Gerobak besar itu selalu terparkir di depan rumah Aminah, Kampung Gedong Pompa, RT 20/RW 017, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Aminah beberapa kali membantu ibunya mendorong gerobak untuk mengangkut air bersih setiap hari tahun 2001. Saat itu tak ada pilihan lain untuk bisa memperoleh air bersih.
“Saya pinter, bisa dorong gerobak, karena memang harus. Kalau misalkan tidak dorong, kami tidak dapat air bersih untuk masak dan lain-lain,” kata dia saat ditemui Tempo di kampungnya, Gedong Pompa, Jumat, 19 Mei 2023.
Kampung Gedong Pompa adalah salah satu wilayah di pesisir Jakarta yang mengalami krisis air bersih. Sedari kecil, Aminah tidak bisa menikmati air mengalir masuk ke rumahnya. Setiap penghuni kampung harus kerja ekstra agar kebutuhan air terpenuhi.
Dulu, kualitas air kali di situ masih lumayan. Sebagian warga memanfaatkan air kali terdekat untuk cuci baju. Aktivitas ini kerap dilihat Aminah saat pertama pindah ke Kampung Gedong Pompa tahun 1982. Waktu itu, usianya baru menginjak tiga tahun.
“Sekarang udah enggak bisa (cuci baju). Airnya udah bau,” kata perempuan berusia 44 tahun ini.
Kampung Gedong Pompa berlokasi persis di belakang Waduk Pluit dan Rumah Pompa Waduk Pluit. Total ada 800 kepala keluarga, kira-kira 1.600 penduduk, di kampung yang berdiri sejak 1960-an itu. Posisi rumah warga terbagi menjadi dua.
Pertama, hunian yang berdiri persis di atas laut dan pojokan Kampung Gedong Pompa. Biasanya disebut Kampung Pojok, Muara Baru. Kedua, rumah padat penduduk saling dempet yang terbangun di atas tanah Kampung Gedong Pompa. Posisi kampung ini lebih rendah dari Kampung Apung.
Dahulu para penghuni kampung harus membeli air bersih yang diperjualbelikan seharga Rp 2.500 per pikul. Satu pikul terdiri dari dua jeriken air, masing-masing berukuran 20 liter. Untuk mempermudah, keluarga Aminah mengangkut dua jeriken ini dengan gerobak.
Hingga akhirnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menawarkan pemasangan pipa jalur air bersih ke rumah warga. Jasa pemasangannya sebesar Rp 500 ribu. Akan tetapi, “Enggak ada hasilnya, tetap dorong (gerobak) juga,” ujar Aminah.
Ketua RT 20 Kelurahan Penjaringan Nurrohman mengatakan pipa air yang dipasang Palyja, rekanan Pemprov DKI dalam penyaluran air bersih, di wilayahnya sudah tak berfungsi sejak lebih dari 20 tahun sampai kini. Warga pun terpaksa membeli air secara mandiri.
Harganya yang dulu Rp 2 ribuan kini naik dua kali lipat menjadi Rp 4.500 per pikul. Volume air yang diperdagangkan, Nurrohman menyebut, tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan warga.
“Terkecuali air PAM sudah teralirkan di setiap rumah. Itu baru tidak krisis lagi,” ucap Ketua RT dua periode ini.
Dari pantauan Tempo, tumpukan jeriken atau tandon air banyak teronggok di depan rumah warga Kampung Gedong Pompa. Hampir tiap rumah tampak jeriken untuk menampung air yang dibeli.
Sebagian warga juga menggali sumur atau memasang pompa air, salah satunya paman Rian. Rian bercerita, dirinya menumpang mandi di rumah pamannya setiap hari. Laki-laki 18 tahun itu berusaha menghemat air bersih yang dibeli orangtuanya.
“Cuma kurang bersih juga sih, bau kayak besi berkarat,” katanya.
Sebelum memutuskan pulang ke Ibu Kota, Rian menempuh pendidikan di Pondok Pesantren, Bogor, Jawa Barat. Buruknya kualitas air di kawasan utara Jakarta sempat membuat tubuhnya gatal-gatal ketika pertama kali tiba di Jakarta. Kini, tutur dia, dia sudah terbiasa.
Bersiap kekeringan meluas
Salah satu peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Heru Santoso, menyampaikan krisis air di Pulau Jawa terancam meningkat akibat perubahan iklim. Dia mengacu pada hasil studi Intergovernmental Panel in Climate Change (IPCC) yang keenam atau IPCC AR6 (Sixth Assessment Report).
Curah hujan rata-rata di Indonesia diproyeksikan menurun dalam kurun waktu 2070-2100. Volume curah hujan yang paling banyak tereduksi kemungkinan terjadi di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dan akan berimplikasi pada kekeringan. Kondisi ini bisa semakin parah akibat faktor cuaca ekstrem yang kini cenderung meningkat.
“Jadi, curah hujan ekstrem akan semakin meningkat dengan perubahan iklim,” tutur dia saat dihubungi pada pertengahan Mei 2023.
Dia menambahkan suhu panas di Jakarta cenderung lebih tinggi. Fenomena itu wajar mengingat Jakarta sebagai wilayah urban dengan tingkat kompleksitas tinggi. “Temperatur (suhu) meningkat makin tinggi, sehingga air cenderung akan lebih defisit,” jelas Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN ini.
Jawa, Sumatera dan Kalimantan
diperkirakan mengalami penurunan curah hujan, sebesar:
20-30%
Subkoordinator Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto memaparkan bahwa masifnya urbanisasi di Jakarta berdampak pada kesetimbangan radiasi energi matahari wilayah perkotaan yang dapat menciptakan fenomena kubah panas perkotaan atau disebut urban heat island.
Alhasil, suhu udara permukaan Jakarta lebih panas ketimbang wilayah lain atau pedesaan. Urbanisasi di Ibu Kota tampak dari banyaknya pembangunan gedung bertingkat, perubahan guna lahan yang mengurangi ruang terbuka hijau (RTH), betonisasi, dan pengerasan permukaan.
Setiap permukaan benda yang menerima pancaran energi radiasi akan menyerap dan meneruskan panasnya. Panas itu akan dipantulkan kembali ke atmosfer. Rasio energi yang diterima dan dikeluarkan ini disebut sebagai kesetimbangan radiasi energi atau radiative energy balance.
Dalam penelitiannya, Siswanto menemukan, suhu udara permukaan yang memanas satu derajat celcius berhubungan dengan lonjakan ekstremitas hujan hingga 14 persen akibat meningkatnya kandungan uap air di atmosfer. Angka tersebut diperoleh dari analisis data pengamatan suhu dan hujan di Jakarta selama lebih dari 100 tahun, sejak zaman penjajahan Belanda pada 1866 hingga 2010.
Peningkatan ekstremitas curah hujan 14 persen ini lebih tinggi dari apa yang ditemukan peneliti di negara lain, seperti Jepang, Amerika, dan Eropa. “Jadi, (kenaikan ekstremitas hujan di Jakarta) dobel dari analisis penskalaan suhu dan hujan ekstrem yang serupa yang sudah kita ketahui selama ini untuk wilayah lintang tinggi,” ujar dia.
Singkatnya, pengalihan fungsi guna lahan Jakarta dari ruang terbuka hijau (RTH) menjadi gedung dan bangunan, akan mengubah karakteristik fisis permukaan dan atmosfer.
Dia menganalogikan udara Jakarta seperti air yang dimasak di dalam ketel. Jika volume api dinaikkan, maka air yang dipanaskan itu akan semakin cepat bergolak. Demikian juga dengan atmosfer udara bakal bergejolak apabila permukaan tanah dan suhu udara kian panas.
“Awan-awan makin tumbuh tinggi, berkembang lebih cepat, maka kemudian menurunkan hujan yang makin ekstrem,” terangnya.
Penelitian terbaru Siswanto juga mengungkap fakta bahwa hujan di Jakarta akan semakin intens, tapi berdurasi pendek (1-3 jam atau kurang dari tiga jam). Intinya, ketika hujan mengguyur, intensitas curah hujan bakal tinggi dan terjadi dalam kurun waktu singkat. Fenomana ini, lanjut dia, sudah terjadi dan cenderung berulang sebagai manifestasi dari perubahan iklim.
Di sisi lain, banyak wilayah Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan tahunan, khususnya saat musim kemarau. Itu artinya, ke depan, pasokan air yang berasal dari hujan lebih terbatas. Karena itulah, Siswanto memperkirakan, kondisi Jakarta akan semakin basah (banjir) saat musim hujan, tapi kering (krisis air) ketika musim kemarau.
“Ini sesuai dengan paradigma dalam perubahan iklim terkait dengan parameter curah hujan, di mana para ahli perubahan iklim sering menyatakan bahwa area-area yang memiliki karakteristik curah hujan itu, akan mengalami kondisi the wet gets wetter, the dry gets dryer,” papar dia.
Dalam laporan IPCC AR6 termaktub bahwa emisi gas rumah kaca terus meningkat, sehingga tantangan dunia untuk menjaga panas suhu global tidak melebihi 1,5 derajat selsius semakin besar. Pemanasan global saat ini diperkirakan telah melewati 1,1 derajat selsius akibat pembakaran bahan bakar fosil dan energi serta penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan. Alhasil, intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem akan meningkat.
Dampaknya adalah curah hujan tinggi atau cuaca ekstrem lainnya tak bisa lagi dicegah. Krisis pangan dan air pun diperkirakan meningkat seiring dengan bertambah panasnya suhu global.
Laporan IPCC AR6 juga menyoroti lebih dalam soal kerugian dan kerusakan eksisting bakal berlanjut di masa mendatang. Mereka yang terdampak adalah masyarakat dan ekosistem rentan.
“Hampir sebagian dari populasi di dunia tinggal di daerah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dalam dekade terakhir ini, kematian akibat banjir, krisis air bersih, dan badai 15 kali lebih sering di daerah sangat rentan,” papar satu dari total 93 penulis Laporan Sintesis IPCC AR6, Aditi Mukherji.
Risiko-risiko ini akan sulit diatasi apabila muncul kejadian lain, seperti pandemi atau konflik.
Anak-anak jadi korban
Di Kampung Gedong Pompa, belasan tahu banjir akibat limpasan rob dari pasang naik air laut terjadi hampir tiap hari. Lisdawati masih ingat betul bagaimana banjir membuat rumahnya terendam hingga setinggi dada orang dewasa. Semua warga, terutama anak-anak jadi korban.
Tiap kali banjir menerjang, warga dan anak-anak tak bisa membersihkan diri, rumah dan lingkungan karena tak ada air bersih. Anak-anak harus menunggu seharian supaya kebagian air bersih.
“Anak-anak gatel karena enggak ada persiapan air bersih juga,” kata Lisdawati saat ditemui Tempo, Minggu, 4 Juni 2023.
Ibu sembilan anak ini menceritakan rob sangat sering terjadi karena posisi kampung persis di samping laut. Kalau hari ini surut, esoknya air laut akan kembali pasang dan kembali masuk rumah.
Oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, waktu itu dipimpin Gubernur DKI Joko Widodo alias Jokowi, persoalan diatasi dengan meninggikan tanggul laut. Sejak saat itu, tutur Lisdawati, banjir besar jarang jadi ancaman.
Tetapi krisis air bersih terus berlanjut. Pernah, kisah Lisdawati, warga sekampung Gedong Pompa mengandalkan satu sumur untuk memperoleh air bersih. Warga menunggu giliran mengambil air kadang sampai pukul 03.00 WIB. Untuk membeli air, lokasinya jauh.
Air sumur ini hanya dipakai membersihkan kamar mandi, kata Lisdawati. Kualitasnya sangat buruk – lengket kalau dipakai untuk mandi. Jika terpaksa memandikan anak dengan air sumur, bocah harus tetap dibilas air bersih yang dibeli. “Boros kan,” ujar warga asal Makassar ini.
Sekian belas tahun berlalu, krisis air bersih masih berlangsung di Kampung Gedong Pompa. Bedanya, kini warga lebih mudah membeli air. Ada tetangga yang menjual air dengan membawakan langsung jeriken air ke rumah pemesan. Sebaliknya ada juga pembeli yang harus datang membeli ke lokasi penampungan air.
Lisdawati biasanya merogoh kocek Rp 25 ribu per hari untuk membeli lima pikul air. Warga lain seperti Emi, biasanya perlu satu tandon air bersih senilai Rp 130 ribu. Sementara tiap air galon air bersih dibanderol Rp 7 ribu. “Di sini air mahal,” ujar Emi kecut.
Organisasi nirlaba, United Nations Children’s Fund (UNICEF), mencatat anak Indonesia adalah salah satu kelompok yang akan menghadapi risiko perubahan iklim. Kesimpulan ini merujuk pada laporan global berjudul The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index.
Perwakilan UNICEF Indonesia, Debora Comini, menyebut Indonesia masuk dalam 50 besar negara teratas di dunia dengan risiko anak terpapar dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Laporan tersebut menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-46. Dalam lingkup yang lebih kecil, Indonesia menduduki peringkat keenam se-Asia Tenggara.
“Krisis iklim adalah krisis hak anak,” ujar Debora dilansir dari situs unicef.org.
Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat jumlah penduduk Ibu Kota mencapai 10,74 juta pada 2022. Jumlah ini meningkat ketimbang dua tahun sebelumnya, yaitu 10,64 juta (2021) dan 10,56 juta (2020).
Mengacu pada standar World Health Organization (WHO), batas usia anak-anak adalah 0-19 tahun. Jumlah warga Jakarta yang masuk usia anak ini menyentuh 3.214.604 orang atau kira-kira 30 persen dari total penduduk.
Sementara itu, dalam hal air bersih jangkauannya saat ini belum mampu melayani seluruh warga Jakarta. Jaringan perpipaan air bersih dari PAM Jaya baru bisa diakses 65 persen warga. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat perlunya pasokan air 31.875 liter per detik guna mengalirkan air minum perpipaan kepada 100 persen warga Jakarta pada 2030.
Urgen aksi nyata
Ketua Subkelompok Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rina Suryani membenarkan dampak perubahan iklim tampak nyata di Ibu Kota. Buktinya, cuaca Jakarta kini tak menentu. Panas di Ibu Kota tak terelakkan, bahkan ketika mendung.
“Jadi itulah salah satu yang menjadi gambaran dari adanya perubahan iklim,” ujar dia saat wawancara daring dengan Tempo, Selasa, 23 Mei 2023.
Rina membeberkan perubahan iklim tersebut dipicu tiga sektor, yakni energi, limbah, dan Forestry and Other Land Uses (FOLU). Kontribusi terbesar emisi gas rumah kaca berasal dari sektor energi dengan persentase hampir 90 persen. Energi yang dimaksud adalah aktivitas industri dan transportasi.
Untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang lebih besar, Pemerintah Provinsi DKI telah membuat langkah mitigasi dengan mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Nomor 90 Tahun 2021. Pergub ini membahas tentang rencana pembangunan rendah karbon daerah yang berketahanan iklim.
Dalam Pergub yang diteken mantan Gubernur DKI Anies Baswedan pada 8 Oktober 2021 itu terangkum 11 aksi mengatasi dampak perubahan iklim pada lima sektor. Salah satunya pengelolaan air resapan tanah yang diharapkan bakal mengatasi potensi kekeringan.
Tak hanya itu, Pemprov DKI juga telah mengurangi jumlah pengambilan air tanah melalui perizinan bangunan. Pembatasan ini didukung dengan Peraturan Gubernur DKI Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah.
Pergub itu mengatur sasaran zona bebas air tanah. Bangunan yang memiliki luas lantai 5 ribu meter persegi atau lebih dengan total delapan lantai atau lebih dilarang memanfaatkan air tanah mulai 1 Agustus 2023. Kebijakan ini tidak berlaku apabila pengelola gedung perlu mengeruk tanah untuk kegiatan konstruksi dewatering.
Dewatering adalah suatu pekerjaan untuk mengendalikan air tanah atau permukaan menggunakan pompa. Pekerjaan ini dimaksudkan agar tidak mengganggu pekerjaan konstruksi di dalam tanah dan bawah muka air tanah.
Upaya lain mengatasi krisis air bersih di Jakarta adalah mengimplementasikan Program Kampung Iklim (ProKlim) yang diinisiasi pemerintah pusat. Menurut Rina, hingga kini, ProKlim sudah berjalan di 254 rukun warga (RW) lima kota dan satu kabupaten DKI.
Warga yang menghuni di wilayah ProKlim tersebut perlu menjalankan sejumlah upaya peduli lingkungan, mulai dari pengolahan sampah hingga air. Misalnya, membangun penampung air hujan (PAH). Infrastruktur ini berguna untuk menampung air saat hujan turun. Dengan begitu, warga bisa memanfaatkan air hujan saat kemarau.
“Upaya yang dilakukan lebih kepada bagaimana kami membuat masyarakat lebih aware, lebih tahan (sustainable), karena memang targetnya adalah membangun masyarakat yang berketahanan iklim,” papar Rina.
Mengacu pada laporan IPCC AR6, rencana mitigasi dan apa yang sudah dilakukan dunia saat ini tidak cukup untuk mengatasi perubahan iklim. “Laporan Sintesis ini (IPCC AR6) menggarisbawahi urgensi untuk melakukan aksi nyata yang lebih ambisius, jika kita bertindak sekarang, kita tetap bisa menjaga masa depan berkelanjutan,” jelas IPCC Chair Hoesung Lee.
Laporan ini adalah hasil fellowship yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan UNICEF.