Longform

Di Bali, Pekerja Seks ODHA Merana Karena Pandemi

Jum'at, 26 Januari 2022

Pandemi berdampak pada semua sendi kehidupan di Bali yang mengandalkan turis, tidak terkecuali para pekerja di bidang prostitusi dan HIV/AIDS menjadi persoalan pelik lain yang mereka hadapi.

Oleh Made Argawa

tempo

Denpasar – Perempuan paruh baya pengidap HIV/AIDS itu – sebut saja Bunga (54) – tak pernah menyangka dirinya harus kembali terjun ke dunia prostitusi setelah sewindu pensiun. Tekanan ekonomi akibat perceraian dan pandemi Covid-19 memaksa pasien dari klinik pengobatan milik Yayasan Kerthi Praja tersebut mengais rupiah dari pekerjaan lama yang mungkin dapat membahayakan kesehatan dirinya dan orang lain.

Demi menghindari razia aparat, ia dan tiga pekerja seks lainnya pun melakukan praktik prostitusi secara sembunyi-sembunyi. “Sekarang transaksi di media sosial, lewat MiChat,” ujarnya saat ditemui Tempo di kantor Yayasan Kerthi Praja, Denpasar, 11 Januari lalu.

Bersama ketiga rekannya, Bunga menyewa tempat kost di Denpasar yang memiliki empat ruangan dan semuanya menjadi tempat prostitusi. Ia dan seorang temannya tinggal di sana, sedangkan dua yang lain tidak. Bunga menilai kost sekaligus tempatnya bekerjanya itu cukup aman. Apalagi, mereka semua memegang gembok pintu gerbang. Pemiliki kost, kata Bunga, tahu pekerjaan penghuninya.

“Jika di tempat sebelah ada sidak (inspeksi mendadak - red), kami aman. Kan pintu gerbang digembok dari dalam,” ungkapnya. Begitu pun, lanjut dia, jika ada pelanggan di malam hari, mereka bisa leluasa masuk.

Semenjak lokalisasi di Kawasan Sanur sepi akibat terpukul pandemi, praktik prostitusi kini berpindah ke online. Dalam sehari, dia bisa bertransaksi dengan lima pria hidung belang dengan tarif Rp 250 ribu per pertemuan. Sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sejak 2009, dia selalu mewajibkan pelanggannya menggunakan pengaman serta menolak 'tamu' yang masih di bawah umur.

“Jika ketahuan bisa kena tegur,”kata Bunga yang juga penyuluh di Yayasan Kerthi Praja.

Berbeda dengan Bunga, Riana (nama samaran), 28 tahun, justru harus kehilangan pekerjaannya di sebuah tempat karaoke di Denpasar karena pandemi Covid-19. Saat ini, ia mencoba peruntungan dengan berjualan alat kecantikan secara online.

“Saya ketahuan positif pada 2017. Saat itu batuk dalam waktu lama,” ujarnya.

Ia mengaku “nakal” karena sering berganti pasangan dan melakukan hubungan seksual beresiko. Sebagai pemandu lagu di tempat karaoke, Riana seringkali mendapatkan permintaan lebih dari konsumennya yang sebagian enggan menggunakan kondom.

Perempuan asal Medan itu sempat pindah ke beberapa tempat karaoke seperti di Batam hingga Timor Leste, sebelum akhirnya menetap di Bali pada akhir 2019. Saat terindikasi positif HIV/AIDS, ia dirujuk untuk mendapatkan perawatan di Yayasan Kerthi Praja.

Dalam dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 telah memukul bisnis hiburan di Bali. Banyak tempat karaoke yang bangkrut. Kondisi tersebut juga memaksa Sisi (29), asal Banyuwangi, melepas mata pencahariannya sebagai pemandu karaoke. Ibu satu balita itu kini fokus sebagai ibu rumah tangga.

Sisi menjadi ODHA empat tahun lalu setelah menderita sakit dan luka di punggung yang tak kunjung sembuh. Saat Puskesmas memintanya tes darah, hasilnya ternyata positif HIV/AIDS. Menurut dia, bekerja di tempat karaoke membuatnya sulit menolak setiap permintaan plus dari konsumen, termasuk menghindari hubungan yang beresiko tinggi.

Meski dinyatakan positif, Sisi tak terlalu menghiraukan kondisinya. Dia baru rutin berobat setelah “ditemukan” oleh Bunga dan Yayasan Kerthi Praja yang saat itu melakukan sidak di tempatnya bekerja. Saat ini, dia berencana melakukan tes HIV/AIDS pada anaknya yang masih berusia 12 bulan untuk mengetahui apakah tertular atau tidak. “Suami juga rutin cek kesehatan. Hasil tesnya negatif,” pungkasnya.

Transaksi Online Sulitkan Pelacakan HIV/AIDS

Koordinator program penanggulangan HIV untuk pekerja seks perempuan di Yayasan Kerthi Praja, dr Ni Luh Putu Ariastuti, menerangkan pihaknya memang mengalami kesulitan untuk melakukan pendataan pekerja seks perempuan yang melakukan transaksi secara online.

“Lebih sulit mengidentifikasi keberadaan mereka,” ujarnya.

Rumitnya mengakses keberadaan mereka membuat potensi penyebaran HIV/AIDS makin besar. Apalagi, lanjut dokter Putu Ariastuti, pihaknya kini masih mencari strategi untuk menjangkau pekerja seks perempuan online.

“Banyak akun online pekerja seks perempuan tidak dipegang sendiri, ada adminnya,” katanya.

Saat ini, Yayasan Kerthi Praja memiliki 11 petugas lapangan untuk menjangkau pekerja seks perempuan dan 4 orang menjangkau pria yang berhubungan sesama jenis.

Selama pandemi, pihaknya tetap menjalankan layanan pada pekerja seks perempuan ODHA. Pemerintah juga masih memberikan bantuan seperti logistik reagen, ARV dan obat IMS.

Selain itu, Putu Ariastuti berharap pemerintah membuka akses informasi seluas-luasnya, baik secara offline maupun online tentang HIV, alat pencegahan (kondom), tes dan pengobatan yang tersedia. “Sehingga mudah diakses oleh semua komunitas pekerja seks perempuan dan pelanggannya,” ujarnya.

Yayasan Kerti Praja didirikan pada 1 Januari 1992 oleh tiga orang, yakni Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH, Dr.dr. Partha Muliawan, M.Sc (OM) dan Anak Agung Sagung Mas Partini.

Saat ini, ada 1.145 ODHA yang mengakses ARV di Yayasan Kerthi Paraja dan mendapat layanan di klinik WM Medika. Obat yang tersedia di yayasan untuk HIV/AIDS ada sepuluh jenis, yakni TLE, TLD, Duviral, Nevirapine, Efavirenz, Tenofovir, Lamivudine, Lopivia, DTG, Ricovir-EM dan Abacavir.

Putu Ariastuti menjelaskan, penggunaan masing-masing obat berbeda, tergantung dari regimen ARV yang digunakan oleh pasien. Ia mencontohkan, jika pasien mengkonsumsi obat TLE, maka pasien hanya minum obat satu kali sehari pada waktu yang sama tiap harinya. Sedangkan jika pasien menggunakan regimen ARV yang terdiri dari Duviral dan Nevirapine maka pasien harus mengkonsumsi obat tersebut dua kali sehari.

“Selain di Yayasan Kerthi Paraja, layanan HIV/AIDS non-pemerintah juga bisa diakses di Klinik Bali Peduli dan Klinik Bali Medika,” tambahnya.

Tidak Ada Santunan, Tapi Terima Pelatihan

Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali A.A Ngurah Patria Nugraha menjelaskan, jika selama pandemi Covid-19 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Bali mengalami penurunan. Salah satu faktornya adalah sepinya lokalisasi hingga penutupan di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

“Tapi, prostitusi sekarang beralih ke media sosial,” ujarnya.

Ngurah Patria mengatakan, ODHA bukanlah orang yang lemah dan tidak berdaya, tapi mereka bisa menjadi subjek yang berdaya. Selama ini, Dinas Sosial Provinsi Bali dan lembaga swadaya masyarakat secara berkala telah memberikan pelatihan sosial-ekonomi.

“Untuk itu, tidak harus memberikan santunan ekonomi yang menjamin kehidupannya,” ujarnya.

Pelatihan yang dimaksud Ngurah Patria adalah kelompok usaha bersama atau disebut KUBE oleh Dinas Sosial. ODHA mendapatkan pelatihan memelihara ternak untuk dijual kembali, budi daya tanaman serta pelatihan keterampilan. “Dengan kegiatan tersebut diharapkan para ODHA bisa mandiri secara ekonomi dan tidak menjadi beban anggota keluarga lainnya,” ujarnya.

Anggaran Dipangkas, Jaminan Obat Tetap

Selama pandemi, kegiatan KPA Provinsi Bali otomatis berkurang drastis. Sebagai gantinya, mereka lebih banyak melakukan sosialisasi melalui media daring. Ngurah Patria enggan menyebutkan anggaran yang diterima dari Pemerintah Provinsi Bali. Dia hanya menyebutkan bila ada pemangkasan anggaran penanggulangan HIV/AIDS yang cukup besar dalam dua tahun terakhir hingga sekitar 60 persen.

“Jadi, kegiatan turun ke lapangan selama pandemi tidak berjalan,” ujarnya.

Namun, program pencegahan, promosi dan sosialisasi kepada kelompok rentan seperti di desa, sekolah dan perusahaan masih tetap berjalan. Ketersediaan obat Antiretroviral (ARV) bagi ODHA di Bali saat ini juga masih normal. Meskipun, lanjut dia, di awal masa pandemi sempat ada masalah distribusi yang terkendala oleh kebijakan lockdown di negara produsen.

“Untuk stok ARV diupayakan langsung oleh Dinas Kesehatan yang mengacu pada Kementerian,” ujarnya.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan di Pulau Dewata tahun 1987 pada seorang wisatawan asal Belanda yang dirawat di RSUP Sanglah. Tahun lalu, provinsi ini mencatat 25.699 kasus yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.

Kendati tahun ini angkanya turun drastis, kasus penularan HIV/AIDS di Bali cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2011 misalnya, Dinas Kesehatan menemukan kasus sebanyak 21.031 dan pada tahun 2012 naik sekitar 21.511. Angka tersebut terus menanjak pada tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2013 terdapat 29.037 kasus yang terdeteksi, pada 2014 sebanyak 32.711, pada 2015 sekitar 30.353, pada 2016 sebanyak 41.205, pada 2017 tercatat 48.300, pada 2018 sebesar 46.656, pada 2019 ada 50.282 dan tahun 2020 terdapat sekitar 41.987 kasus.

“Jumlahnya masih lumayan banyak. Namun, bedanya, masyarakat sekarang ini sudah sadar untuk periksa. Fasilitas kesehatan pun sudah banyak,” jelas Ngurah Patria.

Provinsi Bali, lanjut dia, masuk enam besar tingkat nasional kasus HIV/AIDS. Peringkat pertama Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Papua. Sebagian besar kasus tersebut ditemukan pada pria 16.174 kasus dan 9.525 kasus pada perempuan.

Data dari KPA Provinsi Bali, untuk usia HIV/AIDS didominasi oleh pasien berusia 25 tahun hingga 49 tahun atau sekitar 70,6 persen. Selain itu, usia 20 tahun hingga 24 tahun sebanyak 15,8 persen. Sisanya sebanyak 7,1 persen ada di usia lebih dari 50 tahun.

Di Bali sendiri, Kota Denpasar menempati urutan pertama jumlah kasus, yakni sekitar 13.754 kasus HIV/AIDS. Urutan kedua disusul oleh Kabupaten Badung mencapai 3.427 kasus. Selanjutnya, Buleleng (3.170 kasus), Gianyar (1.983 kasus), Jembrana (1.134 kasus), Tabanan (1.091 kasus), Karangasem (524 kasus), Klungkung (368 kasus), dan Bangli (248 kasus).

CREDIT

Penulis

  • Made Argawa

Editor

  • Renjani Puspo Sari

Multimedia

  • Krisna Pradipta