KAMIS malam, 2 Oktober 2013, seorang pengusaha Kalimantan Tengah, Cornelis Nalau Antun, duduk di sebuah bangku, bersisian dengan semak yang terpangkas rapi di teras rumah ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Di balik kemejanya ada empat amplop berisi uang dolar Amerika Serikat dan Singapura senilai Rp 3 miliar. Cornelis ditemani Chairun Nisa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar. Mereka berdua menunggu Akil.
Sesaat setelah orang yang ditunggu-tunggu menghampiri mereka, belasan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi masuk dan menangkap ketiga orang itu. Empat amplop itu pun disita. Inilah operasi tangkap tangan yang saat itu menggegerkan: ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menerima suap untuk memenangkan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang berlangsung September 2013. Hambit Bintih, inkumben dalam pemilihan bupati itu, ditangkap di sebuah hotel di Jakarta Pusat tak berapa lama setelah Akil. Dalam persidangan, terungkap bahwa Hambit inilah yang menyuruh Cornelis menyerahkan uang suap kepada Akil.
Sengketa hasil pemilihan bupati Gunung Mas ternyata bukan satu-satunya sumber pendapatan Akil. Sumber lain mengalir dari berbagai duit suap sengketa pemilihan daerah. Ini gunung es dari praktik korupsi di pemilihan umum Indonesia. Setiap calon yang ingin menang mau tak mau harus keluar duit banyak, baik untuk kampanye maupun menyuap hakim konstitusi demi memenangi sengketa hasil pemilihan. Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan bahwa Akil sedikitnya menikmati Rp 57 miliar dari praktik “penjualan jasa” memenangkan sengketa pemilihan umum.
The Gecko Project/Earthsight dan Mongabay mencoba menelusuri sumber duit yang dipakai menyuap Akil itu. Kami menemukan petunjuk bahwa serangkaian kesepakatan bisnis untuk perkebunan sawit selama sembilan bulan menjelang pemilihan bisa jadi adalah sumbernya. Kesepakatan bisnis atas ide Hambit yang dikerjakan Cornelis ini membuat masyarakat adat di Gunung Mas kian terpinggirkan.
Berita penangkapan Hambit dan Cornelis malam itu sampai ke telinga Iswan, warga asli Gunung Mas, melalui telepon seorang rekan. Ia memastikan kebenaran kabar itu dengan menonton siaran televisi nasional. Buat Iswan, ini berita istimewa. Sebab, desanya menjadi salah satu korban kelakuan Hambit. Satu tahun terakhir, Iswan mengorganisir perlawanan terhadap kebijakan Hambit memberi izin atas lahan yang merupakan tanah adat komunitasnya.
Tanah adat adalah istilah yang disematkan pada lahan yang dimilliki secara kolektif oleh sebuah etnis. Dalam kasus ini, Dayak. Lahan ini berasal dari generasi leluhur dan diwariskan terus menerus ke anak cucu mereka nantinya. Penduduk yang ada saat ini adalah penjaga sekaligus pengelola yang diperkenankan meminjamkan lahan mereka kepada pihak luar tetapi selamanya tidak boleh menjualnya.
Lahan adat sering menjadi sumber pertentangan antara dua pihak: masyarakat adat yang menggunakannya untuk bertahan hidup dan pemerintah kabupaten yang ingin menjualnya kepada perusahaan perkebunan. Keduanya mengklaim punya hak atas tanah itu. Yang pertama berpendapat bahwa tanah itu warisan leluhur mereka, sedangkan yang kedua berdalih bahwa lahan itu secara peraturan perundangan berada di bawah kekuasaan mereka.
Dengan dalih peraturan perundangan, bupati-bupati kerap merampas lahan adat secara semena-mena untuk diserahkan ke perusahaan perkebunan, seperti yang terjadi di Tuyun, desa kelahiran Iswan. Desa ini terletak di bantaran Kahayan, sungai besar yang mengalir dari jantung hutan hujan Kalimantan ke selatan, melintasi Palangkaraya, hingga bermuara di Laut Jawa.
Setahun sebelum pemilihan bupati di Gunung Mas pada September 2013, Iswan mendengar desas-desus bahwa lahan mereka akan dicaplok perkebunan besar kelapa sawit. Tandanya: muncul patok-patok yang menandai batas lahan proyek, persis seperti yang mereka temui pada izin sebelumnya. Namun bedanya, kali ini patok-patok itu mereka temukan terpancang di dalam kawasan desa mereka.
Merasa terancam karena lahan mereka akan dicaplok perusahaan atas izin yang dikeluarkan Bupati, Iswan mendorong sekitar 300 warga Tuyun menulis surat kepada Hambit untuk menolak izin yang mengancam lahan mereka itu.
Sang Bupati kemudian mengutus wakilnya, Arton Dohong, untuk bermusyawarah bersama masyarakat di sebuah sekolah dekat Sungai Kahayan. Dengan kawalan sepeleton polisi, Arton tiba di sekolah itu. Sebanyak 150 warga Tuyun sudah menunggunya. Sementara, di depan rumah-rumah mereka spanduk-spanduk dipasang. Salah satu spanduk, milik Iswan, menggambarkan anak-anak yang bertanya, “Makan apa anak cucu kami ini?”
Arton, kata Iswan, membiarkan masyarakat mengeluh. Namun, setelah mendengarkannya, ia bersikeras bahwa perkebunan sawit adalah program pemerintah dan tak dapat ditentang. Lebih lagi, di tengah-tengah pertemuan, Iswan mendapatkan pesan teks dari salah satu koordinatornya. Isinya: polisi telah menurunkan spanduk-spanduk masyarakat. “Mendidih rasanya darah saya setelah mendengar kabar itu,” kata Iswan saat menuturkan pengalaman itu kepada jurnalis dari The Gecko Project dan Mongabay .
Musyawarah pun berujung ricuh lantaran tak ada kesepakatan yang tercapai. Di tengah-tengah kerusuhan itu Iswan bersumpah: kalau pemerintahan Hambit membiarkan desa-desa setempat menjadi mangsa perkebunan sawit, ia akan mengerahkan demonstrasi massal di depan kantor pemerintah. Dan itulah yang terjadi.
Hambit tak mengindahkan tuntutan warga agar izin dicabut. Maka tumpahlah ratusan masyarakat Dayak di kantor pemerintah daerah, menuntut agar izin perusahaan perkebunan untuk menggunakan lahan adat tersebut dicabut. Cuplikan video dari YouTube menunjukkan mereka berunjuk rasa di hadapan petugas dan barisan polisi, sementara wakil-wakil mereka meneriakkan tuntutan melalui pengeras suara.
Kerasnya protes warga Tuyun, Kahayan Hulu Utara, dan Tewah--kecamatan lain yang juga ditimpa izin baru--membuat perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang telah mendapat izin dari Hambit terpaksa mengambil langkah. Di Tuyun, perusahaan berjanji secara tertulis tidak menggunakan kekerasan untuk memaksa warga menjual lahannya. Hambit juga berusaha menenangkan warga dengan mengeluarkan instruksi agar hutan yang dikelola masyarakat tidak dijadikan areal konsesi perkebunan. Namun, diam-diam ia mengeluarkan banyak izin sawit terpisah.
Izin-izin baru yang dikeluarkan Hambit malah menorehkan dampak yang jauh lebih dahsyat pada desa-desa yang kala itu menentang keras keberadaan perkebunan. Di Tuyun, konsesi pertama berjarak lima kilometer dari wilayah desa. Di konsesi kedua, justru lahan sawah dan desa warga ditelan habis.
Secara keseluruhan, enam izin baru yang dikeluarkan dua tahun menjelang jabatannya habis akan mencaplok puluhan desa di sepanjang Sungai Kahayan dan anak sungainya, Rungan. Jika kawasan dimaksud benar-benar dibangun, yang tersisa bagi ribuan masyarakat nantinya hanyalah sawah selebar beberapa ratus meter yang terletak di antara rumah mereka dan areal perkebunan.
Total luas konsesi yang dikeluarkan Hambit selama 19 bulan sebelum ia mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua lebih dari dua kali lipat luas lahan yang ia serahkan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan di Gunung Mas sebelumnya.
Menilik kembali kejadian-kejadian di masa silam yang telah terkuak, Iswan mampu menebak motivasi Hambit. “Tahun itu tahun politik,” kata dia.
Perjalanan Hambit Bintih menjadi Bupati Gunung Mas dimulai saat ia berhasil melepaskan diri dari belenggu kesulitan hidup di hutan, lalu pergi ke Palangkaraya untuk menempuh pendidikan. Lahir 1958 dari keluarga petani di Desa Tumbang Kajuei, Hambit lulus dari universitas dan diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada saat kediktatoran Soeharto runtuh pada 1998, ia melejit ke posisi kepala dinas yang memungut pajak provinsi. Selain sebagai anggota PNS, ia juga aktif di Golkar, partai yang hingga kini punya posisi kuat di kancah politik nasional.
Berbekal pengalaman sebagai birokrat dan politikus, Hambit melejit ke posisi penting di Kabupaten Gunung Mas.
Pada tahun 2003, Hambit terpilih sebagai wakil bupati untuk Julius Djudae Anom, yang lebih senior darinya. Pasangan tersebut memegang kendali atas kabupaten tempat tinggal ribuan keluarga etnis Dayak. Saat itu, Gunung Mas tidak memiliki infrastruktur dan lemah secara ekonomi, tapi kaya akan sumber daya berupa kayu, batu bara, emas dan lahan.
Di bawah pemerintahan Djudae-Hambit, ekspansi perkebunan kelapa sawit sebenarnya diredam, walaupun perkebunan mulai berkembang pesat di kabupaten pesisir sebelah selatan Gunung Mas. Namun Hartalib Saleh, anggota tim kampanye masa jabatan kedua Djudae, mengatakan pada kami bahwa Hambit selama ini telah melakukan lobi-lobi agar semakin banyak perusahaan swasta dapat masuk.
Pada 2008, Hambit pindah partai untuk bertarung dengan Djudae dalam pemilihan bupati. Ia menang tipis dan resmi jadi bupati Gunung Mas sampai 2013. Sejak itu, nasib lahan adat Gunung Mas berada di dalam tangannya.
Seseorang yang mengaku sebagai perantara Hambit mengatakan, selama menjabat sebagai bupati Gunung Mas, bosnya kerap datang ke Jakarta. Di hotel dan restoran-restoran mewah, Hambit bertemu dengan investor-investor. Di situlah ia menjalankan praktik jual-beli izin lahan.
Perantara Hambit, yang tak mau ditulis namanya ini, bertugas menyeleksi investor yang ingin bertemu dengan Hambit. Sebab, bosnya tak ingin didatangi calo yang hanya ingin mengantongi izin untuk dijual lagi. Namun, tampaknya Hambit lama-kelamaan sadar bahwa praktik ini berisiko besar.
Pada 2012, bupati Buol, Amran Batalipu, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi saat meminta uang tiga miliar rupiah kepada seorang pengusaha bernama Siti Hartati Murdaya. Uang itu adalah balas jasa untuk penerbitan izin lokasi untuk kelapa sawit di Sulawesi Tengah. Amran diganjar pidana penjara tujuh setengah tahun. Belajar dari kasus ini, beberapa bupati menggunakan cara lain.
Bupati-bupati ini mengeluarkan izin kepada perusahaan cangkang yang didirikan para kroni atau kerabat mereka. Dengan izin lokasi saja, nilai suatu perusahaan yang hanya eksis di atas kertas ini bisa melesat mencapai puluhan miliar rupiah. Nantinya, para kroni atau kerabat itu akan dapat menjual perusahaan cangkang ini kepada perusahaan perkebunan besar. Pola ini diakui ada oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Yadyn Amin, jaksa KPK, mengatakan, mendaftarkan sebuah perusahaan cangkang dengan nama bupati itu sendiri sama saja bunuh diri. Lain halnya jika nama yang tercatat sebagai pemilik adalah orang-orang yang ada dalam kendalinya. Bupati itu bisa lolos dari jerat hukum, tapi ia tetap menjadi pemegang saham yang sesungguhnya. “Dia bisa jadi semacam bayangan,” kata Yadyn. Moncernya resep ini juga diakui kelompok pengacara.
Kami mewawancari pengacara Indonesia dan Malaysia yang melaksanakan uji tuntas (due diligence) dalam akuisi perusahaan sawit besar terhadap perusahaan cangkang. Menurut mereka, pembelian aset dari orang yang memiliki hubungan dekat dengan bupati, walaupun anggota keluarganya sendiri, tidak akan memiliki risiko hukum. Bahwa mereka mungkin menyalurkan puluhan miliar rupiah kepada politisi korup, tidaklah menjadi soal.
Di Gunung Mas, puluhan miliar rupiah yang diperah dari kesepakatan-kesepakatan semacam ini masuk ke kantong orang yang kemudian datang menyuap Akil Mochtar atas nama Hambit: Cornelis Nalau Antun.
Cornelis lahir 1973 di sebuah desa tidak jauh dari desa Hambit. Ia juga merantau dari pedalaman Kalimantan dan akhirnya bekerja di perusahaan tambang di Jakarta. Liputan sidang dirinya menampilkan seraut wajah bundar seorang lelaki berkacamata dengan rambut menipis. Dengan perawakan gemuknya yang seolah berkisah tentang kehidupan yang jauh dari hutan, ia tampak seperti seorang manajer kantoran yang tak sengaja mendarat dengan parasut masuk ke dalam kasus korupsi besar.
Setelah terjadinya penangkapan Akil, Arton, wakil bupati, memberitahu para wartawan di Jakarta bahwa Cornelis adalah keponakan Hambit. Selama sidang, Cornelis bersaksi bahwa ia dan Hambit semakin akrab setelah 2007 ketika bergabung dalam tim kampanye periode pertama jabatan Hambit sebagai bendahara. Lis adalah panggilan akrab Hambit kepada ponakannya itu.
Selama sidang perkara korupsi Akil, Cornelis mengatakan kepada majelis hakim bahwa ia setuju untuk menyuap Akil demi rasa hormatnya kepada Hambit. Selain itu, di antara keduanya juga sudah ada kesepakatan: usai Hambit selesai periode kedua, Cornelis akan didorong naik menggantikannya.
Suatu waktu, kira-kira di tengah-tengah periode pertamanya, Hambit meminta Cornelis mendirikan perusahaan cangkang yang akan difungsikan sebagai kendaraan jual-beli izin lahan. Keterangan ini didapat dari dua orang sumber. Yang pertama, si perantara. Yang kedua, seseorang yang dekat hubungannya dengan pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan tersebut. Menurut dia, setelah perusahaan didirikan, izin akan diurus dengan cepat. Cornelis langsung mencari kawan untuk membantu dirinya.
Pada 2011, ada dua orang yang membantu Cornelis. Pertama, Elan Gahu, seorang putra Dayak dari bagian Timur Kalimantan Tengah. Elan pernah membentuk perusahaan cangkang di Gunung Mas pada 2009. Dalam setahun, perusahaan ini telah mengantongi izin lokasi dari bupati. Ia sukses menjualnya kepada perusahaan Malaysia seharga 4,6 juta dolar Amerika Serikat atau Rp 63 miliar. Keberhasilan ini yang ingin diulang Cornelis.
Kedua, Edwin Permana, kawan lama Elan, dijadikan sebagai anggota ketiga kawanan ini. Edwin tadinya bekerja sebagai kontraktor pembukaan lahan untuk perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Ia kemudian pindah ke Kalimantan Tengah. Edwin bertugas menghubungkan kawanan tersebut dengan perusahaan lainnya yang juga berbendera Malaysia, CB Industrial Product, yang kaya raya dan haus akan lahan. The Gecko Project dan Mongabay sudah mencoba meminta konfirmasi dari Edwin dan Elan. Kami menghubungi kantor PT Berkala Maju Bersama, perusahaan di mana Edwin dan Elan menjadi pemegang saham.
Oleh resepsionis, kami dihubungkan ke sekretaris pribadi Elan dan Edwin bernama Virna. Namun, setelah berbicara dengan kami, Virna mengaku tak lagi menjadi sekretaris pribadi mereka. Dia menyarankan kami mengirim surat ke alamat perusahaan.
Kami lalu mengirim surat dua kali pada Maret lalu. Seorang resepsionis mengatakan sudah menerimanya dan meneruskannya kepada Virna. Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, tak ada jawaban dari Elan dan Edwin.
Mongabay juga telah mendatangi rumah Cornelis di Palangkaraya, Juli tahun lalu, tapi dia tidak ada di rumah. Kami akhirnya tersambung dengan telepon, Maret 2018.
Cornelis tak ingin masalah penjualan perusahaan dan suap Akil Mochtar yang melibatkan dirinya dibahas lagi. "Saya sudah menjalani tiga tahun penjara," ujarnya.
CB Industrial Product (CBIP) didirikan pada 1980 dengan inti usaha produksi alat-alat untuk pabrik minyak sawit. Pemimpinnya (chairman), Yusof Basiron, adalah tokoh terkemuka sawit Malaysia. Ia duduk menjabat sebagai dewan direksi Sime Darby, perusahaan multitriliun rupiah yang dimiliki sebagian pemerintah Malaysia. Ia juga merupakan CEO di Dewan Minyak Kelapa Sawit Malaysia (MPOC), suatu badan yang beroperasi atas biaya negara untuk mendukung komoditas ini di kancah internasional.
Dalam perkembangannya, CBIP tertarik pada hasil menggiurkan usaha perkebunan itu sendiri, pertama-tama di Kalimantan bagian Malaysia, lalu dilanjutkan dengan di Indonesia. Mereka sudah punya kiprah di sektor perkebunan Indonesia pada 2009, dua tahun sebelum Cornelis dan kawanannya bekerja sama. Perusahaan ini membeli suatu perusahaan cangkang yang terdaftar di Singapura, dengan konsesi untuk kawasan hutan seluas 8.000 hektar di Lamandau, sebuah kabupaten berbukit 170 kilometer di sebelah barat Gunung Mas.
Segera setelah mendapatkan konsesi di Lamandau, perusahaan ini memercik konflik dengan petani-petani Dayak asal Desa Cuhai. Kepala Desa Cuhai, seorang lelaki berperawakan kecil di pertengahan usia 30-an, Darius Pilos Pagi, menyelidiki anak usaha CBIP. Menurutnya, bukti yang ia dapatkan dari penggalian terhadap perusahaan itu, mengungkapkan bahwa perusahaan itu telah memulai pembukaan lahan tanpa izin lengkap.
Pada 2010, menindaklanjuti permintaan dari DPRD Lamandau, polisi menyelidiki kasus itu. Akan tetapi penyelidikan itu tak kunjung membuahkan hasil. Ketika sang kepala desa melanjutkan penyelidikannya sendiri, barulah ditemukan bukti yang menjelaskan alasan kasus itu mandek.
Darius mendapatkan dokumen dari sumber rahasia di pihak perusahaan. Dokumen itu memberikan informasi bahwa Iwan Setia Putra, manajer umum anak usaha CBIP, mencoba menyuap polisi agar sepenuhnya menghentikan penyelidikan. Dokumen-dokumen ini, yang telah kami lihat juga, berisi memo internal dari manajer itu yang meminta 400 juta rupiah untuk “menyelesaikan masalah dengan polisi.”
Dua pekan kemudian, polisi pun menutup rapat-rapat penyelidikan ini. Ketika dihubungi, Iwan menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pembayaran ini. CBIP juga telah dihubungi dan dikirimi daftar pertanyaan, namun mereka tidak bersedia menyediakan waktu wawancara.
Melalui sebuah surat yang dikirimkan kepada aparat penegak hukum di Jakarta, termasuk KPK, Darius melaporkan temuannya. Namun, tetap saja. Tak ada tindak lanjut.
Setelah kasus ini mereda, menurut seorang mantan kontraktor perusahaan, Edwin Permana mulai dipekerjakan CBIP di Lamandau setelah masalah-masalah hukum perusahaan itu mereda.
Pada 2012, semua berjalan mulus. Cornelis dan kawanannya telah mendirikan perusahaan cangkang, sementara Hambit siap mengeluarkan izin dan CBIP pun siap membelinya. Pembagian peran dalam kawanan ini jelas. Menurut dua sumber yang bercerita soal perintah Hambit mendirikan perusahaan cangkang tadi, Elan menangani urusan administratif bisnis ini, sementara Edwin mengawasi logistik pembukaan lahan hutan hujan yang lebat. Adapun Cornelis mengelola hubungan dengan Hambit selaku tameng politiknya.
Dalam waktu sembilan bulan selama 2012, yakni tahun sebelum pilkada di Gunung Mas, Cornelis dan kawanannya menjual empat perusahaan cangkang kepada CBIP. Izin-izin yang ada di dalamnya mencakup hampir 60.000 hektare. Empat konsesi itu mencakup wilayah adat di Tuyun dan desa-desa lainnya yang tengah berjuang menolak perkebunan skala besar. Data di bursa efek Malaysia mengindikasikan, kesepakatan-kesepakatan ini dibuat sedemikian rupa sehingga pembayaran baru dilakukan secara penuh setelah anak perusahan CBIP itu mulai masuk ke tahap perizinan. Segera setelah kesepakatan dengan CBIP ditandatangani, Hambit mempercepat prosesnya.
Proses perizinan yang normalnya dapat memakan waktu tahunan jika dilakukan sesuai prosedur dipersingkat Hambit menjadi hanya beberapa pekan saja. Dengan melakukan itu, Hambit mengabaikan fakta belum dilaksanakannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal, itu adalah syarat penerbitan izin.
Setelah penjualan beres, Cornelis dan kawanannya meraup 97,2 miliar rupiah--jumlah yang tercantum secara terbuka dalam bursa efek di Malaysia. Mereka pun tetap memiliki sedikit persenan dalam kepemilikan perusahaan. Jika izin-izin itu berhasil mewujud menjadi hamparan perkebunan yang luas, mereka akan menghasilkan jauh lebih banyak uang. Potensi valuasi perusahaan itu, berdasarkan analisis The Gecko Project dan Mongabay , bisa mencapai hampir 275 miliar rupiah.
Menjelang pemilihan bupati Gunung Mas 2013, Iswan, yang telah mengobarkan protes atas izin-izin yang dikeluarkan Hambit setahun sebelumnya, diundang ke kediaman milik seorang usahawan muda bernama Jaya Samaya Monong. Usai berbincang ringan, Jaya memberitahu Iswan rencananya maju menjadi penantang sang inkumben, Hambit Bintih.
Jaya meminta Iswan masuk ke dalam tim suksesnya, yang berupa jaringan relawan. Iswan, yang ahli dalam berorganisasi dan punya hubungan baik dengan para aktivis, bersedia dengan satu syarat: jika menang nanti, Jaya harus memoratorium pemberian izin lokasi dan mencabut izin perusahan-perusahaan nakal yang memaksakan kehendak mereka pada masyarakat Dayak. “Kalau seperti itu, itu namanya komitmen politik,” Iswan mengingat Jaya menjawab permintaannya. “Ya, bagus! Oke, saya terima tawaran itu.”
Majulah Jaya dalam pemilihan bupati Gunung Mas 2013. Tapi mereka harus menghadapi kenyataan bahwa lawan mereka, Hambit Bintih, punya banyak uang. Cornelis, yang kini kaya raya karena hasil penjualan perusahaan cangkang ke CBIP, ditunjuk sebagai bendahara kampanye. Dengan duit banyak, tim Hambit berhasil menarik dukungan dari tujuh partai politik. Mereka pun mampu menerbangkan Mulan Jameela ke Gunung Mas untuk konser.
Alhasil, sepekan setelah Pilkada Gunung Mas berlangsung pada tanggal 4 September 2013, Hambit dinyatakan sebagai pemenang. Jaya yang berada di urutan kedua dengan perolehan angka 39 persen tidak terima. Dia menyatakan akan menggugat hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi. Gugatannya yang diajukan sebulan kemudian mengadukan kampanye Hambit sebagai “kecurangan yang terstruktur, masif, sistematik dan sangat berpengaruh”.
Tim sukses Hambit diduga telah memberikan 300.000 rupiah kepada pemilih untuk setiap surat suara yang dicoblos untuknya. Di kabupaten yang memiliki 60.000 orang pemilih ini, uang yang diberikan dapat bisa mencapai 18 miliar rupiah. Dia juga dituduh menyalahgunakan kekuasaannya atas aparat negara untuk menjamin kemenangannya. Jaya mengklaim bahwa kartu pemilih tidak dibagikan di setiap desa, ada penambahan ratusan pemilih fiktif, dan ada ratusan pemilih sah dihapuskan dari daftar suara.
Inilah yang disebut politik uang--sebutan untuk berbagai bentuk seni hitam yang digunakan calon untuk mendikte hasil pemilu. Fenomena ini dijelaskan dalam buku yang akan dikeluarkan oleh dua akademisi dari Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies dan Australian National University, Ward Berenschot dan Edward Aspinall, berjudul Democracy for Sale: Elections, Clientelism and The State in Indonesia.
Lalu bagaimana Hambit menghadapi gugatan Jaya? Bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, Hambit ternyata sudah didekati Rusliansyah, ketua dewan pimpinan cabang Golkar Kota Palangkaraya saat itu, yang menawarkan koneksi dengan Akil Mochtar seandainya nanti ada sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Hambit akhirnya dapat berhubungan dengan Akil melalui Chairun Nisa, seorang anggota DPR.
Fakta persidangan menunjukkan betapa murahnya demokrasi diperjualbelikan dalam periode satu bulan setelah tanggal pilkada Gunung Mas hingga tanggal penggerebekan di teras rumah Akil. Negosiasi antara Hambit dan Akil yang dijembatani Chairun Nisa dilaksanakan di hotel bintang lima dan melalui pesan singkat. Menurut pengakuan Hambit, Akil meyakinkannya bahwa penggunaan uang dalam politik biasa dilakukan. Akil juga berkata bahwa ia kemarin baru saja bertemu seorang wali kota untuk tujuan yang sama.
Puncak negosiasi itu adalah pertemuan antara Chairun Nisa dan Hambit di sebuah ruang santai di lantai 18 Hotel Borobudur di Jakarta. Nisa ditemani suaminya, dan Hambit ditemani Cornelis. Di tengah perbincangan, Nisa mengirimkan pesan kepada sang hakim yang berisi keinginan Hambit untuk menawar harga. Akhirnya disepakatilah jumlah 3 miliar rupiah yang akan dibayarkan dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Nisa menunjukkan pesan pamungkas Akil kepada Hambit. “Itu sudah pas,” demikian bunyi pesan itu. Hambit menoleh kepada bendahara kampanyenya. “Ada duit, enggak, Lis?” “Saya usahakan, Om,” jawab Cornelis.
Cornelis pun langsung menghubungi Edwin dan Elan, dua orang kawan yang turut bersamanya mengurus penjualan perusahaan ke CBIP. Pertemuan Cornelis dan Elan terjadi empat hari setelah pertemuan tersebut di Hotel Borobodur. Elan tengah bermain bulu tangkis di rumah Cornelis di Palangkaraya saat sang tuan rumah mengutarakan maksudnya untuk “meminjam” uang darinya 1 miliar rupiah. Hanya butuh sehari bagi Elan untuk menyediakan uang kepada Cornelis. Sementara Edwin yang tengah berada di Bali mendapatkan permintaan yang sama melalui telepon. Ia lalu menyuruh seorang dikenal mereka berdua untuk mengirimkan uang kepada kawannya itu.
Dalam persidangan, baik Edwin maupun Elan berdalih tak tahu-menahu keperluan uang itu. “Dia sering pinjam dan tidak pernah ada masalah karena selalu dikembalikan,” ujar Elan. “Saya juga tidak minta tanda terima karena kepercayaan dan hubungan persahabatan sesama pengusaha.”
Jaksa KPK tidak langsung percaya bahwa uang itu diberikan sebagai utang dan bukan sebagai bagian dari transaksi imbal balik. “Karena, kan, keterkaitan hubungan sumber uangnya itu, tidak mungkin orang memberikan secara cuma-cuma,” kata jaksa penuntut senior KPK, Pulung Rinandoro, yang turut menangani kasus ini kepada kami, dalam sebuah wawancara di kantor KPK tahun ini. “Pasti ada suatu kepentingan tersendiri.”
Andai saja uang itu ditetapkan sebagai hadiah alih-alih pinjaman, KPK dapat menelisik lebih dalam dengan menanyakan apa yang didapat Edwin dan Elan sebagai gantinya. Ini kemudian dapat mengarah pada cakupan izin dan konsesi-konsesi berukuran sangat luas yang kini berada di tangan CBIP. Proses pemberian izin yang dipercepat, hubungan antara Cornelis dan Hambit, dan peran Cornelis di dalam kesepakatan ini mungkin akan menarik lebih banyak perhatian.
Namun sumber uang, kata Pulung, berada di luar cakupan penyelidikan kasus penyuapan itu. KPK sudah punya cukup bukti untuk memidanakan Akil yang merupakan target utama mereka beserta Hambit dan Cornelis. Sementara itu, KPK juga tengah kewalahan dalam menentukan berapa banyak lagi politikus lain yang telah menyuap sang hakim. Tidak cukup waktu atau alasan yang jelas untuk menelisik lebih jauh lagi ke dalam Gunung Mas. Alur penyidikan mandek di Edwin dan Elan, kesepakatan lahan tetap tidak terkuak, dan aset CBIP tetap utuh.
Akhirnya Hambit dan Cornelis menerima vonis ringan. Walaupun bukti suap tak terbantahkan, pengadilan memandang Hambit sebagai pemenang pilkada sah yang diperas Akil. Cornelis dilihat sebagai korban penipuan yang tidak menyadari tindak pidana tersebut dan tersesat karena kesetiaan buta terhadap sang mentor. Hambit dijatuhi pidana penjara empat tahun, dan Cornelis tiga tahun. Keduanya divonis lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Menurut majelis, faktor yang meringankan adalah sang bupati telah, “Banyak berjasa memajukan Kabupaten Gunung Mas.”
Menengok kembali ke 2013, di bagian pendahuluan laporan tahunan CBIP, sang pemimpin perusahaan , Yusof Basiron, menyebut tahun itu sebagai “tahun cemerlang”.
Sebenarnya CBIP terus mendapat penolakan dari Masyarakat Dayak, salah satunya warga Desa Tumbang Pajangei. Dalam pertemuan antara CBIP pada 2015, masyarakat desa menolak adanya perkebunan sawit. Mereka khawatir keberadaan perkebunan akan mencemari persediaan air. Warga Desa Pajangei juga ragu dengan janji-janji perusahaan soal manfaat-manfaat yang bakal mereka terima.
Maka kagetlah Kardie, pria yang dipilih untuk memimpin Desa Pajangei pada 2016, ketika menemukan bahwa sebagian besar lahan desa telah dibagi-bagi dan dijual diam-diam kepada CBIP. Kardie belakangan mengetahui, kesepakatan penjualan lahan itu dilakukan secara perorangan dan ditandatangani kepala desa pendahulunya.
Mereka yang lahannya masuk ke dalam konsesi CBIP ditawari dengan harga paling kecil 4 juta rupiah per hektarnya, walau ada yang juga dibayar 11 juta rupiah per hektar. Mariyady, pendeta setempat yang menyelidiki kesepakatan itu, menyebutkan bahwa harga itu adalah “pembunuhan”. “Ini masyarakat bodoh dibuat bodoh lagi,” ujarnya. “Bupati juga tahu, pak camat juga tahu, kades tahu, pendeta juga tahu. Dimana suara ini? Kenapa masyarakat dibodohi?”
Hal yang sama terjadi di setiap desa yang wilayah adatnya diobrak-abrik izin yang dikeluarkan Hambit. Perlawanan terhadap pemberian izin lokasi ini dikikis dengan cepatnya. “Hampir semua masyarakat di sana menentang perkebunan,” ujar Yanedi Jagau, putra Dayak Gunung Mas yang memimpin sebuah LSM yang membantu meningkatkan pendapatan petani melalui program penanaman pohon. “Tapi mereka tidak dapat bicara lantang karena tidak ada lembaga yang cukup kuat di sana. Bukan berarti mereka setuju.”
Kekhawatiran yang terbersit dalam protes warga terbukti sangat beralasan. Itu terlihat saat Kardie mengajak kami berjalan-jalan ke beberapa sungai yang mengaliri desa ini. Hingga 2017, sebagian besar hutan dan ladang di sekitar Pajangei sudah hilang digantikan dengan tanah-tanah gundul yang lantas ditanami kelapa sawit muda.
Sungai pertama, kata Kardie, dulunya sangat jernih sehingga masyarakat dari desa-desa lainnya rela datang kemari untuk mandi. Kini sungai ini tidak lagi mengalir dan warnanya menjadi coklat kekuningan karena dipenuhi lumpur yang mendangkalinya. Lumpur itu berasal dari bekas kawasan hutan yang telah ditebang.
Efek kumulatifnya adalah munculnya transisi skala besar dari kawasan adat menjadi perusahaan swasta. Jika izin tetap tidak dicabut, masyarakat Gunung Mas akan kehilangan hak atas lahannya sekurangnya untuk waktu 35 tahun lamanya--sesuai jangka waktu izin yang disebut dengan Hak Guna Usaha. Sisa-sisa mata pencaharian Dayak saat ini dan hutan hujan dataran rendah terakhir di Gunung Mas akan sirna. Sebagai gantinya, masing-masing petani setempat mungkin akan menerima uang beberapa juta rupiah saja dan mengharapkan mendapat setitik cipratan kekayaan pemilik perkebunan.
Desa kelahiran Iswan, Tuyun, mengalami nasib yang lebih mengkhawatirkan lagi. Pada 2016, CBIP menjual mayoritas saham di ketiga perusahaan yang dibelinya dari Cornelis dan kawanannya. Salah satunya adalah perusahaan yang keberadaannya mengancam Tuyun. Perusahaan itu dijual kepada seorang pengusaha asal Kalimantan Selatan bernama Andi Syamsuddin Arsyad.
Haji Isam, demikian ia dikenal, bangkit menjadi jutawan batu bara dari seorang tukang ojek. Majalah Tempo berkali-kali melaporkan hubungannya dengan pihak kepolisian dan betapa banyak saingan bisnisnya yang dijebloskan ke penjara, sementara aset-aset mereka dialihtangankan kepada Isam.
Nasib ribuan masyarakat desa kini ada dalam genggaman tangan Haji Isam. Masyarakat Tuyun tidak tahu bagaimana lahan mereka sampai bisa diperjualbelikan. Satu-satunya yang bisa mereka lihat adalah munculnya pancang-pancang baru seperti yang sudah-sudah sebagai penanda batas perkebunan.
Sebuah kajian bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipublikasikan awal 2018 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi semakin menekankan adanya hubungan antara pemberian izin dengan pemilihan kepala daerah. KPK mewawancarai 450 dari hampir 800 orang pasangan calon yang turut andil dalam pilkada 2015. Dua pertiga di antaranya mengatakan bahwa para donor yang mendanai kampanyenya menghendaki imbal balik berupa kontrak dari pemerintah, pekerjaan, pengaruh kebijakan dan izin usaha.
“Ada hal yang janggal dalam setiap siklus politik,” kata Jimly Asshiddiqie, hakim pendiri Mahkamah Konstitusi dan ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hingga tahun 2017, kepada kami dalam suatu wawancara di sebuah restoran hotel di Jakarta. “Mereka ini selalu mencoba mengeluarkan banyak izin selama masa pemilihan.”
Pada 2005, saat pemilihan untuk bupati, wali kota, dan gubernur pertama kali diadakan secara langsung, para bupati berduyun-duyun mengeluarkan perizinan perkebunan secara besar-besaran. Setelah 2005, laju ekspansi perkebunan di Kalimantan melonjak hampir empat kali lipat menjadi lebih dari 375.000 hektar per tahun. Pada 2016, izin yang telah dikeluarkan telah mencakup luasan hingga 21 juta hektar, yakni satu setengah kali luas pulau Jawa.
Bukti-bukti yang kian bertambah mengindikasikan bahwa ini lebih daripada sekadar korelasi. Hambit Bintih tidak sendirian ketika memainkan kendalinya atas lahan, baik untuk keuntungan pribadi ataupun untuk mendanai pilkada.
Pada Juni 2018, 115 kabupaten, 39 kota dan 17 provinsi di seantero negeri ini akan memilih kepala daerahnya. Risiko aliran uang haram yang akan menodai demokrasi berpotensi kembali terjadi.
Gunung Mas adalah salah satu kabupaten yang akan memilih bupati tahun ini. Calon yang dahulu menjadi penantang Hambit, Jaya, akan maju lagi. Salah satu saingannya adalah Rony Karlos, menantu Hambit.
Cornelis sudah menyelesaikan hukuman penjaranya. Ia kembali ke rumah megahnya di Palangkaraya dan disambut kembali di perusahaan yang ia miliki bersama Elan, Edwin dan CBIP. Konon, hubungan Cornelis dengan Hambit dan keluarganya memburuk setelah skandal itu. Tahun ini, ia akan merapat ke Jaya.
Di kantor bupati Gunung Mas, Arton yang menjabat bupati saat ini mengatakan betapa ia optimis akan masa depan Gunung Mas. Karena lelahnya menjabat tampuk pemerintahan tertinggi di kabupaten itu selama dua periode--satu sebagai wakil Hambit, satu lagi menggantikan Hambit yang dibui--ia tidak akan maju lagi. Namun, kata dia, setiap calon pasti punya cita-cita sama, yakni untuk membangun Gunung Mas.
Usai jeda, ia menambahkan, “Asal jangan korupsi saja, lah. Asal jangan korupsi.”