Longform

Terperangkap Jeruji Tak Berwujud

Kamis, 10 Maret 2022

Meski telah berhasil keluar dari tanah air mereka yang dipenuhi konflik, pengungsi Afghanistan masih dirundung nasib malang di negara penampungan. Mereka terkatung-katung dan belum mendapat kepastian penempatan di negara tujuan. Liputan ini hasil kolaborasi Tempo.co dan media Malaysia, MalaysiaKini, dengan dukungan The Sasakawa Peace Foundation.

Oleh Faisal Javier

tempo

Di sebuah bekas markas militer di Kalideres, Jakarta Barat, Hassan Rateq (43) tinggal bersama lebih dari seratus pengungsi lainnya. Bagi para pengungsi di sana, Hassan adalah koordinator mereka. Hassan berasal dari Jaghori, sebuah distrik di Provinsi Ghazni, Afghanistan.

Sebanyak 162 pengungsi yang tinggal di barak itu berasal dari Afghanistan dan 8 orang berasal dari Pakistan. Mereka semua orang Hazara, salah satu etnis minoritas di Afghanistan dan Pakistan. Sebagian besar etnis Hazara merupakan pemeluk Islam aliran Syiah. Bertahun-tahun, mereka menjadi subjek persekusi di negara asalnya. 

Bangunan itu terletak di tengah sebuah perumahan elite. Rumput-rumput liar tumbuh tak terawat. Area itu terdiri dari gedung utama berlantai dua, beberapa bangunan kecil, musala, dan sebuah bangunan setengah jadi berlantai dua di sisi utara. 

Sebelum menempati barak itu, sebagian pengungsi sempat tinggal di pinggir jalan. Tepatnya, di depan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta, 650 meter dari tempat tinggal mereka sekarang. Mereka mulai dipindahkan ke barak tadi pada Juli 2019.

tempo

Di bangunan setengah jadi yang ditempati Hassan tersebut, terdapat puluhan tenda kemah yang dapat memuat 3 orang setiap tenda. Beberapa pengungsi lain, terutama yang berkeluarga, menempati ruangan-ruangan di gedung utama. Untuk menjaga privasi, mereka membuat sekat-sekat dalam ruangan yang menandakan tempat tinggal mereka.

Untuk air bersih, bangunan itu memiliki fasilitas penampungan air tanah yang tidak dapat dioperasikan di malam hari. Air hanya dapat diperoleh pada pagi hingga sore, lalu para pengungsi pun menyimpannya untuk kebutuhan di malam hari.

Air tanah itu memiliki rasa asin. Jika digunakan untuk mandi, air itu dapat menimbulkan rasa kesat di kulit. “Kami tidak dapat menggunakannya untuk minum atau masak. Kami hanya bisa pakai untuk mencuci baju, piring, dan mandi,” kata Hassan.

tempo

Hassan, yang sedang menderita sakit ginjal, memiliki persediaan air minum sendiri untuk meredakan nyeri pinggang yang sewaktu-waktu menyerang akibat penyakit itu. 

Sedangkan tagihan listrik bangunan itu sepenuhnya mengandalkan sumbangan lembaga swadaya masyarakat atau pun individu-individu yang berkunjung ke sana.

Hassan bercerita, ketika pertama kali ditempatkan di sana, terdapat beberapa tenda pleton yang dapat menampung 50-100 orang. Tenda-tenda besar itu didirikan oleh staf pemerintah setempat. “Ketika kami datang, kami disediakan makanan, listrik, air—segalanya,” ujar Hassan.

Namun, fasilitas itu hanya bertahan 41 hari. Tenda-tenda itu kemudian dibongkar kembali, dan fasilitas listrik juga diputus. Penghentian tersebut diikuti pemberitahuan dari pemerintah setempat untuk segera meninggalkan barak tersebut. Tempo berusaha mengkonfirmasi ihwal pengusiran ke Kepala Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, Premi Lasari, tetapi tidak ada tanggapan hingga laporan ini ditayangkan.

tempo

Geram karena akan diusir, Hassan dan para pengungsi yang tinggal di barak itu pun berdemo di depan markas Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia di Jakarta Pusat pada Oktober 2019. Mereka juga mengancam akan tidur di depan kantor UNHCR jika tidak ada kepastian soal tempat tinggal mereka. Namun, ancaman itu urung dilaksanakan setelah UNHCR berjanji akan memastikan mereka dapat tetap tinggal di sana.

Setahun berselang, perwakilan pemerintah dan UNHCR pun bersepakat menjadikan bangunan itu sebagai tempat tinggal pengungsi. Menurut Hassan, perwakilan pemerintah saat itu berjanji akan merenovasi bangunan itu.

“Tetapi mereka tidak pernah datang ke sini,” kata Hassan.

Menunggu dalam Ketidakpastian

Ketika pertama kali tiba di Indonesia, Hassan awalnya berpikir bahwa ia hanya akan menghabiskan waktu 3-4 tahun di negara ini sebelum ditempatkan secara permanen (resettlement) di negara ketiga. 

Namun, ia kini telah tinggal lebih lama dari asumsinya. Bahkan, ia bisa menunggu lebih lama lagi, mengingat ia masih berstatus pencari suaka.

Apa Perbedaan Pencari Suaka dan Pengungsi?

Pencari Suaka:, orang yang meminta perlindungan sebagai pengungsi di luar wilayah atau negara tempat tinggalnya, tetapi belum diakui sebagai pengungsi. Untuk mendapatkan pengakuan dan hak sebagai pengungsi, pencari suaka harus menjalani proses penentuan status pengungsi (Refugee Status Determination/RSD). Namun, ia tetap berhak mendapat perlindungan dari negara penampung atau UNHCR untuk tidak dikembalikan ke tempat tinggalnya hingga hasil RSD keluar.

Pengungsi: orang yang telah memenuhi kriteria sebagai pengungsi berdasarkan Konvensi 1951/Protokol 1967 bahwa ia mendapat persekusi di tempat tinggalnya karena ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan suatu kelompok, atau perbedaan pandangan politik. Setelah diakui sebagai pengungsi, ia berhak mendapat bantuan dan perlindungan dari negara penampung atau UNHCR hingga ia mendapat solusi berupa penempatan (resettlement), pemulangan sukarela, atau integrasi lokal (naturalisation). Setiap pengungsi adalah pencari suaka, tetapi tidak semua pencari suaka sudah pasti akan menjadi pengungsi.

Untuk mendapat kesempatan resettlement, Hassan harus terlebih dahulu mendapat status pengungsi melalui proses Refugee Status Determination (RSD) yang dilakukan UNHCR. Namun, hingga kini Hassan masih belum mendapat panggilan sama sekali dari UNHCR untuk mengikuti proses wawancara.

“Tidak pernah. Tidak pernah. Tidak pernah,” jawab Hassan saat Tempo menanyakan secara langsung apakah ia telah dipanggil UNHCR untuk menjalani proses RSD. “Mereka belum pernah melakukannya (wawancara), dan mereka juga tidak punya jawaban yang logis.”

Jika ia berhasil memperoleh status pengungsi, masa penantiannya untuk resettlement pun belum usai. Ia masih harus menunggu lagi untuk dipanggil kedutaan besar negara ketiga yang akan menerimanya. Proses itu pun bisa memakan waktu bertahun-tahun lagi.

Tempo juga menemui pengungsi Afghanistan lainnya, Mahdi Rafei (28). Mahdi tinggal di Cisarua, sebuah kecamatan yang terletak di kaki Gunung Gede, Bogor, Jawa Barat. Makan waktu 2-3 jam berkendara mobil dari Jakarta untuk sampai di tempat itu. 

Senasib dengan Hassan, Mahdi juga hingga kini masih berstatus pencari suaka. Ia telah berkali-kali mengirim surat atau email ke UNHCR untuk mengikuti proses RSD. Namun tidak ada respon yang ia dapat. 

“Sejujurnya, saya sangat menantikan telepon dari UNHCR, setidaknya missed call,” kata Mahdi, yang memimpin sebuah sekolah informal khusus pengungsi di Cisarua, Refugee Learning Nest (RLN).

Pengungsi Afghanistan lain yang juga Tempo temui adalah Aryan (29). Dua tinggal di sebuah rumah indekos di perbatasan Jakarta dengan Depok. Ia telah tinggal di Indonesia sejak 2014. 

Berbeda dengan Hassan dan Mahdi, Aryan telah mendapat status pengungsi setelah menunggu sekitar 4 bulan sejak pertama kali mendaftarkan diri di UNHCR Indonesia pada Mei 2014. Tapi hingga kini, ia masih belum mendapat panggilan dari UNHCR ataupun kedutaan besar calon negara penerima terkait kepastian resettlement.

“Sudah berapa kali aku ke UNHCR. Sudah berapa kali (bertanya) lewat email, online. (Ke) Embassy Amerika juga dan aku bawa dokumen, tapi belum ada kabar gimana,” kata Aryan.

Para Pencari Keselamatan

Mereka tidak mengenal satu sama lain. Namun mereka disatukan oleh nasib yang sama. Lari dari negara asal demi mencari keselamatan, tapi kemudian terdampar di negeri orang.

Hassan Rateq (43) telah tinggal di Indonesia sejak Januari 2016. Baginya, hidup bertahun-tahun hidup sebagai pengungsi di Indonesia bagaikan, “Anda sedang tinggal di penjara,” ujarnya.

Meski pemerintah Indonesia mengizinkan pengungsi tinggal di negara ini, tetapi kehidupan mereka tidak bebas. Pengungsi tidak dapat bekerja karena aturan tidak membolehkannya. Pendidikan pengungsi anak juga terbatas.

Hassan, dan pengungsi etnis Hazara lain, mendapat kesulitan pula untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka. Mayoritas orang Hazara menganut Syiah, sedangkan mayoritas penduduk Indonesia beraliran Sunni. Akibatnya, mereka tidak bisa beribadah bersama penduduk Indonesia, meski juga beragama Islam.

“Apa yang ada di benak Anda jika hidup seperti ini selama 10 tahun?” ucap Hassan kepada Tempo.

Hassan meninggalkan istri dan 5 anaknya di Afghanistan setelah sekelompok militan mendatangi rumahnya. Kelompok itu datang untuk mencarinya. Meski tidak dapat memastikan, ia menduga mereka adalah Taliban. 

Saat itu, Hassan bekerja di divisi logistik sebuah perusahaan lokal yang bekerja sama dengan pemerintah Afghanistan, di Provinsi Helmand. Sudah menjadi rahasia umum di Afghanistan saat itu bahwa Taliban juga mengincar orang-orang sipil yang bekerja untuk pemerintah, pasukan NATO, atau perusahaan asing.

Beruntung, malam itu Hassan sedang menemani istrinya yang sedang hamil di rumah sakit. Sejak itu, ia meninggalkan rumah dan keluarganya. Ia juga belum pernah bertemu langsung dengan anak bungsunya.

Sebuah agen perjalanan mengirimnya dari Kabul ke New Delhi, India dengan pesawat. Lalu ia melanjutkan penerbangan ke Singapura, Surabaya, dan berakhir di Jakarta.

Hassan awalnya berpikir, bahwa ia akan mendapatkan penempatan (resettlement) di negara ketiga paling lambat 3,5 tahun setelah tiba di Indonesia. Selama masa tunggu itu, ia pun mempelajari ilmu komputer melalui kursus daring yang ditawarkan sebuah organisasi luar negeri.

Kenyataannya, hingga kini ia masih berstatus pencari suaka. Padahal, untuk memperoleh penempatan permanen, Hassan harus terlebih dahulu mendapat status pengungsi. Tapi hingga kini Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) belum pernah sekalipun memanggilnya untuk mengikuti proses penentuan status pengungsi (RSD).

Hassan berulang kali memimpin demonstrasi pengungsi Afghanistan di depan kantor UNHCR menuntut kejelasan nasib mereka. Tetapi menurutnya, perwakilan UNHCR selalu beralasan bahwa pencari suaka dan pengungsi diakui setara oleh Indonesia berdasarkan Perpres Nomor 125 Tahun 2016.

“Jika diberi (hak) oleh pemerintah Indonesia, tidak berarti Anda kemudian tidak mewawancarai pencari suaka dan menghentikan mereka di sini,” kata Hassan. “Karena jika Anda bukan pengungsi, Anda tidak pernah bisa ditempatkan di negara ketiga.”

Hassan dan para pengungsi di Kalideres hidup dengan bergantung pada donasi dari organisasi maupun individu dalam dan luar negeri. Ia sebenarnya telah membangun sebuah platform belajar daring berkat ilmu yang ia dapat. Karena ia tidak dapat membuka rekening bank, ia pun belum bisa mendapat keuntungan sama sekali.

Ia sempat maju sebagai calon perwakilan pengungsi Afghanistan pada 2019. Menurutnya, saat itu ia memperoleh suara terbanyak dari pengungsi, yakni 231 suara. Tapi UNHCR justru memilih 6 orang lain yang suaranya bahkan kurang dari 200 suara. Ia menduga, UNHCR tidak menunjuknya karena ia terlalu vokal.

“Karena saya meminta hak pengungsi dan juga mengungkap kebenaran,” kata Hassan.

Ia bercerita, setelahnya Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia, Ann Maymann mengirim surat permohonan maaf kepadanya. Ann juga menawarinya bekerja untuk UNHCR. Tetapi ia menolaknya.

“Saya bilang, saya akan bekerja dengan PBB jika PBB jujur dan benar-benar bekerja bagi pengungsi,” tuturnya. 

Tempo menanyakan cerita ini kepada Associate External Relations UNHCR Indonesia, Mitra Salima. Ia berjanji memastikan ke rekannya yang lain, karena ia baru saja selesai cuti hamil. Tapi tidak ada jawaban lanjutan dari UNHCR Indonesia hingga tulisan ini ditayangkan.

Meski terlunta-lunta bertahun-tahun, ia masih menyimpan harapan untuk mendapat penempatan permanen suatu hari nanti, meski ia sudah putus asa dengan sikap UNHCR. Baginya, harapan yang membuatnya tetap hidup dan menghadapi tantangan hingga hari ini. 

“Jadi, jika Tuhan berkehendak, insyaallah saya akan ditempatkan di negara ketiga manapun,” katanya.

Mahdi Rafei (28) masih menyimpan memori indah semasa tinggal dan bersekolah di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA).

“Saya selalu menjadi juara pertama. Saya punya semua sertifikat,” katanya.

Ia lahir dan tinggal di Abu Dhabi hingga usia delapan belas tahun karena ayahnya bekerja di kota itu. Kedua orang tuanya adalah warga negara Afghanistan.

Hitungan hari setelah ulang tahunnya ke-18, ia dideportasi ke Afghanistan dan meninggalkan kuliahnya yang belum selesai. Ia tidak pernah melanggar hukum yang dapat membuatnya dideportasi. Imigrasi setempat pun tidak memberi alasan sama sekali.

Tapi ia menduga deportasi itu karena kepercayaannya. Keluarganya beretnis Hazara dan menganut Syiah. Sedangkan keluarga kerajaan dan mayoritas penduduk UEA memeluk aliran Sunni.

Di Kabul, mulanya ia lebih banyak berdiam diri di rumah lebih dari 6 bulan karena ketakutan akibat serangan teror yang terjadi berulang kali di kota itu. Namun setelahnya ia berhasil mendapat pekerjaan sebagai asisten direktur di sebuah perusahaan properti lokal.

“Saya menyenangi pekerjaan itu. Penghasilannya juga lumayan bagus,” tuturnya.

Pada 2017, ia tiba-tiba mendapat permintaan misterius dari sekelompok orang untuk membuat kartu masuk ke komplek perkantoran tempatnya bekerja di Kabul. Tak bisa sembarang orang masuk tempat itu karena banyak orang asing yang juga tinggal dan bekerja di sana.

Ia lantas teringat, sebelumnya ada kejadian serangan militan Taliban yang menyusup ke Hotel Serena, Kabul, dan menewaskan orang lokal dan asing. Hotel itu salah satu tempat dengan keamanan terketat di Kabul dan menjadi persinggahan favorit orang asing. Peristiwa penyerangan itu membuatnya menolak permintaan itu.

Setelah penolakan itu, ia mulai diikuti orang-orang tak dikenal dan mendapat pesan ancaman. Ia pun menghubungi sebuah agen perjalanan untuk membantunya meninggalkan Afghanistan untuk selamanya. Agen itu menawarkan Indonesia sebagai salah satu tujuan pelarian. Mahdi pun memilih negara itu, yang kini telah ia tinggali sekitar 5 tahun.

Ia transit di empat kota sebelum tiba di Cisarua, Bogor. Pertama New Delhi, India; kemudian Kuala Lumpur, Malaysia; Medan; dan Bandung. Hampir keseluruhan perjalanan ia lakukan dengan pesawat. Dari Bandung, ia bermobil ke Cisarua.

Tahun pertama di Indonesia ia habiskan hanya di kontrakannya, serta mengurus pendaftaran suaka ke kantor UNHCR di Jakarta. Setelah mengetahui keberadaan Refugee Learning Nest (RLN)—sebuah pusat pembelajaran pengungsi—di dekat kontrakannya pada 2018, ia pun mendaftar sebagai relawan pengajar bahasa Inggris.

Berkat pendidikannya di bidang Manajemen Bisnis—meski tidak selesai—ia juga diberi tanggung jawab mengurus keuangan RLN. Lantas, di 2019, ia dipilih sebagai kepala sekolah RLN dan hingga kini ia masih mengemban tugas itu.

Di Indonesia, Mahdi tidak memiliki anggota keluarga. Ayahnya telah mengungsi ke Melbourne, Australia. Sedangkan ibu dan empat saudaranya yang lain masih bertahan di Afghanistan.

Ia merasa masa tinggalnya di Indonesia seperti limbo—masa penantian yang tidak jelas. Tetapi ia merasa lebih mudah beradaptasi dengan kehidupan di Indonesia dibanding di Afghanistan.

“Beradaptasi di Afghanistan jauh lebih sulit karena pengalaman buruk itu,” katanya. 

Namun perbedaan bahasa jadi hambatan. Ia hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia. Penduduk setempat juga sering kali keliru menganggap ia dan para pengungsi lain sebagai turis-turis Arab yang biasa menghambur-hamburkan uang di kawasan Cisarua.

“Mereka seperti berharap kami untuk melakukan hal yang sama, dan jika kami tidak melakukannya, mereka akan terlihat kesal ke kami,” ujarnya.

Sebagai pengungsi, ia tidak dapat bekerja karena tidak ada aturan Indonesia yang membolehkan pengungsi bekerja. Untuk mendapat uang, walau sedikit, ia menjadi penerjemah lepas berkat kemampuannya berbicara empat bahasa. Keempat bahasa yang Mahdi kuasai yakni Inggris, Arab, Urdu, dan Persia. 

Mahdi berharap, para donatur luar negeri bisa datang langsung ke Indonesia dan mensponsori resettlement para pengungsi rentan yang belum diperhatikan UNHCR daripada menyumbang pusat pembelajaran.

“Kami tidak ingin disumbang. Bantulah komunitas (pengungsi), dan bawa mereka pergi dari sini,” ujarnya.

Ia juga masih menyimpan impian untuk mendapat penempatan permanen. Ia tidak keberatan dikirim ke manapun. Namun ia berharap dapat merawat ayahnya yang tinggal sendiri dan sedang menderita kanker.

Aryan (29) sudah transit di Indonesia hampir 8 tahun. Ia berasal dari sebuah desa terpencil di Provinsi Paktia, Afghanistan yang didiami mayoritas etnis Pashtun. Wilayah itu dikenal sebagai tempat perlindungan kelompok Taliban yang memberontak terhadap pemerintah yang dibekingi pasukan NATO.

Menurut Aryan, banyak dari tetangga dan teman sekolahnya tergabung dalam kelompok Taliban. “Mulai dari dulu, kita tahu mereka semua Taliban,” kata Aryan kepada Tempo.

Tapi Aryan tidak sekalipun tertarik bergabung dengan Taliban. “Pikir kita, ya enggak mungkin, karena kita pikir cuma mau cari rezeki, cari makan, bisa lanjut hidup,” lanjut dia.

Setelah lulus kuliah, seorang pamannya mengajak Aryan untuk bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi di Kabul, Ibu Kota Afghanistan. Perusahaan itu juga bekerja sama dengan tentara Amerika Serikat (AS).

“Aku kerja di base sama American. Jadi ada kayak tempat American khusus, ada army-nya di sana. Sebagai bantu kalau perlu mobil ekspedisinya,” cerita dia.

Aryan tahu bahwa pekerjaan itu dapat menghadirkan ancaman untuknya. Bagi Taliban, warga lokal yang bekerja untuk pemerintah atau pasukan asing adalah bagian dari musuh. Taliban pun berulang kali mengirimkan surat yang memperingatkannya agar ia segera keluar dari pekerjaan itu, atau ia akan dibunuh.

Namun Aryan tak pernah menghiraukan ancaman itu. Sampai suatu hari pada 2014, Taliban benar-benar berupaya melaksanakan ancamannya. 

“Sekitar jam 11 malam, kalau enggak salah, Taliban-nya datang ke rumah saya. Pas datang, ayahku sama uncle aku ditarik dibawa sama Taliban, karena kerja sama orang Amerika,” kata dia. Menurut dia, ayahnya hingga hari ini masih selamat. Sedangkan pamannya dibunuh, karena ia bekerja sebagai penerjemah untuk pasukan AS.

Kemudian, seorang sepupu Aryan membantunya pergi meninggalkan negara itu. Ia kemudian dibawa oleh seorang penyelundup orang dari Kabul ke New Delhi, India dengan pesawat. Lalu ia melanjutkan penerbangan ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Aryan kemudian menyeberang ke Sumatera dengan perahu. Sesampainya di sebuah pantai, ia kemudian berjalan kaki selama 1 jam dengan kain menutupi hampir seluruh kepalanya, kecuali bagian mata. Lalu ia menaiki sebuah mobil yang mengantarnya ke rumah penduduk lokal. Di sana, ia menginap selama 3 hari.

Setelah itu, ia terbang dari Medan ke Jakarta. Penyelundup itu menempatkannya di sebuah hotel selama sekitar 3 malam. Kemudian, penyelundup itu mengantarkannya ke kantor perwakilan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR).

“Dia turunin aku di dekat sana. Pakai bahasa Persia, dia bilang, ‘Itu ada UNHCR, kamu ke sana regis nama kamu.’”

Turun dari mobil, ia menangis karena tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian seorang pengungsi Afghanistan beretnis Hazara membantunya registrasi permohonan suaka di UNHCR.

Pengungsi itu juga mengajak Aryan tinggal bersama di kontrakannya di Cisarua, Bogor. Setelah sekitar 1-2 minggu, ia akhirnya memperoleh ponsel untuk menghubungi keluarganya di Afghanistan.

“Setelah dapat HP, bisa komunikasi ke my cousin. Dia bantu kirim uang ke aku, jadi baru mulai hidup,” kata dia.

Aryan cukup lancar berbahasa Indonesia. Kemampuan itu ia dapatkan berkat interaksi dengan penduduk lokal di masjid. Ia menganut aliran Sunni, seperti orang Pashtun pada umumnya, sehingga ia dapat beribadah bersama penduduk lokal.

Ia juga berteman dengan seorang lelaki Indonesia yang kini tak ia ketahui kabarnya. Temannya itu sempat mengajaknya pergi ke Ambon dengan menaiki kapal. Selama sebulan, ia tinggal di sana dan mengasah kemampuannya berbahasa Indonesia.

“Aku ikut karena bosan, jadi enggak ada gimana-gimana,” katanya.

Kini Aryan tinggal di sebuah rumah indekos di perbatasan Jakarta Timur-Depok. 

Melalui media sosial, ia juga berkenalan dengan seorang perempuan setempat. Perempuan itu kini telah menjadi pacarnya.

Setelah beberapa waktu, keluarga sang pacar meminta Aryan mengurusi sebuah kedai nasi kebuli milik mereka. Dari situ, ia pun mendapat penghasilan yang membantunya bertahan hidup di Indonesia. Hal itu ia lakukan karena keluarganya tidak lagi dapat mengirim uang akibat menurunnya kondisi perekonomian di Afghanistan.

Tapi baginya, pekerjaan itu adalah pelariannya. Ia mengalami depresi karena sebagai pengungsi ia tidak bisa bebas beraktivitas seperti penduduk lokal. Selain itu, nasibnya ke depan belum jelas hingga kini. Akibat stres itu, ia sempat mengalami insomnia, dan hanya bisa tidur 2-3 jam setiap hari.

“Aku enggak bisa ngapa-ngapain, kayak orang mati,” ujarnya. 

Kondisi keluarga ikut jadi salah satu penyebab Aryan depresi. Ia bercerita, adik laki-lakinya juga dibunuh Taliban. “Jadi pas brother aku mau jadi polisi, karena enggak ada kerjaan lain untuk hidup. Pas itu, dia juga dibunuh,” kata dia. 

Awalnya, sang ibu menyembunyikan cerita itu setiap dia menelepon keluarganya. Tapi setelah Aryan menanyakan berulang kali keberadaan adiknya, barulah sang ibu menceritakan kejadian itu.

Ibunya juga telah menyusul adik dan pamannya. “Pas aku udah 2-3 tahun di sini, aku dengar mamaku, gara-gara stres, akhirnya passed away.” 

Depresi juga membuatnya kecanduan merokok, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan di negara asalnya. Ia bisa habiskan rokok lebih dari sebungkus per hari.

Aryan telah mendapat status pengungsi 19 bulan setelah mendaftar ke UNHCR Indonesia. Tapi hingga kini ia masih belum dapat kejelasan dari UNHCR soal penempatannya. Ia belum juga memperoleh panggilan dari kedutaan besar calon negara ketiga.

Peristiwa yang dialami keluarganya membuat ia enggan kembali ke Afghanistan. Ia pun tidak percaya bahwa Taliban yang kini berkuasa akan memaafkan orang-orang yang pernah mereka anggap musuh.

“Selama aku hidup pun, aku enggak akan balik ke Afghanistan. Karena saat itu aku ketakutan, sampai di dalam hati aku masih ada,” katanya. 

Ia pun berharap dapat segera mendapat resettlement, tak masalah di manapun negaranya.

“Daripada aku di sini mau bunuh diri, lakuin hal yang jelek atau gimana. Cuma itu aja.”

Terlunta-lunta tanpa Penghasilan

Berdasarkan fact sheet UNHCR Indonesia pada edisi Desember 2021, terdapat 13.149 pengungsi di Nusantara ini yang telah terdaftar. Sebagian besar pengungsi berasal dari Afghanistan, yakni 7.438 orang atau 56,6 persen dari jumlah keseluruhan.

Masih dalam dokumen yang sama, lembaga itu memberi uang bulanan bagi 1.243 pengungsi yang tergolong rentan. 

Meski tidak meratifikasi Konvensi 1951/Protokol 1967, Indonesia memiliki Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 yang mengatur penanganan pengungsi luar negeri. Tetapi, antropolog Antje Missbach dan peneliti HAM Nikolas Feith Tan menganggap aturan itu belum sepenuhnya melindungi para pengungsi di Indonesia. Masih belum jelas bagaimana pendanaan hidup mereka setelah diterima di Indonesia.

Kepala Pelaksana Harian Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (Satgas PPLN) Brigjen Pol. Bambang Pristiwanto, menyebut bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab untuk membiayai hidup pengungsi. Menurutnya, tanggung jawab itu berada di tangan UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

Akmal Haris Rusdi, National Program Officer IOM Indonesia, membenarkan bahwa organisasinya turut bertanggung jawab atas kehidupan para pengungsi selama singgah di Indonesia. Menurut Haris, bantuan itu didapat dari program Regional Cooperation Arrangements (RCA).

Bantuan IOM Indonesia meliputi penyediaan rumah penampungan bagi para pengungsi, biaya berobat di rumah sakit, dan tunjangan bulanan. Selain itu, organisasi juga menyediakan program kejuruan untuk memberdayakan keterampilan pengungsi, dan bantuan kesehatan mental.

Haris mencatat bahwa ada 7.400 pengungsi di Indonesia yang dilindungi program ini. Menurut dia, untuk mendaftar program ini, pengungsi harus mendapat rekomendasi pemerintah Indonesia.

tempo

Kemudian IOM menyeleksi pendaftar berdasarkan kerentanan yang dimiliki pengungsi, seperti pengungsi anak yang datang tanpa wali atau orang tua, jenis kelamin dan gender, kebutuhan perlindungan, masalah kesehatan dan tingkat kesejahteraan.

Namun IOM telah menutup penerimaan pengungsi untuk program ini sejak tahun 2018.

“Kami belum tentu mendapat dana atau donor yang mencukupi program tersebut,” kata Haris. “Ada program-program yang kami harus sesuaikan, atau targetkan kepada kelompok-kelompok yang benar-benar rentan.”

Haris menyebut bahwa pengungsi yang telah mendapat bantuan IOM tidak dapat menerima bantuan serupa dari UNHCR, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, masih ada 4.506 pengungsi yang harus berjuang membiayai hidupnya sendiri.

Bagi Hassan, Mahdi, dan Aryan, Indonesia hanya persinggahan sementara mereka. Namun, dengan status resettlement yang belum jelas, mereka juga harus berjuang menafkahi mereka sendiri selama menunggu di Indonesia. Tetapi, mereka terhalang aturan untuk dapat bekerja

“Sampai detik ini regulasinya, (Indonesia) tidak punya regulasi untuk mengatur hak mereka boleh bekerja,” kata Bambang.

tempo

Penegasan serupa juga datang dari Hendra Nofiardi, Sub Koordinator Deportasi Direktorat Jenderal Imigrasi. “Pengungsi adalah bukan warga negara asing yang menetap di Indonesia. (Indonesia) hanya sebagai (tempat) transit, sehingga mereka tidak diizinkan karena tidak sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan di RI,” ujar Hendra. Persyaratan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2021.

Ketiadaan hak untuk bekerja ini menyulitkan hidup para pengungsi. Mereka awalnya mengandalkan kiriman uang dari saudara atau teman mereka di luar Indonesia, tetapi sumber pendapatan itu tidak bertahan lama.

“Saya tidak punya pekerjaan sama sekali, tetapi saya sempat dibantu (secara finansial) oleh beberapa saudara dan teman. Kemudian pada 2018, bantuan itu berhenti,” kata Hassan.

Hassan berkata, saat ini sumber keuangan satu-satunya adalah bantuan tunjangan coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang disediakan UNHCR untuk para pengungsi di seluruh dunia. Ia menyebut bahwa dirinya serta para pengungsi lain telah menerima tunjangan itu sekitar 6-7 kali. Menurut UNHCR, ada 4.129 pengungsi atau 31,4 persen dari jumlah pengungsi di Indonesia yang menerima bantuan bencana Covid-19 pada Desember 2021. 

Selain bantuan itu, Hassan menyebut bahwa para pengungsi di barak Kalideres juga menerima bantuan makanan atau uang dari organisasi atau pun individu di dalam maupun luar Indonesia. Bantuan dalam jumlah lebih banyak hadir saat waktu-waktu tertentu, seperti bulan Ramadan, hari Natal, atau Tahun Baru. Hanya saja, sumbangan yang mereka terima itu tidaklah reguler.

“Jika tidak ada acara, kami tidak akan menerima sumbangan sama sekali,” kata Hassan.

Tetapi sesungguhnya, untuk mengisi waktu, Hassan mengambil kursus daring gratis tentang ilmu komputer yang disediakan sebuah lembaga kemanusiaan luar negeri. Ia mempelajari bahasa pemrograman dan pengembangan website. Selain itu, ia juga mengambil kursus jurnalistik.

Setelah menyelesaikan kursus ilmu komputer itu, kemudian Hassan secara mandiri membangun sebuah platform belajar daring. Masalahnya, Hassan, dan para pengungsi secara umum, sulit membuat rekening bank di Indonesia karena mereka hanya memiliki kartu UNHCR sebagai identitas mereka.

“Saya tidak bisa mendapat keuntungan dari platform ini karena saya tidak punya rekening bank,” kata Hassan. 

tempo

Ia sempat pula melamar sebagai guru bahasa Inggris di pusat pembelajaran pengungsi milik Jesuit Refugee Service (JRS). Namun, karena tidak ada respon bertahun-tahun, ia memilih melupakan kesempatan itu.

Sedangkan Mahdi mengandalkan tabungannya sendiri, yang jumlahnya tidak seberapa, saat tiba di Indonesia. Menjadi pengajar di pusat pembelajaran pengungsi bukan kegiatan yang menghasilkan uang, karena bersifat sukarela. Lantaran mampu menguasai bahasa Inggris, Arab, dan Urdu, selain Persia yang merupakan bahasa ibu Mahdi, ia menjadi penerjemah lepas untuk mendapat penghasilan selama di Indonesia.

“Saya berjuang agar ada makanan di meja saya,” kata Mahdi. “Bukan cuma saya, banyak pengungsi di sini, maksud saya, pada realitasnya cuma makan sekali sehari.”

Sementara Aryan sempat mengandalkan bantuan uang dari sepupunya di Afghanistan saat pertama kali tiba di Indonesia. Saat ini, ia diminta keluarga pacarnya—perempuan setempat—untuk mengurusi salah satu kedai makanan milik mereka di dekat tempat tinggalnya.

“Aku enggak minta uang lagi ke keluargaku karena di sana ekonominya lagi turun banget. Mau curian enggak boleh, sakitin orang enggak boleh,” kata Aryan.

Namun baginya, aktivitas itu lebih untuk menyibukkan diri di tengah ketidakpastian resettlement. Ketidakpastian itu, ditambah nasib keluarga di kampung halamannya, sempat membuatnya stres hingga insomnia.

“Enggak tahu dapat uang atau gimana, cuma ya biar bisa tidur sesuai waktunya dan bisa hidup sesuai normal person,” ujarnya. 

Kesulitan para pengungsi itu mendapat perhatian Suaka, sebuah koalisi masyarakat sipil yang bergerak di bidang perlindungan hak pengungsi. Atika Yuanita, Ketua Perkumpulan Suaka, menyebut bahwa tahun lalu pihaknya sempat mendapat laporan 6 orang pengungsi di Cisarua yang ditahan Imigrasi lantaran ketahuan berdagang.

“Mereka sempat ditahan 2 hari, syukurnya enggak lama terus dirilis,” ujar Atika.

tempo

Bambang, selaku Kepala Pelaksana Harian Satgas PPLN, tidak menutup mata terhadap kesulitan ekonomi para pengungsi. Oleh karena itu, Bambang mengklaim bahwa pihak pemerintah selalu mengutamakan prinsip kemanusiaan untuk menangani masalah yang pengungsi hadapi. 

“Kemanusiaan artinya tidak melanggar aturan di negara kita. Tapi pengawasan tetap,” kata Bambang.

Keterbatasan hak pengungsi juga terjadi di negara tetangga Indonesia, Malaysia. Berdasarkan laporan MalaysiaKini, negara itu juga belum meratifikasi Konvensi 1951/Protokol 1967. Alhasil, para pengungsi juga tidak memiliki kesempatan legal untuk bekerja.

Meutya Hafid, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk memberi akses bagi pengungsi untuk mengembangkan diri. Janji itu ia utarakan pada Global Refugee Forum di Jenewa, Swiss, pada 17 Desember 2019.

“Pemerintah Indonesia juga telah berjanji, antara lain, untuk merancang program pemberdayaan pengungsi,” kata Meutya.

tempo

Atika berkata, bahwa saat ini koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Suaka turut terlibat memfasilitasi pemberdayaan dan kesejahteraan para pengungsi di Indonesia. Para pengungsi dapat membuat kerajinan tangan atau makanan yang kemudian dijual melalui platform bernama Refutera.

“Ini kami anggap peluang yang bagus buat kawan-kawan untuk mengembangkan diri dan berkreasi, dan bisa menjadi sumber penghasilan. Seenggaknya mereka bisa hidup sehari-hari,” kata Atika.

Sedangkan UNHCR telah merintis program Livelihood Opportunities sejak Desember 2019, yang ditujukan untuk memberdayakan para pengungsi. Mitra Salima, Associate External Relations UNHCR Indonesia, menjelaskan bahwa pengungsi dapat diikutsertakan dalam meningkatkan produktivitas usaha kecil dan menengah (UKM) lokal melalui program tadi. UNHCR pun telah bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dalam pelaksanaan program ini. 

“Setidaknya kami harapkan mereka bisa mendapatkan allowance, sejumlah sedikit pemasukan untuk mengganti makan siang atau transportasi, yang tentunya itu akan sangat membantu mendukung kehidupan pengungsi dan keluarga pengungsinya,” kata Mitra.

Mahdi mengaku, ia telah beberapa kali mengikuti lokakarya dan seminar yang diadakan UNHCR. “Tetapi kemudian itu tidak benar-benar berguna bagi saya dan situasi saya sebagai pengungsi,” ujar Mahdi.

Akses Pendidikan Terbatas

Hambatan lain bagi para pengungsi selama menunggu di Indonesia ialah akses pendidikan. Menurut Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan sekaligus anggota Satgas PPLN bagian pemenuhan hak atas pendidikan, sebenarnya pengungsi anak telah dapat bersekolah di sekolah-sekolah formal Indonesia.

Hak pendidikan bagi pengungsi anak merupakan konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Hak Anak yang dilakukan Indonesia pada 1990. Menurut Retno, sebagai salah satu negara pihak (state parties), Indonesia wajib memenuhi hak anak-anak tanpa terkecuali. "Hak anak-anak di antaranya adalah hak atas pendidikan," kata dia.

Retno melanjutkan, hak bersekolah bagi pengungsi anak di Indonesia telah diatur dalam Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 752553/A.A4/HK/2019. Berdasarkan penelusuran Tempo, hak pendidikan bagi pengungsi anak juga telah diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2021.

Tetapi pengungsi anak tidak bisa mendapatkan ijazah jika mereka telah menyelesaikan masa sekolah. Sebagai gantinya, mereka akan memperoleh surat keterangan hasil belajar.

tempo

Berdasarkan pengalaman Retno selaku komisioner KPAI, ia telah menjumpai pengungsi anak yang bersekolah di Semarang, Batam, Makassar, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Jakarta Barat. 

Namun, menurut Retno, negara tidak menanggung pendidikan para pengungsi anak itu. Sebagai gantinya, IOM yang bertanggung jawab mendanai biaya sekolah mereka. Untuk sekolah negeri, nilainya sebesar jatah dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk seorang murid.

Berdasarkan data IOM, terdapat 680 anak yang mendapat bantuan IOM untuk bersekolah di sekolah formal Indonesia pada Januari 2022.

Pada Desember 2021, UNHCR mencatat ada 3.518 pengungsi anak di Indonesia yang terdaftar. Dengan kata lain, hanya 19,3 persen pengungsi anak yang dapat dibantu IOM Indonesia untuk mendapat pendidikan di sekolah formal.

Pada akhirnya, para pengungsi dewasa menyediakan sendiri pendidikan bagi pengungsi anak. Di barak pengungsi Kalideres, Hassan turun tangan mengajar bahasa Inggris bagi para pengungsi anak yang tinggal di tempat itu. Sedangkan di Cisarua, terdapat 5 pusat pembelajaran pengungsi yang didirikan berdasarkan inisiatif para pengungsi sendiri, termasuk RLN.

Pengurus RLN menyewa sebuah vila berukuran sekitar 200 meter persegi. Di vila itu, terdapat 3 kamar yang disulap menjadi kelas, 1 kamar yang menjadi ruang guru sekaligus administrasi, serta 1 buah toilet.

Sekolah itu memiliki sekitar 150-an murid pada tahun 2021. Sedangkan jumlah staf, pengajar dan manajemen, sejumlah 26 orang. Sebagian besar murid, guru, dan staf berasal dari Afghanistan. Ada pula murid yang berasal dari Iran, Irak, dan Pakistan. Untuk mengakali tempat yang sempit, RLN membagi sesi pembelajaran sehari-hari menjadi dua sesi, setiap sesi terdiri dari dua jam. 

tempo

Atap bangunan itu tampak rapuh. Di sisi barat bangunan, genting tanah liat telah ada yang terlepas di beberapa titik, begitu pula talang air. 

Mahdi bertutur, kondisi itu sangat mengkhawatirkan saat angin kencang atau hujan. Para guru dan staf manajemen harus menyiapkan ember untuk menampung air yang bocor ke dalam bangunan saat hujan. Air yang menetes itu juga menyebabkan plafon rumah lembab.

“Ketika anak-anak masuk, mereka berteriak ke guru, ‘Bau banget, kami enggak mau belajar di sini,’” ujar Mahdi.

“Menurutku, tidak ada seorang pun yang bisa tinggal di sini untuk waktu lama,” lanjutnya. RLN sendiri telah menempati bangunan itu sejak berdiri pada Maret 2015.

Untuk membiayai operasional, RLN bergantung pada penggalangan donasi yang mereka lakukan secara daring. Hanya saja, pandemi Covid-19 membuat dana yang terkumpul tidak memenuhi target mereka.

Mahdi bercerita, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) luar negeri pernah mengadakan penggalangan dana secara daring untuk RLN. Mereka juga memasang foto dan video kondisi bangunan RLN untuk meyakinkan calon donatur.

Beberapa orang pun mengajukan pertanyaan ke RLN terkait transparansi penggunaan dana. Berdasarkan pengalaman Mahdi, dana yang turun ke RLN pada akhirnya hanya 5-10 persen dari total dana yang terkumpul. Sebagian besar dana itu, berdasarkan temuan Mahdi, lebih banyak digunakan untuk kebutuhan operasional organisasi penggalang dana, dan biaya perjalanan perwakilan mereka ke Indonesia.

“Kami tidak mau dimanfaatkan seperti itu,” kata Mahdi, yang bergabung dengan RLN sejak 2018.

tempo

Para pengungsi anak mendapat pelajaran dasar seperti bahasa Inggris, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan kesenian. Bukan hanya pendidikan, RLN juga memiliki tim futsal putra dan putri, dan telah mengikuti berbagai kompetisi antar pusat pembelajaran pengungsi. Selain itu, RLN juga memfasilitasi lokakarya yang diselenggarakan lembaga atau individu yang berkunjung ke sana.

Mahdi mengakui, para pengajar bukanlah guru profesional. Mereka bergabung ke RLN hanya atas dasar sukarela. “Setidaknya kami berusaha mengajari para pengungsi bahasa Inggris sebagai bahasa kedua yang merupakan bahasa internasional. Dan ke mana pun mereka pergi, ini akan sangat berguna bagi mereka,” kata Mahdi.

Transit di Indonesia yang lebih lama dari perkiraan serta nasib penempatan yang belum jelas turut mempengaruhi psikologis para pengungsi yang mengajar di RLN. Sehingga, menurut Mahdi, sebagian relawan tidak bisa bergabung di RLN untuk durasi waktu yang panjang.

“Tidak ada satu pun (pengungsi) yang datang ke sini untuk mendirikan sekolah dan terus mengajar,” kata Mahdi. “Menyibukkan diri, mungkin itu bisa jadi rencana yang bagus untuk 1-2 tahun, maksimal 3 tahun,” lanjutnya. 

“Tetapi setelah itu, kami menghadapi banyak masalah… dan kami tidak bisa memercayai seseorang yang sedang tidak bahagia atau sedang stres. (Menderita) banyak stres, banyak kekhawatiran, bagaimana mungkin kami mengirim dia ke kelas untuk mengurusi anak-anak?”

Beberapa pengajar juga mendapat kesulitan finansial untuk menghidupi dirinya, keluarganya, atau membiayai pengobatan anggota keluarganya. Masalahnya, kata Mahdi, para relawan di RLN seringkali dianggap sebagai kegiatan yang menghasilkan uang. Ketika mereka mengajukan bantuan ke organisasi-organisasi internasional, permintaan itu ditolak lantaran mereka dianggap telah mendapat penghasilan sebagai pengajar di RLN.

Saat ini, tutur Mahdi, RLN berusaha membiayai transportasi para relawannya. Setiap relawan mendapat uang transportasi US$ 36 (Rp 518 ribu) per bulan. Mereka dapat menghabiskan US$ 33-34 (Rp 475-490 ribu) setiap bulan untuk biaya transportasi dari tempat tinggal mereka ke RLN dan sebaliknya.

Mahdi bercerita, meski jumlah itu tidak seberapa, para relawan sangat membutuhkan uang itu. Oleh karenanya, sebagian dari mereka memilih berjalan kaki 30 menit ke RLN agar uang itu dapat mereka gunakan untuk kebutuhan lainnya.

tempo

Seingat Mahdi, RLN telah berkali-kali mengirimkan proposal ke UNHCR untuk mendanai ataupun menyediakan kebutuhan pusat pembelajaran seperti alat tulis. Namun proposal itu kerap tak jelas nasibnya.

“Sebagai contoh, kami telah mengirim proposal kami pada saat masa sekolah dimulai pada awal tahun. Dan kemudian mungkin baru pada Desember kami menerimanya (alat tulis),” tutur Mahdi. 

“Anda dapat lihat, hanya untuk kebutuhan kecil seperti alat tulis, betapa lama mereka meresponsnya,” lanjutnya. Ia tidak tahu persis alasan di balik lamanya pengiriman.

Kejadian serupa kembali terjadi saat mereka mengirim permintaan untuk penyediaan kebutuhan masker dan peralatan lain bagi komunitas pengungsi di sekitar RLN ketika pandemi merebak. Berkaca dari pengalaman itu, RLN pun menyebar proposal ke organisasi lain agar kebutuhan itu segera terpenuhi.

Mitra mengakui bahwa bantuan yang bisa diberikan UNHCR ke pengungsi juga bergantung kepada sumbangan donor. Pada 2021, UNHCR membutuhkan US$ 17,9 juta (Rp 257,5 miliar) untuk penanganan pengungsi di Indonesia, dan baru 60 persen yang dapat dipenuhi

Seperti Dipenjara

Tinggal di Indonesia dalam waktu lama tanpa bisa beraktivitas seperti penduduk lainnya, ditambah ketidakpastian penempatan menghadirkan tekanan batin bagi para pengungsi. Mahdi menyebutnya sebagai limbo—masa penantian yang tidak jelas. 

Perumpamaan serupa juga diutarakan Saleh Sepas, pengungsi Afghanistan di Malaysia. Saleh adalah pendiri Parastoo Theater, sebuah kelompok teater pengungsi Afghanistan di Kuala Lumpur.

“Mayoritas pengungsi memiliki satu atau lebih bentuk masalah kesehatan mental, yang sebagian besar berasal dari ketidakpastian besar yang ada di sisa hidup kita,” kata Saleh kepada MalaysiaKini.

“Kesuraman hari esok. Rasa frustrasi melihat anak-anak kita tumbuh tanpa pendidikan dan penindasan atas kesempatan yang ditolak agar mendapat kehidupan yang lebih baik bagi kami.”

Sedangkan Hassan mengibaratkan nasib pengungsi saat ini seperti berada dalam penjara. 

tempo

“Anda tidak punya hak untuk mempelajari, mengajarkan, dan mempraktikkan kehidupan beragama Anda dan lain-lain,” kata Hassan. Karena menganut aliran Syiah, para pengungsi Hazara tidak dapat mempraktikkan kepercayaan mereka bersama dengan penduduk Islam Indonesia yang mayoritas beraliran Sunni. 

Hassan menyebut, sejauh ini sudah ada 14 pengungsi yang meninggal akibat bunuh diri di Indonesia. Sebanyak 13 orang berasal dari Afghanistan, seorang sisanya berasal dari Myanmar.

Upaya bunuh diri terbaru dilakukan seorang pengungsi Afghanistan, Ahmad Shah (21), saat demonstrasi para pengungsi Afghanistan di depan kantor UNHCR di Medan, Sumatera Utara, pada akhir November lalu.

Anbar Jayadi, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berpendapat bahwa bunuh diri yang dilakukan para pengungsi tidak terlepas dari rasa frustasi yang mereka alami. Rasa frustasi itu tidak hanya diakibatkan status penempatan yang belum jelas, tetapi juga karena terasing selama menunggu di Indonesia.

tempo

“Mereka ‘diasingkan’ dalam arti mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan publik Indonesia secara penuh sebagai seorang manusia,” tulisnya di The Conversation

Atika berkata bahwa Suaka meminta pemerintah meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi. Bagi Suaka, Perpres Nomor 125 Tahun 2016 masih belum cukup memenuhi hak-hak pengungsi.

“Tapi setidaknya, goal kami adanya undang-undang khusus untuk para pencari suaka dan pengungsi terkait pemenuhan hak dasar mereka di Indonesia,” kata Atika.

tempo

Sementara Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Achsanul Habib menyebut bahwa untuk meratifikasi suatu konvensi internasional, diperlukan konsensus nasional antara pemerintah dengan parlemen. 

“Untuk meratifikasi ini kan proses konsensus nasional yang didorong oleh urgensi, priority, ada kepentingan nasional yang termuat di dalamnya. So far, dalam catatan kita tidak segenting itu ya harus meratifikasi,” kata Habib.

Habib juga melihat, negara-negara yang telah meratifikasi konvensi itu atau disebut juga sebagai negara pihak, justru tidak melaksanakan mandat konvensi sepenuhnya. Sebagian dari mereka membatasi kuota penerimaan pengungsi, atau bahkan menolak kedatangan mereka sama sekali. Pada akhirnya, Indonesia yang menampung para pengungsi itu meski Indonesia bukan negara pihak.

Tetapi, semakin banyak pengungsi yang datang ke Indonesia, semakin kecil peluang resettlement bagi para pengungsi yang terlebih dahulu tiba. Mereka akan semakin tergusur jika ada pengungsi yang baru datang dikategorikan lebih rentan, sehingga mendapat prioritas utama. Mahdi salah satu yang gelisah terhadap kondisi itu. 

“Ada pengungsi yang datang tahun 2019 atau 2018, proses resettlement mereka berjalan, mereka melalui proses wawancara kedubes (calon negara penerima), dan akhirnya mereka ditempatkan (di sana),” kata Mahdi. 

“Kemudian ada pengungsi (tinggal) sejak 2013-2014 dan belum diwawancarai (UNHCR), yang merupakan langkah paling awal. Maksud saya, harus berapa lama lagi mereka menunggu?”

Mitra mengakui bahwa kesempatan resettlement pengungsi sangat terbatas. Ia menjelaskan, hanya kurang dari 1,5 persen pengungsi di seluruh dunia yang mendapat kesempatan itu. Menurutnya, kriteria dan kuota penerimaan pengungsi merupakan wewenang penuh negara penerima, bukan UNHCR.

Menurut catatan UNHCR pun menyebutkan bahwa jumlah pengiriman pengungsi dari Indonesia ke negara penerima juga mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir akibat pandemi Covid-19. Tidak hanya itu, menurut Mitra, banyak pengungsi dari negara asalnya yang langsung menuju negara penerima.

“Jadi tentunya negara penerima tersebut akan mendahulukan orang-orang yang datang langsung ke pintu mereka daripada mengambil resettlement di negara-negara transit seperti Indonesia,” kata Mitra.

Menurut Habib, sebagian besar pengungsi di seluruh dunia saat ini masih tertahan di negara-negara berkembang yang notabene merupakan negara transit. Ia pun mendesak negara-negara maju agar tidak melimpahkan beban (burden shifting) permasalahan pengungsi ke negara-negara berkembang dengan membiarkan selama mungkin para pengungsi di negara transit.

“Tapi perlu diingat, yang daftar antre—yang minta resettlement itu kan bukan hanya Indonesia,” kata Habib.

Berkaca pada kebijakan penerimaan pengungsi oleh negara maju yang dinamis, Habib mengingatkan bahwa resettlement bukanlah solusi akhir untuk mengatasi masalah pengungsian. Selama akar masalah—konflik di negara asal pengungsi—tidak selesai, maka jumlah pengungsi akan terus membeludak.

“Nah, ndilalah faktanya, orang yang bermigrasi mencari perlindungan itu lebih banyak dibanding jumlah yang bisa di-resettled,” ujar Habib.

UNHCR pun menyebut bahwa resettlement bukan hak bagi semua pengungsi. Hal itu tertera dalam sebuah dokumen selebaran yang dirilis tahun 2017.

Bagi Mahdi, permasalahan utama adalah UNHCR tidak cukup terbuka bagi pengungsi lain terkait pelabelan status rentan seorang pengungsi. Selama ini, UNHCR hanya memberi selembar kertas formulir ketika seorang pengungsi mendaftar ke UNHCR. Menurutnya, selembar kertas tidak cukup bagi seorang pengungsi untuk menjelaskan kerentanan yang ia miliki.

“Apakah ia (UNHCR) bisa tahu saya rentan atau tidak, sedangkan mereka tidak mewawancarai saya sama sekali,” ujar Mahdi. “Izinkan saya berbicara, dan kemudian saya biarkan Anda (UNHCR) menilai. Dan Anda dapat menolak saya, tidak masalah.”

Keluhan serupa juga datang dari Hassan. Setiap kali para pengungsi bertanya ke UNHCR terkait kepastian resettlement, jawaban yang mereka terima adalah bahwa UNHCR akan memproses resettlement mereka jika kriteria mereka layak.

“Saya bertanya ke mereka (UNHCR), ‘Bagaimana Anda tahu, jika Anda belum pernah mewawancarai orang itu, jika kasusnya layak untuk resettlement atau tidak?’” kata Hassan. 

“Apabila mereka (UNHCR) mewawancarai pencari suaka, mereka seharusnya sudah memberi hasilnya. Ditolak pun tidak masalah.”

tempo

Tetapi proses wawancara untuk RSD dan resettlement memang memakan waktu. Pertama, bisa diakibatkan kekurangan ketersediaan penerjemah, yang berfungsi membantu proses wawancara jika pencari suaka atau pengungsi hanya dapat berbicara bahasa ibu. 

Kedua, dikarenakan proses asesmen yang dilakukan mendetail untuk memverifikasi keterangan pencari suaka atau pengungsi. Apalagi pengungsi yang ada di Indonesia berasal dari negara yang berbeda-beda, sehingga kasusnya berbeda-beda pula.

Mitra mengakui bahwa jumlah staf UNHCR Indonesia tidak sebanding dengan jumlah pengungsi yang harus ditangani. Hal itu tidak terlepas dari alokasi sumber daya manusia yang menyesuaikan dengan kebutuhan perwakilan UNHCR di tiap negara. Jumlah pengungsi di Indonesia pada Desember 2021 masih jauh lebih kecil dibanding di Malaysia (180.440 orang), Thailand (96.175 orang), dan Bangladesh (889.775 orang)

“Kalau dilihat dibandingkan dengan operasi lain, itu termasuk operation yang dinilai kecil,” kata Mitra.

Para pengungsi Afghanistan di berbagai kota di Indonesia telah berulang kali berdemo menuntut kejelasan nasib mereka. Selain UNHCR, mereka juga berdemo di depan kedubes-kedubes negara penerima pengungsi meminta agar negara-negara tersebut segera menerima mereka.

tempo

Menurut Mitra, penempatan permanen hanya salah satu opsi jangka panjang. Dua opsi lain yang dapat dipilih pengungsi adalah integrasi lokal dan pemulangan sukarela.

“Kalau integrasi lokal ya, di Indonesia opsi tersebut belum ada karena di Indonesia belum ada kerangka hukum yang memungkinkan proses integrasi lokal bisa diimplementasi di negara ini,” ujar Mitra.

Sedangkan untuk pemulangan sukarela, ada dua syarat yang wajib dipenuhi. Opsi pertama adalah, “Kita harus memastikan dulu bahwa penganiayaan atau ancaman atau perang atau konflik yang berada di negara asal mereka itu sudah tidak ada,” kata Mitra.

“Lalu kedua, syaratnya adalah yang bersangkutan itu menyatakan secara volunteer—secara sukarela bahwa mereka mau dipulangkan.” 

Tapi dengan berkuasanya Taliban saat ini di Afghanistan, Hassan, Mahdi, dan Aryan tidak akan memilih opsi itu. Mereka semua skeptis terhadap janji Taliban bahwa kelompok itu akan menjamin keamanan kelompok minoritas dan orang-orang yang mereka anggap musuh di masa lalu. 

Aryan terang-terangan menyebut bahwa dirinya masih trauma dengan Taliban. “Selama aku hidup pun, aku enggak akan balik ke Afghanistan. Karena saat itu aku ketakutan sampai di dalam hati aku masih ada,” kata Aryan.

CREDIT

Pimpinan Proyek

Penulis

Multimedia

Editor

Produser Video

Videographer

Video Editor

Foto

Kontributor

Translator

Penanggung Jawab