Longform

Petaka Iklim Mengerik Pulau

Senin, 4 April 2022

Bencana alam hidrometeorologi akibat krisis iklim makin sering terjadi. Beberapa pulau kecil dan kota pesisir mulai terendam dan ada yang terancam tenggelam.

Oleh Tempo

tempo

ACHMAD Zaeni kian akrab dengan suara runtuhnya tanah bercampur karang dari tebing dekat makam Syeik Syarif Ainun Naim - putra Syeik Maulana Ishaq, ulama Kesultanan Samudera Pasai - di atas bukit Pulau Tolop Kecil di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Jarak antara tebing yang mengalami abrasi dan dinding bangunan tempat pusara penyebar Islam di Kepulauan Riau itu hanya 1 meter. “Tanahnya turun terus. Terakhir runtuh beberapa bulan lalu,” kata Zaeni seraya menunjuk tebing dan pohon tumbang yang telah mengering, Rabu, 2 Maret lalu.

Pria 66 tahun ini sudah enam tahun menjadi juru kunci makam yang ramai dikunjungi peziarah pada akhir pekan itu. Ia tak mengerti apakah abrasi di Pulau Tolop Kecil merupakan dampak dari krisis iklim yang melanda bumi. Yang ia tahu, terjangan ombak laut mengikis tebing bukit. Ombak besar juga berasal dari kapal-kapal barang yang berlalu-lalang dekat pulau. Angin utara yang kencang dan hujan deras setiap pergantian tahun memperparah abrasi tebing bukit tersebut. 

Abrasi tak hanya melanda Pulau Tolop Kecil yang luasnya 1 hektare. Menurut Camat Belakang Padang, Yudi Admaji, dari 166 pulau kecil di wilayahnya, beberapa pulau mengalami abrasi parah, seperti Pulau Dangka, Catur, dan Suba. “Tapi yang perlu penanganan cepat adalah Pulau Tolop Kecil,” ujar Yudi. Dia menaksir pulau itu terkikis sekitar 2-4 meter per tahun. “Setahun lalu kami menanam bakau tepat di tebing, kini tebing sudah bergeser 2-4 meter dari bakau itu,” tuturnya.

Menurut Yudi, Tolop Kecil perlu diprioritaskan lantaran ia berada di perbatasan Indonesia dengan Singapura. Di Belakang Padang, Yudi menambahkan, tiga pulau, yakni Nipa, Batu Berhenti, dan Pelampong, telah ditetapkan Badan Nasional Pengelolaan Pulau sebagai pulau terluar. Ia berharap pemerintah tak hanya memperhatikan pulau yang sudah ditetapkan, tapi juga pulau-pulau kecil yang terancam hilang karena abrasi. “Pulau itu menjadi tonggak batas negara juga aset negara dan destinasi wisata,” tuturnya. 

Pulau Putri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, pulau terluar lain yang berhadapan dengan Singapura, juga mengalami abrasi parah dan pernah tenggelam oleh air laut pasang. Yurna, penghuni Pulau Putri, masih ingat bencana ini meskipun lupa tahun pastinya. Semua pulau seluas 6 hektare itu, kata Yurna, tertelan air laut. Kejadian serupa terulang pada 2016. “Air sampai ke atas ini,” ucap Yurna, menunjuk dinding rumahnya yang berada di tengah pulau itu. 

Fitriyeni, warga yang menetap di sana sejak 1970, mengatakan Pulau Putri kini menjadi tiga gugusan. “Saya kira (lebar) pesisir pulau sudah hilang 20 meter,” ujar perempuan yang disapa Upik itu. Penelitian Nineu Yayu Geurhaneu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, di Jurnal Geologi Kelautan pada November 2016, mendukung perkiraan Upik. Melalui analisis data satelit 2000-2016, Nineu menemukan abrasi menciutkan Pulau Putri dari 31.374 meter persegi menjadi 24.266 meter persegi.

tempo

Abrasi masih terjadi meski Balai Wilayah Sungai Sumatera IV Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah membangun tanggul penahan ombak dan mengeraskan pantai di sekeliling pulau destinasi wisata itu. Ombak besar yang digerakkan oleh angin utara dan barat merusak tanggul yang dibangun lima tahun lalu tersebut.

Reklamasi Pulau Putri tidak berjalan semulus di Pulau Nipa. Menurut Yudi, sejak 2003, pemerintah pusat langsung mereklamasi pulau di Selat Singapura yang sekarang menjadi pangkalan perbatasan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu, setelah mengetahui ada potensi tenggelam karena abrasi. 

Abrasi di Pulau Nipa juga menjadi perhatian Noir Primadona Purba, pengajar dan peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung. Bersama koleganya, Muhamad Maulana Rahmadi dan Ibnu Faizal, ia mengamati garis pantai Nipa yang terus berkurang sejak 2011. Mereka menemukan air laut melahap daratan Nipa sebesar 3.409 meter persegi per tahun selama 1993-2009. “Kami belum tahu penyebabnya. Kemungkinan besar karena kenaikan muka laut,” kata Noir, Ahad, 20 Februari lalu.

Selain Nipa, tim mengkaji kondisi 19 pulau kecil dari 111 nusa terluar pada 2021 dengan menggunakan data satelit Landsat 7, Landsat 8, dan Sentinel 2 selama 20 tahun. Tujuan penelitian itu adalah mengetahui kerentanan pulau-pulau kecil akibat krisis iklim. 

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pengurangan luas pulau-pulau kecil itu sebesar 5,08459 persen, dengan kelas kerentanan yang dominan adalah sedang. “Kerentanannya dari rendah sampai sedang, tak ada yang tinggi,” kata Muhamad Maulana Rahmadi. Satu-satunya pulau yang memiliki kerentanan kritis adalah Pulau Iyu Kecil di Selat Malaka, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Luas pulau ini berkurang 32,13774 persen (0,008733 kilometer persegi) dalam waktu 19 tahun.

ABRASI dan gelombang pasang termasuk bencana alam hidrometeorologi basah, selain banjir, puting beliung dan angin kencang, serta tanah longsor. Menurut Abdul Muhari, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), angka kejadian bencana terus naik dari tahun ke tahun. “Didominasi oleh bencana hidrometeorologi basah,” kata Abdul Muhari melalui pesan WhatsApp, Kamis, 17 Maret lalu.

Menurut data BNPB, sepanjang 2021 terjadi 5.402 bencana alam di Indonesia. Untuk bencana hidrometeorologi basah rinciannya adalah 1.794 kejadian banjir, 1.577 puting beliung, 1.321 tanah longsor, serta 91 gelombang pasang dan abrasi. Abdul Muhari menjelaskan, setiap kejadian atau fenomena alam dicatat sebagai bencana apabila menyebabkan korban jiwa atau kerugian harta benda.

Boleh jadi terdapat pulau-pulau kecil lain yang mengalami abrasi dan tenggelam, tapi tidak masuk basis data kebencanaan BNPB karena tidak berpenghuni atau belum terdata. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar, sulit mengatakan jumlah pulau kecil yang telah hilang. “Dari 17.504 pulau di Indonesia, baru 16.771 pulau yang telah tercatat di PBB dan Gazeter Republik Indonesia 2020. Sisanya masih dalam proses identifikasi,” ucap Antam melalui jawaban tertulis.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menganggap penting pulau-pulau kecil sehingga memasukkannya pada bab tersendiri. Laporan yang dirilis pada Senin, 28 Februari lalu, itu bagian kedua dari Laporan Penilaian Ke-6. Dalam laporan bertajuk “Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan”, IPCC memberi kepercayaan sangat tinggi kepada penelitian yang menyatakan pulau-pulau kecil makin terpengaruh oleh kenaikan suhu, siklon tropis, gelombang badai, kekeringan, perubahan curah hujan, dan kenaikan muka air laut.

IPCC memandang fenomena tersebut penting karena sebagian besar populasi dunia, kegiatan ekonomi, dan infrastruktur penting terkonsentrasi di dekat laut. Hampir 11 persen populasi global atau sekitar 896 juta orang tinggal di pesisir berelevasi rendah yang secara langsung berpotensi mengalami bencana, seperti abrasi, gelombang pasang, dan rob.

Sebagai negara kepulauan, terlebih lagi mayoritas pulau (sekitar 13.000) merupakan pulau kecil, Indonesia termasuk yang berkepentingan dengan laporan IPCC ini. Penelitian Heri Andreas dari Tim Geodesi Institut Teknologi Bandung menemukan 112 kota dan kabupaten terancam berkurang daratan pesisirnya. Sebanyak 50 lokasi, seperti Probolinggo, Pekalongan, Tangerang utara, Muaragembong-Bekasi, Subang, Indramayu, Kubu Raya, Katingan, Meranti, Siak, dan Dumai, sedang bermasalah dengan rob. “Desa Pasir Jaya di Muaragembong sekarang 1 kilometer di laut. Desa Seni di Demak sudah 2 kilometer di laut, sedangkan Desa Semut sudah hilang,” ujarnya.

Abrasi Menciutkan Pulau

Dari 17.504 pulau di Indonesia, lebih dari 13.000 berupa pulau kecil (luas kurang atau sama dengan 2.000 kilometer persegi). Penelitian Noir Primadona Purba, Muhammad Maulana Rahmadi dan Ibnu Faizal dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran menemuikan bahwa kenaikan air laut telah menciutkan luas daratan 19 pulau terluar dengan persentase pengurangan rata-rata 5,0845 persen.

Workbondi


Area pada tahun 2001: 1,6749677 km²

Area pada tahun 2022: 1,5841493 km²

Berkurang: 0,0909 km²/5,4221%

Pengurangan/tahun: 0,0048 km²/0,2854%

Kerentanan: Sedang

Berhala


Area pada tahun 2016: 0,4034 km²

Area pada tahun 2020: 0,3929 km²

Berkurang: 0,0105 km²/2,5859%

Pengurangan/tahun: 0,0026 km²/0,6465%

Kerentanan: Rendah

Dana


Area pada tahun 2000: 0,8085 km²

Area pada tahun 2017: 0,7682 km²

Berkurang: 0,0403 km²/4,9845%

Pengurangan/Tahun: 0,0024 km²/0,2932%

Kerentanan: Sedang

Dana


Area pada tahun 2000: 0,8085 km²

Area pada tahun 2017: 0,7682 km²

Berkurang: 0,0403 km²/4,9845%

Pengurangan/Tahun: 0,0024 km²/0,2932%

Kerentanan: Sedang

Miangas


Area pada tahun 2004: 2,0088 km²

Area pada tahun 2015: 2,0032 km²

Berkurang: 0,0056 km²/0,2787%

Pengurangan/Tahun: 0,0005 km²/0,0253%

Kerentanan: Rendah

Sekatung


Area pada tahun 2016: 1,3897 km²

Area pada tahun 2020: 1,3527 km²

Berkurang: 0,0370 km²/2,6624%

Pengurangan/Tahun: 0,0092 km²/0,6656%

Kerentanan: Rendah

Biawak


Area pada tahun 2000: 1,4297 km²

Area pada tahun 2015: 1,3813 km²

Berkurang: 0,0484 km²/3,3838%

Pengurangan/Tahun: 0,0032 km²/0,2256%

Kerentanan: Sedang

Batek


Area pada tahun 2016: 0,1799 km²

Area pada tahun 2017: 0,1765 km²

Berkurang: 0,0034 km²/1,9013%

Pengurangan/Tahun: 0,0034 km²/1,9013%

Kerentanan: Rendah

Nukaha


Area pada tahun 2002: 0,4257 km²

Area pada tahun 2020: 0,3942 km²

Berkurang: 0,0315 km²/7,4045%

Pengurangan/Tahun: 0,0017 km²/0,4113%

Kerentanan: Sedang

Rondo


Area pada tahun 2000: 0,4226 km²

Area pada tahun 2019: 0,3992 km²

Berkurang: 0,0234 km²/5,5425%

Pengurangan/Tahun: 0,0012 km²/0,2917%

Kerentanan: Sedang

Senua


Area pada tahun 2002: 0,3569 km²

Area pada tahun 2020: 0,3392 km²

Berkurang: 0,01767 km²/4,9501%

Pengurangan/Tahun: 0,0009 km²/0,2750%

Kerentanan: Rendah

Batu Kecil


Area pada tahun 2001: 0,6225 km²

Area pada tahun 2015: 0,5822 km²

Berkurang: 0,0403 km²/6,4692%

Pengurangan/Tahun: 0,0029 km²/0,4621%

Kerentanan: Sedang

Dolangan


Area pada tahun 2001: 0,1564 km²

Area pada tahun 2013: 0,1551 km²

Berkurang: 0,0013 km²/0,8828%

Pengurangan/Tahun: 0,0001 km²/0,0679%

Kerentanan: Rendah

Iyu Kecil


Area pada tahun 2000: 0,0272 km²

Area pada tahun 2019: 0,0184 km²

Berkurang: 0,0088 km²/32,1377%

Pengurangan/Tahun: 0,0005 km²/1,6915%

Kerentanan: Kritis

Mio Su


Area pada tahun 2000: 0,9057 km²

Area pada tahun 2019: 0,8737 km²

Berkurang: 0,0320 km²/3,5300%

Pengurangan/Tahun: 0,0017 km²/0,1858%

Kerentanan: Sedang

Panjang


Area pada tahun 2002: 0,2180 km²

Area pada tahun 2019: 0,2079 km²

Berkurang: 0,0101 km²/4,6243%

Pengurangan/Tahun: 0,0006 km²/0,2720%

Kerentanan: Sedang

Budd


Area pada tahun 2001: 0,2030 km²

Area pada tahun 2020: 0,1990 km²

Berkurang: 0,0040 km²/1,9792%

Pengurangan/Tahun: 0,0002 km²/0,1042%

Kerentanan: Rendah

Simeuluecu


Area pada tahun 2013: 7,9744 km²

Area pada tahun 2019: 7,8002 km²

Berkurang: 0,1741 km²/2,1834%

Pengurangan/Tahun: 0,02902 km²/0,3639%

Kerentanan: Rendah

Meatimiarang


Area pada tahun 2002: 1,2928 km²

Area pada tahun 2020: 1,2640 km²

Berkurang: 0,0288 km²/2,2323%

Pengurangan/Tahun: 0,0016 km²/0,1240%

Kerentanan: Rendah

Mangudu


Area pada tahun 2001: 1,4015 km²

Area pada tahun 2020: 1,2950 km²

Berkurang: 0,1065 km²/7,6036%

Pengurangan/Tahun: 0,0056 km²/0,4002%

Kerentanan: Sedang

Adapun di Sumatera, genangan air laut bisa sejauh 5-10 kilometer karena pantainya sangat landai dan tidak berbukit. Menurut Heri, kontribusi kenaikan muka air laut dalam bencana rob dinilai kecil. Tinggi muka laut naik sekitar 6 milimeter-1 sentimeter per tahun. Sementara itu, laju penurunan tanah 10-20 sentimeter per tahun. “Itu yang menyebabkan rob muncul secara masif,” kata Heri. Penurunan tanah itu bisa gara-gara penyedotan air tanah atau aktivitas sumur-sumur minyak tua.

Edvin Aldrian, Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC, mengatakan laporan yang dibuat oleh Kelompok Kerja II IPCC tersebut mengambil fokus pada dampak, adaptasi, dan kerentanan perubahan iklim. Adaptasi, menurut dia, berarti perubahan iklim sudah terjadi dan tidak bisa ditolak lagi. “Contohnya, kenaikan muka air laut sudah menggenangi pantai. Maka kita beradaptasi dengan meninggikan rumah, mendirikan rumah panggung, menanam bakau, atau membangun tanggul laut,” ucapnya.

Tapi para peneliti—dalam laporan setebal 3.675 halaman itu—mengingatkan agar program adaptasi yang dilakukan jangan malah kontraproduktif atau maladaptasi. “Misalnya, membangun tanggul laut dengan mengorbankan hutan bakau atau terumbu karang,” tutur Edvin. “Aksi adaptasi yang baik itu seperti menanam bakau atau memproteksi ekosistem pesisir.” Kekhawatiran lain, ujar Edvin, aksi adaptasi terlambat karena baru dilakukan ketika lingkungan sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, mengatakan program adaptasi perubahan iklim harus difokuskan untuk membantu kelompok rentan, yakni perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas serta masyarakat miskin. Dan agar ada pendanaan untuk adaptasi, kata dia, “Negara-negara maju harus melaksanakan komitmennya membayar kerugian dan kerusakan akibat krisis iklim.”

BEBAGAI gejala perubahan iklim telah memberikan dampak negatif terhadap ekonomi masyarakat dan negara. Para petani padi di berbagai daerah, misalnya, belakangan semakin sering mengalami gagal panen, atau hasil panen buruk. Itu sebabnya pada 2013 pemerintah dan DPR meloloskan Undang-undang Nomor 19 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang menjadi dasar berdirinya Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Asuransi ini memberikan kompensasi kerugian akibat kerusakan tanaman agar petani mendapatkan kembali biaya produksinya. Tapi itu tak sebenuhnya mengatasi kesulitan mereka. “Pertanggungan maksimal cuma Rp6 juta per hektar, padahal ongkos produksi bisa mencapai Rp12-15 juta per hektar,” kata Syamsudin, petani asal Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. 

Perubahan iklim juga menyebabkan garis pantai di beberapa daerah bergeser hingga permukiman warga. Contohnya di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Salah satu dukuhnya, Timbulsloko, kini sudah berada di atas air. Sebanyak 155 kepala keluarga di dusun itu mesti meninggikan lantai rumah mereka hingga mendekati atap agar selamat dari rob. Setidaknya 15 keluarga memilih hengkang dari daerah tersebut. “Saya bertahan karena keluarga saya masih banyak di sini,” kata Sonhaji, Ketua RT 5, Jumat, 4 Maret lalu. Pemerintah daerah dan warga sejak 2015 telah menggalakkan penanaman bakau tapi belum berhasil. Setiap kali, arus laut menyapu hampir semua bibit yang ditanam. 

Di Kalimantan Selatan, konsensi pemanfaatan hutan dan pembalakan ilegal di Kawasan Pegunungan Meratus diduga menjadi sebab banjir besar merendam 102.340 rumah di 11 kabupaten dan kota di provinsi itu pada 12 Januari tahun lalu. “(Terjadi) kerusakan di daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai," kata Ketua Serikat Petani Indonesia Kalimantan Selatan Dwi Putra Kurniawan, Rabu, 23 Maret lalu. Masyarakat kini mulai menggiatkan penanaman kembali pohon di kawasan Pegunungan Meratus.

ORGANISASI Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan kerugian ekonomi dari berbagai bencana hidrometeorologi selama 1970-2019 sebesar US$ 4,92 triliun. Badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa ini juga membuat pemetaan dampak ekonomi bahaya iklim di Asia pada 2010-2019 yang nilainya sekitar US$ 465 miliar, didominasi banjir.

Tahun lalu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengkaji potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim. Menurut kajian tersebut, jika tidak ada intervensi kebijakan, berbagai bencana akibat perubahan iklim dapat menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun pada periode 2020-2024. Sektor yang paling terkena dampak adalah sektor pesisir dan laut dengan potensi kerugian Rp 408 triliun, pertanian Rp 78 triliun, perairan Rp 28 triliun, dan sektor kesehatan Rp 31 triliun.

Pemerintah mengalokasikan dana perubahan iklim sebesar Rp 307,94 triliun pada 2018-2020, atau rata-rata sekitar 4,3 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun. Walaupun demikian, porsi setiap tahun terus menurun. Pada 2018 anggaran kementerian/lembaga untuk perubahan iklim mencapai Rp 132,4 triliun, berkurang menjadi Rp 97,66 triliun pada 2019, lalu turun lagi menjadi Rp 77,81 triliun pada 2020. Tahun lalu, anggaran untuk perubahan iklim naik sedikit menjadi sekitar Rp 86,7 triliun. 

Tapi ikhtiar untuk memitigasi perubahan iklim ini masih tanggung, jauh dari memadai. Berdasarkan laporan Biennial Update 2018 oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan perubahan iklim (UNCC), Indonesia membutuhkan US$ 247,2 miliar (sekitar Rp 3.461 triliun) hingga 2030. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membenarkan hal tersebut. “Artinya setiap tahun paling tidak resources-nya Rp 266,2 triliun,” ujar Sri dalam diskusi Climate Change Challenge Universitas Indonesia pada 11 Juni 2021.

Dana sebesar Rp 266,2 triliun itu, Sri menambahkan, melampaui anggaran kesehatan pada 2021 sebesar Rp 170 triliun. “Karena itu, upaya mengatasi dampak perubahan iklim harus dilakukan secara gotong-royong oleh pemerintah, swasta, filantropis, dan masyarakat,” tuturnya.

Liputan ini merupakan kolaborasi Tempo dan Tempo English, dengan dukungan Institute for Climate and Sustainable Cities and Asia Comms Lab. Baca laporan lengkapnya di Majalah Tempo.

CREDIT

Pemimpin Proyek

Penulis

Kontributor

Multimedia

Translator

Editor