Longform

Kritiklah Daku, Kau Kubungkam

Jum'at, 08 Oktober 2021

Aktivis jadi sasaran empuk pembungkaman, yang sebagian besar justru dilakukan oleh aktor negara. Pengamat bilang pembungkaman tidak bisa dilepaskan dari konteks kebijakan ekonomi politik pemerintah.

Oleh Faisal Javier

tempo

Berawal dari diskusi, berujung laporan polisi. Itulah yang menimpa pengacara hak asasi manusia (HAM) sekaligus Direktur Lokataru, Haris Azhar, dan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti. 

Keduanya dilaporkan ke polisi oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan pada 22 September 2021. Luhut melalui kuasa hukumnya Juniver Girsang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas tuduhan pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan itu. 

Dugaan tindak pidana itu ada dalam video berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” di akun Youtube Haris Azhar. Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil bertajuk “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.

Hasil riset sejumlah organisasi, seperti KontraS, Walhi, Jatam, YLBHI, dan Pusaka menemukan bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI AD di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua. Fatia menyebut ada sejumlah perusahaan yang bermain tambang di kawasan tersebut, termasuk PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki Luhut.

Selain Luhut, ada juga Moeldoko, pejabat pemerintahan Presiden Jokowi lainnya, yang menggunakan UU ITE untuk melaporkan aktivis. Moeldoko melaporkan dua peneliti ICW, Egi Primayogha dan Miftahul Choir, terkait hasil riset lembaga tersebut tentang dugaan kedekatan dirinya dengan petinggi PT Harsen Laboratories yang memproduksi Ivermectin. Kedekatan itu ditengarai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Pasal karet dalam UU ITE memang menjadi salah satu senjata andalan untuk melaporkan para aktivis,. Pada tahun 2020, Perkumpulan Pembela Kebebasan Berpendapat Asia Tenggara (SAFEnet) mencatat bahwa terjadi pemidanaan aktivis dengan UU ITE sebanyak 15 kasus, terbanyak kedua setelah warga. Jumlah itu meningkat dari catatan di tahun 2019 sebanyak 5 kasus. 

Serangan terhadap Aktivis

Dalam laporan yang disusun KontraS bersama dengan Forum Asia untuk HAM dan Pembangunan (FORUM-ASIA), para aktivis—yang disebut pembela HAM—masih rentan mendapat ancaman, teror, dan serangan dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan data yang dikumpulkan KontraS sejak Januari 2019 hingga Mei 2021, jumlah pelanggaran terhadap pembela HAM mencapai 329 kasus, dengan jumlah korban 2.705 orang, baik tewas, luka-luka, ditangkap, dan lainnya.

Di tahun 2019, jumlah pelanggaran terhadap kerja pembela HAM mencapai 157 kasus. Jumlah itu terdiri dari pembubaran aksi secara represif, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, kriminalisasi serta intimidasi. Aktor dominan dalam pelanggaran itu adalah polisi sebanyak 121 kasus, pihak swasta 21 kasus, pemerintah 20 kasus, dan TNI 6 kasus. Mahasiswa dan pelajar yang turun dalam Aksi Reformasi Dikorupsi pada tahun itu jadi korban dominan, dengan 79 kasus.

Kemudian di tahun 2020 jumlah kasus pelanggaran terhadap pembela HAM sebesar 129 kasus. Sebagian besar dalam bentuk pembubaran paksa sebanyak 53 kasus, dan penangkapan sewenang-wenang sebanyak 41 kasus. 

Sedangkan di lima bulan awal tahun 2021, KontraS telah mencatat 43 kasus pelanggaran terhadap pembela HAM, sebagian besar didominasi pembubaran paksa sebanyak 19 kasus. Secara umum kekerasan terjadi lantaran dalih aturan selama pandemi dan penegakan protokol kesehatan.

Selain pasal karet UU ITE, terdapat peraturan perundang-undangan lain yang digunakan dalam mengkriminalisasi aktivis. Manajer Advokasi Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Muhammad Busyrol Fuad menyebut terdapat UU lain yang secara tidak terduga digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis lingkungan seperti dalam temuan ELSAM.

Fuad menyebut bahwa selama ini UU yang umumnya digunakan untuk mengkriminalisasi para aktivis lingkungan selain UU ITE adalah UU No.39/2014 tentang Perkebunan, dan UU No.18/2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Namun terkadang polisi juga menggunakan UU lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan kegiatan para aktivis lingkungan.

Ia mencontohkan kasus kriminalisasi yang menimpa Manre (55), nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan, yang menolak penambangan pasir laut oleh Kapal Queen of The Netherlands, milik Royal Boskalis Westminster N.V, perusahaan asal Belanda. Ia ditangkap pada 14 Agustus 2020, kemudian oleh Polda Sulsel ia dikenakan Pasal 25 ayat (1) UU No.7/2011 tentang Mata Uang. Hal itu merupakan buntut dari aksinya merobek amplop pemberian perusahaan yang ternyata berisi sejumlah lembar uang rupiah saat rapat dengar pendapat dengan DPRD Sulsel.

“Ada juga dalam konteks sama di Indramayu … ternyata UU Lambang Negara bisa digunakan untuk menjerat. Konteksnya karena hanya warga mengibarkan bendera merah putih terbalik itu bahkan ada vonis pengadilan, padahal masyarakat sedang (dalam) protes penolakan pembangunan PLTU,” lanjut Fuad mencontohkan kasus kriminalisasi 3 warga penolak pembangunan PLTU di Indramayu, Jawa Barat pada 2017.

Selain itu ia juga mencontohkan kriminalisasi terhadap aktivis penolak tambang emas di Gunung Pitu, Banyuwangi, Jatim, Budi Pego pada 2017. Saat itu Budi dituduh mengibarkan spanduk bergambar palu arit saat aksi menolak tambang emas yang dijalankan PT. Bumi Suksesindo, anak usaha PT Merdeka Copper Gold Tbk. 

Budi dijerat pasal 107 huruf a UU No.27/1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Pasal ini berbunyi bahwa mereka yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya dipidana penjara paling lama 12 tahun. Namun saat persidangan, barang bukti spanduk bergambar palu arit seperti yang diklaim polisi tidak dihadirkan.

Selain itu, para aktivis juga rentan mengalami serangan digital. Contoh sejumlah serangan digital yang terjadi adalah peretasan, penyadapan, dan penyebarluasan identitas (doxing).

SAFEnet dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2020 menyebut bahwa serangan digital pada tahun 2020 paling banyak menyasar kelompok kritis seperti jurnalis, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil, dengan proporsi 44,6 persen. 

Puncak serangan digital terjadi pada bulan Oktober, yakni sebanyak 41 kasus, lebih dari 3 kali lipat rata-rata kasus per bulan. Di sisi lain, temuan itu berkorelasi dengan momen isu politik nasional yang memanas. 

“Puncak serangan pada Oktober 2020 terjadi karena banyaknya penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja,” seperti dikutip dari laporan itu. “Begitu pula dengan masifnya serangan pada Juni 2020 karena munculnya gerakan menolak diskriminasi rasial terhadap orang Papua dan serangan pada Agustus 2020 terhadap pengkritik penanganan pandemi Covid-19.”

Pelaku Utama Pembungkaman Aktivis: Negara

KontraS melaporkan bahwa negara masih merupakan aktor utama dalam kasus pelanggaran terhadap pembela HAM. Polisi mendominasi jumlah kasus pelanggaran terhadap pembela HAM berupa tindakan, meski KontraS tidak menyertakan jumlahnya. 

Ada pula keterlibatan swasta dalam kasus pelanggaran terhadap pembela HAM, yang berkaitan dengan konteks agenda pemerintah mengamankan kegiatan investasi. Namun, KontraS lagi-lagi tidak menyertakan data angka kasus. 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyediakan data yang dapat menggambarkan kasus pelanggaran terhadap pembela HAM. Dalam Laporan Hukum dan Hak Asasi Manusia Yayasan LBH Indonesia Tahun 2020, YLBHI mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil di seluruh Indonesia. 

Hak sipil dimaksudkan sebagai perlindungan dan jaminan kesetaraan setiap orang untuk tidak didiskriminasi oleh pemerintah. Sementara kebebasan sipil diartikan sebagai perlindungan setiap orang dari intervensi atau pembatasan pemerintah terhadap hak asasi dan kemerdekaan dasar, termasuk hak berekspresi, hak berkumpul, hak berserikat, dan hak-hak mendasar lainnya.

Terdapat lima jenis pelanggaran hak dan kebebasan sipil menurut YLBHI, yakni pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan; pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui demonstrasi; pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital; pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi; serta pelanggaran terhadap data pribadi.

Sebagian besar pelaku dari pelanggaran tersebut menurut YLBHI adalah aktor negara, yakni kepolisian, meski ada pula keterlibatan militer, yakni sebanyak 48,16 persen. Kemudian ada pula kehadiran dalam porsi kecil dari institusi non-negara seperti institusi pendidikan dan ormas tertentu, sebanyak 28,09 persen.

Pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan menjadi jenis pelanggaran yang mendominasi kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil sepanjang 2020, yakni 26 persen. YLBHI menyebut tindakan represif kepolisian terhadap massa aksi menolak Omnibus Law jadi momen penting pelanggaran hak dan kebebasan sipil di tahun 2020.

“... melalui Surat Telegram Rahasia Nomor STR/645/X/PAM.3.2/2020, kepolisian memberikan instruksi kepada seluruh jajaran aparat kepolisian di seluruh Indonesia untuk melakukan deteksi dini...,” seperti dikutip dari laporan itu, “...melakukan kerja-kerja intelijen dengan membangun kontra narasi isu-isu tolak Omnibus Law, serta menghalau upaya aksi massa yang melakukan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.”

Selain pembungkaman terhadap aksi menolak Omnibus Law, momen pelanggaran lain yang disebut dalam laporan itu adalah pembungkaman kritik masyarakat terhadap kebijakan penanganan Covid-19. Polri menerbitkan Surat Telegram Rahasia No. ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 yang bertujuan mempidanakan kritik di medsos terkait Covid-19 dengan UU ITE. 

Ketidakhadiran negara dalam penanganan kasus pelanggaran terhadap pembela HAM turut mendapat sorotan dari KontraS. Dalam kasus kekerasan yang dilakukan aparat, tidak ada penegakan hukum yang akuntabel dan berkeadilan. Pelaku kekerasan hanya menjalani mekanisme internal berupa sidang etik dan disiplin, bahkan dilepas begitu saja dari hukuman.

Menurut KontraS sejauh ini masih belum ada peraturan perundang-undangan yang dengan tegas melindungi pekerjaan advokasi pembela HAM. Satu-satunya undang-undang (UU) yang tegas menjamin perlindungan dari kriminalisasi aparat adalah Pasal 66 Pengelolaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menyebut, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana atau mendapat gugatan perdata.

Faktanya, masih terdapat jurang antara aturan dengan praktik di lapangan. Salah satu kasus kriminalisasi pejuang lingkungan yang mendapat sorotan KontraS adalah penangkapan sewenang-wenang terhadap tokoh adat Desa Kinipan, Effendi Buhing, oleh Polda Kalimantan Tengah pada Oktober 2020. Ia ditangkap dengan tuduhan mencuri gergaji mesin. 

“Padahal penangkapan tersebut tentu berkaitan dengan sengketa lahan hutan antara masyarakat adat Kinipan dengan PT Sawit Lestari Mandiri,” kata KontraS.

Hal serupa juga terjadi pada jurnalis. Meski dalam tugasnya jurnalis dilindungi oleh UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Pers, tetapi di lapangan masih ada jurnalis belum mendapat perlindungan memadai. KontraS menyoroti kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi pada Maret 2021. Nurhadi jadi korban kekerasan saat sedang berusaha mewawancarai tersangka kasus suap pajak, Angin Prayitno Aji, pada acara pernikahan anak tersangka di Surabaya.

Negara juga dinilai lepas tangan dalam kasus serangan digital terhadap para aktivis. Berbagai kasus serangan digital terhadap aktivis seringkali berakhir tanpa proses penyelesaian yang berkeadilan karena pelakunya dibiarkan lepas.

“Kondisi yang menimpa pembela HAM sejauh ini, semakin membuktikan bahwa negara masih gagal memberikan perlindungan,” tulis KontraS. 

Berkelindan dengan Kepentingan Pemodal

Penulis buku Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto sekaligus Profesor Kajian Wilayah Asia University of Melbourne, Vedi Hadiz menyebut bahwa pembungkaman aktivis tidak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi politik Indonesia di bawah Presiden Jokowi. Kebijakan ekonomi yang mengandalkan industri ekstraktif sumber daya alam, membutuhkan penggunaan kekerasan untuk melindungi kepentingan pemodal.

“... hampir pasti bahwa kegiatan banyak pegiat hak asasi manusia dan lingkungan hidup dipandang sebagai ‘target’ karena berpotensi mengganggu proses akumulasi modal,” kata Vedi melalui surat elektronik kepada Tempo.co.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebelum Pemilu 2019 menerbitkan kajian tentang keberadaan para oligarki—elit dalam jumlah kecil—pengusaha tambang di balik dua pasangan calon Pilpres saat itu. Dukungan mereka terhadap masing-masing paslon tidaklah gratis. 

“Sebagai timbal baliknya, mereka akan diberikan keamanan investasi dan izin untuk mengeksploitasi kekayaan alam, ruang hidup rakyat,” seperti dikutip dari kajian tersebut. 

Vedi menyebut, kehadiran koalisi masyarakat sipil hari ini masih belum signifikan dalam memberi tekanan pada negara.Ia melihat masyarakat sipil hari ini berupaya mengegolkan agenda mereka dengan cara menekan negara melalui media atau mengharapkan pengaruh aktor dalam negara yang punya perhatian terhadap penyalahgunaan kekuasaan tidak 

“Tetapi kemungkinan itu (perubahan kebijakan -red) cukup kecil mengingat kepentingan akumulasi modal yang mendominasi pembuatan kebijaksanaan, termasuk di sektor industri ekstraktif,” kata Vedi.

Vedi juga melihat bahwa koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari gabungan aktivis lintas lembaga swadaya masyarakat (LSM) masih bersifat longgar dan tidak memiliki analisis dan strategi jangka panjang. Gerakan yang ada hari ini juga tidak berlandaskan pada program bersama yang berkesinambungan, karena pada dasarnya mereka punya kecenderungan untuk terkotak-kotakan.

“Selain itu, basis sosial pada masyarakat yang lebih luas juga terbatas, sehingga daya tawar pada negara juga terbatas—sehingga kurang dianggap serius,” lanjut Vedi.

Ia melihat hingga hari ini, koalisi masyarakat sipil yang ada masih melempem. Perbedaan kelas antar aktivis serta perbedaan lingkungan sosial membuat aktivis lintas isu sulit menjalin kerja sama yang strategis. 

“Tanpa aliansi yang solid seperti ini, aktivis NGO rentan untuk dikooptasi,” kata Vedi.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia