ada beberapa hal yang mesti dikoreksi,” ujarnya. Namun, permintaan itu tidak pernah dituruti.

Hal itu membuat Dedi menduga perusahaan tidak memiliki dokumen Amdal pembangunan proyek. Apalagi dia dan warga kampungnya tidak ada yang pernah dilibatkan dalam pembahasan Amdal pembangunan smelter tersebut.

Kecurigaan Dedi dibenarkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Rafiddin Rizal. Menurutnya, Amdal PT KFI masih dalam proses dan menunggu surat kelayakan untuk diterbitkan. Ia mengaku beberapa kali mengingatkan perusahaan untuk tidak melakukan kegiatan pembangunan sebelum Amdal mereka selesai. Sebab, idealnya, kata Rafiddin, dokumen Amdal rampung sejak proyek di tahap perencanaan.

Namun, belakangan pembangunan smelter tetap berjalan meski Amdal belum rampung. Terkait hal itu, Rafiddin mengatakan itu merupakan wewenang pusat. “Itu bisa berjalan di beberapa kegiatan yang ada di pusat,” kata dia. 

Rafiddin menjelaskan, urusan dokumen Amdal PT KFI ditangani pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebab, industri peleburan nikel PT KFI merupakan penanaman modal asing (PMA). Kewenangan pusat dalam hal ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sementara itu Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur M. Chamidin berujar, persoalan peleburan nikel di Kelurahan Pendingin merujuk dua aturan. Kedua aturan tersebut adalah PP Nomor 22 tahun 2021 yang dipublikasi oleh KLHK dan PP Nomor 5 tahun 2021 yang menjadi kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tentang Penyelenggaraan Perizinan Perusahan berbasis Risiko.

“Proyek industri peleburan nikel ini sektornya berada di BKPM,” kata Chamidin. “Izin persiapan dan konstruksi bisa dikerjakan terlebih dahulu sembari Amdalnya berproses, dan kewenangan dokumen lingkunganya berada di pemerintah pusat.”

Akan tetapi, menurut Chamidin, KLHK bisa menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis jika Amdal belum diterbitkan. Selain itu, perusahaan juga bisa dikenakan denda jika terbukti melakukan pencemaran lingkungan. Sedangkan soal pengawasan, kata Chamidin, yang wajib melakukan pengawasan adalah instansi penerbitan perizinan tersebut.

Tempo lantas mengonfirmasi persoalan Amdal PT KFI ke Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Hanif Faisol Nurofiq. Tempo mengirim surat permintaan wawancara serta menghubungi nomor telepon Hanif. Namun hingga berita ini ditulis, Hanif belum memberikan jawaban.

Ditemui di salah satu kedai kopi di Samarinda pada 24 Agustus lalu, Owner Representative PT KFI Ardhi Soemargo mengatakan bahwa pihaknya tidak berharap ada gangguan terhadap warga dalam proses pembangunan pabrik. “Ada persoalan bau, sudah selesai dalam hitungan hari. Mengenai jalan yang berdebu, kami usahakan lakukan penyiraman. Jalan juga kami beton,” ujarnya.

Mengenai adanya keluhan warga, Ardhi mengklaim sudah berbicara dengan masyarakat sekitar proyek dan mengikuti hasil pertemuan tersebut. “Kami menciptakan industri. Kami bukan membuat candi yang satu malam jadi. Semua ada proses,” ujarnya.

Terkait perizinan, Ardhi mengatakan bahwa perusahaannya telah mengantongi izin untuk membangun industri kertas pada 1996 di area yang kini dikelola PT KFI. Pihaknya berasumsi masyarakat sudah mengetahui keberadaan industri di area tersebut. Apalagi area itu sudah dipatok meski akhirnya menganggur selama 29 tahun.

Kemudian, setahun menjelang izin habis, investor masuk dengan nilai investasi yang besar. “(Soal) Amdal tadi, kami lakukan Amdal perubahan dengan nama KFI. Posisi sudah diterima tanpa terkecuali,” ujar Ardhi. “Kami sedang menunggu SKKL (surat keputusan kelayakan lingkungan) dari menteri.”

Lebih lanjut soal pembangunan smelter yang sudah berjalan meski Amdal belum terbit, Ardhi mengatakan pihaknya mengacu pada PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. “Kalau enggak, ya konyol,” ucapnya. “Belum lagi kami diminta hilirisasi dan kami menyambut. Salah kami di mana?”

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim Fathur Roziqin Fen menilai proses pembangunan smelter PT KFI serampangan sejak awal. “Prosedur perizinan tidak dipenuhi. Kemudian, proses tanggung jawab sosial terhadap aktivitas yang berisiko terhadap lingkungan juga tidak bertanggung jawab,” tutur Ikin.

Menurut Fathur Roziqin, masyarakat sekitar pabrik tidak mendapat informasi utuh soal rencana perusahaan. Selain itu, semestinya pembangunan tidak dilakukan sebelum adanya dokumen Amdal meskipun aturan saat ini memungkinkan pelaksanaan pembangunan sebelum dokumen Amdal terbit. Alasannya, Amdal adalah mekanisme untuk menjamin pembangunan yang dilakukan tidak merusak lingkungan dan sosial. Di kasus PT KFI terbukti pembangunan yang berjalan sebelum adanya dokumen Amdal dikeluhkan oleh masyarakat sekitar pabrik. “Ini melanggar prinsip free, prior, and informed consent,” tegasnya.

Hal senada juga diungkapkan akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Hairul Anwar. Menurut dia, semua proyek mestinya memiliki Amdal sebelum proses pembangunan dijalankan. “Karena pembangunan harus memperhitungkan dampak lingkungan. Amdal jadi acuan,” kata Hairul.

Gara-gara UU Cipta Kerja

Aktivis lingkungan dari Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanudin mengatakan persoalan di PT KFI terjadi lantaran pemerintah memberi kelonggaran melalui UU Cipta Kerja. Sebelumnya, dalam UU Nomor 32 Tahun tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau UU PPLH, Amdal merupakan prasyarat wajib. Namun setelah munculnya UU Cipta Kerja, menurut Parid, Amdal sekadar menjadi syarat administratif. “Korporasi diberi karpet merah, instrumen lingkungan dilonggarkan,” kata Parid pada 1 Oktober lalu. 

Apalagi untuk proyek smelter nikel, pemerintah cenderung memberi perlakuan istimewa pada proyek ini. “Karena hilirisasi kan menjadi proyek prioritas pemerintah.”

Lebih lanjut, Parid membandingkan poin-poin Amdal yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan UU PPLH. Parid mengatakan, dalam UU Cipta Kerja, partisipasi masyarakat hanya sampai dalam penyusunan Amdal. Sedangkan dulu, dalam UU PPLH masyarakat bisa dilibatkan dalam penyusunan Amdal, keberatan atas dokumen Amdal, serta terlibat dalam Komisi Penilai Amdal.

Begitu pula dengan ruang lingkup keterlibatan masyarakat yang semakin menyusut. Dalam UU Cipta Kerja, ruang lingkup masyarakat dalam partisipasi Amdal hanya masyarakat terdampak langsung. Padahal sebelumnya, ruang lingkup masyarakat dalam partisipasi mencakup masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan, serta yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.

Jarak tembok pembatas PT KFI yang berdekatan dengan rumah warga. Dokumentasi Tim KJI

Dalam UU Cipta Kerja, penilaian Amdal atau uji kelayakan hanya dilakukan pemerintah atau lembaga dan ahli bersertifikat. Tidak ada lagi Komisi Penilai Amdal sebagaimana dalam ketentuan UU PPLH. Padahal, komisi bentukkan pemerintah itu terdiri dari berbagai unsur. Mulai dari instansi lingkungan hidup, instansi teknis, pakar terkait jenis usaha, pakar terkait dampak, wakil masyarakat dan wakil civil society organization (CSO) atau organisasi masyarakat sipil.

Sejalan dengan terbitnya UU Cipta Kerja, orientasi pemerintah lebih banyak ditujukan pada aspek pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, dampak kerusakan lingkungan dan biaya pemulihan kerusakan lingkungan tidak diperhitungkan.

Hal senada disampaikan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar. Ia berujar, dengan menerbitkan UU Cipta Kerja, pemerintah tidak lagi menggunakan Amdal untuk memitigasi kerusakan lingkungan dari operasi tambang ataupun smelter.

“Amdal pada akhirnya hanya untuk memenuhi syarat prosedural semata,” kata Melky ketika dihubungi pada Selasa, 3 Oktober 2023.

Menurut Melky, semestinya penyusunan Amdal diselesaikan sebelum proyek dimulai. Apalagi untuk proyek pertambangan atau smelter yang berpotensi merusak lingkungan. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya, proyek sudah jalan sebelum Amdal selesai disusun.

Kasus tersebut tidak hanya terjadi pada PT KFI. Banyak kasus serupa terjadi pada proyek-proyek pembangunan di berbagai daerah.

 “Temuan yang sama, banyak kami temukan di lokasi lain. Seperti tambang nikel di Pulau Obi. Proses (Amdal) baru berjalan, tapi di lapangan sudah mulai aktivitas,” kata Melky.

Akar masalah tersebut, menurut Melky, adalah sikap pemerintah yang lebih memprioritaskan masuknya investor dibanding keselamatan lingkungan sehingga berbagai aturan dibuat untuk mempermudah investasi. “Cek ke belakang. UU Minerba, UU Cipta Kerja, semua mempermudah investasi masuk,” ucap Melky.

Dugaan Masalah Ketenagakerjaan

Wajah Loa Bu, bukan nama sebenarnya, tampak serius mengamati sejumlah foto di layar telepon seluler yang ditunjukkan Tim KJI kepadanya. Di foto tersebut tampak sejumlah pekerja asing berseragam pekerja konstruksi pembangunan pabrik smelter PT KFI sedang mengayunkan palu ke papan kayu, sebagian lainnya tampak sedang mengelas pipa besi.

Pria 43 tahun dari Haicheng, Cina yang juga bekerja di pembangunan smelter PT KFI itu mengangguk saat ditanya apakah para pekerja PT KFI di foto tersebut adalah tenaga kerja asing dari Cina. "Siapapun dari kami dapat melakukannya, tetapi mereka mendapat uang paling sedikit. Dan mereka bisa melakukan apa saja," kata Loa Bu menggunakan alat penerjemah pada Selasa, 15 Agustus 2023.

Loa Bu mengatakan ada sekitar 700 tenaga kerja dari Cina yang bekerja di proyek pembangunan smelter PT KFI. Menurutnya, tidak semua pekerja asal Cina tersebut adalah tenaga kerja profesional. Mereka mengisi hampir seluruh pekerjaan mulai dari pengawas, teknisi, tukang besi hingga kayu.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Samarinda Fathul Huda menilai dugaan penggunaan tenaga kerja asing non skill menunjukkan adanya dugaan pelanggaran prosedur ketenagakerjaan di proyek pembangunan smelter PT KFI. Fathul mengacu pada PP Nomor 34 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa pengambilan tenaga kerja asal Indonesia wajib diutamakan. Penggunaan tenaga kerja asing dapat dilakukan ketika jabatan atau pekerjaan tertentu belum dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia.

Pun Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing menyebutkan bahwa untuk kategori konstruksi, tenaga kerja asing hanya dapat menempati jabatan sebagai manajer, ahli, atau penasehat. Fungsi penggunaan tenaga kerja profesional dari asing adalah untuk alih teknologi. Hal itu juga diatur dalam Pasal 81 Angka 7 Undang-undang Cipta Kerja. “Kalau sekedar tenaga kerja non skill di Indonesia banyak, tidak perlu mendatangkan tenaga kerja asing,” ujar Fathul.

Potret tenaga kerja asing (TKA) Cina yang bekerja di smelter PT KFI. Dokumentasi Tim KJI

Fathul juga mempertanyakan kelengkapan dokumen para pekerja asing tersebut. Secara aturan, para pekerja asing di Indonesia wajib memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas atau Kitas. Pekerja asing tidak boleh hanya sekedar memiliki visa izin tinggal kunjungan atau visa ITK.

Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 106 angka 2 Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam beleid itu dijelaskan bahwa ITK hanya berlaku untuk orang asing yang akan melakukan perjalanan ke Indonesia, di antaranya dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, prainvestasi, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau sekedar singgah untuk meneruskan perjalanan ke negara lain.

Berdasarkan catatan Kantor Imigrasi Kelas I Samarinda pada 2 Agustus 2023 terdapat 249 tenaga kerja asing asal Cina yang bekerja di pembangunan smelter PT KFI. Dari jumlah tersebut, hanya 19 orang yang memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas atau Kitas atau ITAS C3212. Sedangkan ratusan lainnya hanya memiliki izin tinggal kunjungan atau ITK B211B.

Kepala Kantor Imigrasi Kelas 1 Samarinda Washington Saut Dompak Napitupulu mengatakan semua tenaga kerja asing asal Cina itu merupakan pindahan dari Morowali. Menurutnya, para pekerja itu tidak diwajibkan melapor ke imigrasi setempat karena hanya dipindahkan selama satu atau dua pekan saja. “Para TKA memiliki tanggung jawab melaporkan pemindahan domisili,” ujar Washington pada Rabu, 2 Agustus 2023. “Hanya saja pengurusan KITAS-nya tidak perlu diurus lagi.”

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertras) Kalimantan Timur Rozani Erawadi mengaku tidak memegang dokumen RPTKA di PT KFI. Ihwal dugaan penggunaan tenaga kerja non skill oleh perusahaan tersebut, pihaknya bakal melakukan pengecekan melalui situs Laporan Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) yang disediakan oleh Kementerian Tenaga Kerja untuk instansi daerah.

Sedangkan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Suhartono mengaku belum mengetahui secara detail permasalahan yang terjadi di PT KFI. Dia pun mengatakan bakal melakukan pengawasan intens, termasuk berkoordinasi dengan pihak terkait.

Suhartono menuturkan, penerbitan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) PT KFI telah melalui proses pemeriksaan yang dilakukan praktisi Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing. “Saat ini tercatat 23 pengesahan RPTKA yang berlaku pada perusahaan tersebut. Level jabatan yang diduduki tenaga kerja asing merupakan tenaga ahli atau profesional seperti manajer, engineer, dan advisor,” kata Suhartono, Rabu, 9 Agustus 2023.

Soal dugaan adanya TKA non skill di PT KFI, Suhartono mengatakan, bakal menyandingkan data tersebut dengan data RPTKA untuk mengetahui legalitasnya. “Jika ditemukan pelanggaran terhadap penggunaan TKA, Kemnaker akan mengambil tindakan sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Suhartono.

PT KFI membantah dugaan pelanggaran ketenagakerjaan melalui penggunaan TKA non skill di perusahaannya. Owner Representative PT KFI Ardhi Soemargo mengklaim semua TKA dari Cina yang didatangkan adalah tenaga kerja yang memiliki skill dan keahlian. Termasuk dalam pengelasan besi, Ardhi berdalih pengelasan besi pada konstruksi pabrik peleburan nikel perlu keahlian khusus sehingga tidak sembarang orang bisa mengerjakannya. “Kami nggak bisa memberikan itu ke orang yang nggak ngerti,” ucap Ardhi. “Buat apa kami meng-hire orang yang tidak punya skill.”

Mengenai dugaan adanya pekerja asing asal Cina yang hanya memiliki dokumen izin tinggal kunjungan atau ITK, Ardhi irit bicara. Dia hanya mengatakan bahwa semua tenaga kerja asal Cina di PT KFI masuk ke Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan. “Kami mengikuti (aturan). Kira-kira begitu saja, sih,” ucap Ardhi.

*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Samarinda yang terdiri dari Tempo, kaltimkece.id, kaltimtoday.co, mediaetam.com, presisi.co, independen.id dan Project Multatuli.

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Riri Rahayu

  • Editor

    Agung Sedayu

  • Multimedia

    Krisna Adhi Pradipta

    Rizkika Syifa

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya