Longform

Memupus Dosa, Beroleh Laba

Rabu, 26 Oktober 2021

Sejumlah pihak khawatir bahwa pembelian Newcastle United oleh PIF jadi alat untuk menghapus citra buruk Arab Saudi di bidang HAM.

Oleh Faisal Javier

tempo

Ketika pendukung klub Liga Inggris Newcastle United turun ke jalan merayakan perpindahan kepemilikan klub dari Mike Ashley ke lembaga dana investasi Arab Saudi bernama Public Investment Fund (PIF), pegiat hak asasi manusia (HAM) justru menyuarakan kecaman atas transaksi senilai 300 juta poundsterling alias sekitar Rp 6 triliun itu.

“Seiring musim berlalu, kami berharap para penggemar, pemain, dan staf Newcastle United melihat dengan serius situasi hak asasi manusia di Arab Saudi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Inggris Raya, Sacha Deshmukh pada Jumat, 15 Oktober 2021.

Deshmukh lantas menyebut kasus pelanggaran HAM terbaru oleh rezim Arab Saudi, yakni vonis penjara 20 tahun terhadap seorang pekerja kemanusiaan bernama Abdulrahman al-Sadhan. Al-Sadhan dihukum lantaran cuitan satirnya yang mengkritik kerajaan di Twitter.

Sebelum pembungkaman terhadap kritik al-Sadhan, keluarga Kerajaan Arab Saudi punya segudang catatan kelam terkait HAM. Mulai dari represi terhadap kritik, aktivis perempuan, dan komunitas LGBT; keterlibatan dalam Perang Sipil Yaman; hingga pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018. 

Sebuah survei yang dilakukan komunitas suporter Newcastle terhadap 3.000 fans menyebut 96,7 persen suporter mendukung pembelian klub oleh PIF yang dipimpin Mohammed bin Salman, putra mahkota Arab Saudi. “Survei ini menunjukkan bahwa keinginan untuk perubahan di Newcastle United sangat besar…,” kata Ketua Newcastle United Supporters Trust, Alex Hurst kepada The Independent

Luapan kegembiraan pendukung Newcastle tidak terlepas dari kegerahan mereka terhadap kepemimpinan Mike Ashley. Meski demikian, Hurst menyebut sebagian fans punya kekhawatiran terkait catatan buruk HAM Arab Saudi.

Salah satunya Gavin (27). Ia menduga sebagian suporter merayakan perpindahan kepemilikan klub ke tangan keluarga Kerajaan Arab Saudi karena membayangkan mereka akan mengucurkan dana dalam jumlah besar sehingga Newcastle akan membeli pemain bintang seperti Kylian Mbappe.

Padahal menurut Gavin, selama ini suporter bersuara kritis terhadap catatan buruk hak-hak pekerja di perusahaan milik Ashley. Ia khawatir suara kritis suporter terbutakan kucuran uang pemilik baru untuk mendandani klub. “Agak munafik untuk mengatakan bahwa Anda peduli dengan masalah itu (sportswashing) jika saat ini Anda menyambutnya (pemilik baru) ,” kata Gavin kepada OTB Sports.

Ekspansi Kerajaan Arab Saudi ke dunia sepak bola Inggris ini membuat istilah sportswashing jadi perbincangan khalayak. Peneliti HAM Nicholas McGeehan dalam artikelnya di Open Democracy menjelaskan arti sportswashing, “Ketika seorang individu, kelompok, perusahaan atau negara menggunakan olahraga untuk membersihkan citranya di tingkat global.”

Istilah itu digunakan setiap kali negara otoriter terjun dalam dunia olahraga profesional untuk tujuan politik, bukan olahraga atau komersial. “Klub sepak bola yang dibeli dengan tujuan mencoba mengalihkan perhatian dari pelanggaran hak asasi manusia yang serius bukan hanya Newcastle, dan sportswashing tidak terbatas pada sepak bola …,” kata Deshmukh.

Organisasi HAM Grant Liberty menyebut bahwa Arab Saudi telah menghabiskan US$ 1,5 miliar untuk sportswashing. Pembelian Newcastle bukanlah praktik sportswashing pertama negara ini. Arab Saudi telah menjadi tuan rumah Rally Dakar 2020, berencana menyelenggarakan balap mobil Formula 1 di Jeddah, dan sejumlah kegiatan olahraga lainnya.

CNN menyebut bahwa istilah sportswashing pertama kali dipopulerkan oleh kampanye The Sports for Rights pada 2015. Istilah itu muncul di tengah kecaman kelompok pembela HAM terhadap penyelenggaraan European Games di Azerbaijan. Bagi kelompok pembela HAM, hingar-bingar pesta olahraga terbesar se-benua biru itu dimanfaatkan pemerintahan Presiden Ilham Aliyev untuk menutupi catatan buruk HAM negara di tepi Laut Kaspia itu.

Sebenarnya praktik sportswashing telah berlangsung lebih dari setengah abad. Pada 1936 atau tiga tahun sebelum Perang Dunia II meletus, Jerman yang saat itu dipimpin Adolf Hitler menyelenggarakan Olimpiade di Berlin. Dua tahun sebelumnya, Piala Dunia berlangsung di Italia, yang saat itu dipimpin Benito Mussolini. 

Laman Wikipedia juga menyebut praktik sportswashing pernah dilakukan oleh Indonesia di era kepemimpinan Soeharto. Yakni dengan menyelenggarakan balapan motor MotoGP di Sirkuit Sentul pada tahun 1996 dan 1997.

Menurut pengamat, investasi Kerajaan Arab Saudi sebenarnya juga bukan hanya untuk membersihkan citra buruk negara itu.

“Mereka sedang mencoba melepaskan ketergantungan ekonomi dari pendapatan gas dan minyak,” kata ahli keuangan sepak bola Emlyon Business School, Profesor Simon Chadwick kepada BBC.

Upaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap ekspor migas ini tertuang dalam Visi 2030 Arab Saudi. Dalam visi ini, industri olahraga memang jadi salah satu ladang pendapatan baru incaran negara ini.

Sebelum keluarga Kerajaan Arab Saudi membeli Newcastle melalui PIF, negara-negara tetangganya di Timur Tengah telah terlebih dahulu menanam uang mereka di sepak bola Eropa. Keluarga Keemiratan Abu Dhabi, UEA menguasai kepemilikan klub Inggris Manchester City melalui City Football Group. Perusahaan itu juga menguasai klub Melbourne City di Australia, New York City di AS, dan sejumlah klub sepak bola di negara lain. Kemudian Keemiratan Qatar melalui Qatar Sports Investments (QSI) menguasai penuh saham klub Prancis PSG.

Jurnalis Inggris Catherine Belton dalam bukunya Putin's People: How The KGB Took Back Russia And Then Took On The West menyebut orang nomor satu Rusia Vladimir Putin berada di balik pembelian klub Chelsea oleh taipan Roman Abramovich. Namun Abramovich membantah tuduhan itu dan menuntut Belton dan penerbit HarperCollins ke pengadilan Inggris atas pencemaran nama baik.

Sesuai definisinya, praktik sportswashing tidak eksklusif dilakukan negara, tetapi juga oleh korporat. Perusahaan kimia multinasional asal Inggris, Ineos, dituding melakukan sportswashing saat mengakuisisi tim balap sepeda Team Sky pada 2019, yang kemudian diubah namanya menjadi Ineos Grenadiers. 

Pada tahun 2016, perusahaan ini didakwa bersalah karena membuang bahan kimia sodium hidroksida ke kanal Manchester. Perusahaan ini juga memiliki catatan buruk di bidang kesejahteraan buruh seperti upah rendah dan penghentian skema dana pensiun pekerja pada 2008.

Selain berfungsi “membersihkan” citra negara di dunia internasional, sportswashing juga menyimpan potensi keuntungan ekonomi bagi pemilik modal. Dalam laporan The European Champions Report 2020 yang dirilis KPMG Sports Advisory Practice, pada musim 2018/2019 Manchester City mencatatkan keuntungan setelah pajak sebesar 11,4 juta euro atau sekitar Rp 190 miliar. 

Sementara PSG pada musim yang sama mendapatkan keuntungan bersih setelah pajak sebesar 28,5 juta euro atau Rp 475,5 miliar. Namun di musim berikutnya PSG mencatatkan kerugian bersih setelah pajak 125,8 juta euro atau Rp 2,1 triliun yang diakibatkan efek pandemi Covid-19 yang mewabah saat pertengahan musim berlangsung.

Ketika membeli 70 persen saham PSG pada 2011 dan sisanya pada 2012, QSI mengeluarkan modal sebesar US$ 131,15 juta atau Rp 1,9 triliun berdasarkan kurs hari ini. Forbes mencatat pada April 2021, nilai jual PSG sebesar US$ 2,5 miliar atau Rp 35,6 triliun. Angka itu mengalami kenaikan sebesar 129 persen dalam dua tahun.

CREDIT

Penulis

  • Faisal Javier

Editor

  • Moerat Sitompul

Multimedia

  • Krisna Pradipta