Proyek

Kesenjangan Akses Vaksin antara Negara Kaya dan Miskin

Jum'at, 27 Agustus 2021

Di tengah pandemi global Covid-19 yang belum berakhir, kesenjangan akses vaksin antara negara kaya dan miskin terlihat semakin lebar. Berdasarkan data WHO, 75 persen vaksin dinikmati 10 negara mapan, sedangkan hanya 0,4 persen yang dinikmati oleh negara berpenghasilan rendah.

Oleh Inge Klara Safitri

tempo

Sejumlah negara barat mulai melonggarkan pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi Covid-19 secara perlahan. Stadion-stadion mulai dipenuhi suporter setiap perhelatan olahraga digelar. Konser musik pun digelar tanpa pembatasan kapasitas penonton.

Pelonggaran dan pencabutan pembatasan ini dilakukan setelah mereka menggencarkan program vaksinasi untuk mencapai herd immunity. Sementara pada rentang waktu yang sama, Indonesia memecahkan rekor kematian terkait Covid.

Hal itu disebabkan oleh gelombang varian Delta dan vaksinasi yang belum merata. Masih banyak wilayah kabupaten/kota di Indonesia yang tak bisa melanjutkan program vaksinasi karena kehabisan stok vaksin, seperti Bandar Lampung, Mataram, dan Kendari.

Ketidaksetaraan akses vaksin juga terjadi di Haiti yang baru menerima pengiriman pertamanya pada 15 Juli 2021 setelah berbulan-bulan dijanjikan. Itu pun hanya 500.000 dosis untuk populasi lebih dari 11 juta. Sementara Kanada telah membeli lebih dari 10 dosis untuk setiap penduduknya pada 20 Juni bulan sebelumnya.

“Ini adalah arsitektur ketidakadilan global yang disengaja,” kata Strive Masiyiwa, utusan Uni Afrika untuk pengadaan vaksin pada konferensi Milken Institute.

Kesenjangan akses vaksin ini ikut merugikan negara berkembang secara signifikan. Pasalnya, aktivitas negara-negara kaya yang menimbun pasokan vaksin sebanyak dua hingga tiga kali lipat populasi mereka menyebabkan pasokan vaksin menjadi tidak merata di dunia. Selain daya beli, sukarnya akses ke hak cipta vaksin yang tersedia juga membuat negara-negara berkembang tak bisa memproduksi vaksin sendiri dengan aman.

Faktanya, pandemi Covid-19 memang lebih dulu menyerang dan merugikan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Tapi bukan berarti akses terhadap vaksin malah jadi sulit digapai negara-negara berkembang maupun miskin jika semangatnya bersama-sama melawan pandemi secara global.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres sejak Januari lalu sebetulnya telah mengingatkan bahwa ketidaksetaraan vaksinasi bisa memberi dampak buruk, seperti terciptanya lebih banyak mutasi yang virus dapat membuat suntikan saat ini jadi tidak efektif.

Meski begitu, sejumlah negara kaya bahkan mulai merencanakan program suntikan booster. Padahal, masih banyak negara di dunia yang menunggu dosis pertama. Sehingga terlihat jelas ada kesenjangan vaksin secara global.

Amerika Serikat (AS) mengumumkan akan menawarkan vaksin booster Covid-19 kepada semua warganya mulai 20 September mendatang. “Rencana kami adalah untuk melindungi rakyat Amerika,” kata Rochelle Walensky, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) seperti dikutip dari laman resmi CDC, Selasa, 24 Agustus 2021.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyerukan moratorium dua bulan pada pemberian suntikan booster vaksin Covid-19. Menghentikan skema pemberian dosis ketiga dinilai dapat mengurangi kesenjangan pasokan global vaksin Covid-19.

“Kami sangat kecewa dengan pemberian booster vaksin di beberapa negara maju. Padahal, masih banyak negara yang berjuang memberikan dosis pertama dan kedua vaksin kepada sebagian kecil populasi mereka,” tuturnya, dilansir BBC.

Direktur Darurat Kesehatan WHO, Michael Ryan juga mengecam pelaksanaan vaksin booster negara-negara barat kepada warganya. “Bagaimana bisa membagikan ‘jaket pelampung’' tambahan kepada orang-orang yang sudah memiliki perlindungan, sementara di saat yang sama kita juga membiarkan orang lain tenggelam,” kata Ryan.

Menurut data Unicef, Negara-negara berpenghasilan rendah baru membuat perjanjian pembelian vaksin pertama mereka pada Januari 2021—delapan bulan setelah kesepakatan pertama Amerika Serikat dan Inggris dibuat. Hasilnya, pada 30 Maret, hanya 0,1 persen dosis yang diberikan untuk negara-negara berpenghasilan rendah. Sementara 86 persen dosis disalurkan ke negara-negara kaya.

Kemudian inisiatif global untuk menyediakan vaksin yang dikenal dengan COVAX telah mengirimkan 32,9 juta dosis vaksin ke 70 negara dan wilayah. Sebagian besar pengiriman itu adalah sumbangan ke negara-negara berpenghasilan rendah. Namun, semua pengiriman telah dihentikan sejak 12 April 2021. Padahal, jumlah itu hanya 6 persen dari 564 juta dosis yang telah diberikan di seluruh dunia.

Kekurangan vaksin ini sebagian besar berasal dari keputusan India untuk berhenti mengekspor vaksin dari pabrik Serum Institute—fasilitas yang memproduksi sebagian besar dosis AstraZeneca. Sehingga COVAX hanya akan mengirimkan vaksin yang disetujui oleh WHO. Kondisi ini membuat negara-negara semakin tidak sabar, terlebih lagi persediaan berkurang di beberapa negara pertama yang menerima pengiriman dari COVAX.

Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah mencatat negara-negara kawasan Asia Tenggara saat ini membutuhkan bantuan ekstra untuk mengakses vaksin Covid-19. Apalagi sebagian besar negara Asia Tenggara termasuk Vietnam, Thailand, dan Indonesia telah menembus rekor infeksi atau kematian Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir.

Indonesia dan Filipina, negara berpenduduk terpadat di Asia Tenggara, baru memberikan vaksinasi penuh kepada 10-11 persen penduduknya. Sementara Vietnam masih di bawah 2 persen. Federasi pun berharap semua negara di kawasan tersebut bisa segera mencapai target vaksinasi penuh untuk 70-80 persen populasinya.

“Dalam jangka pendek, kita membutuhkan upaya yang jauh lebih besar dari negara-negara kaya untuk segera membagikan jutaan dosis vaksin berlebih mereka dengan negara-negara di Asia Tenggara,” ucap Alexander Matheou, Direktur Asia Pasifik, Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters, 18 Agustus 2021.

Program vaksinasi di Indonesia dimulai Januari 2021. Pemerintah menerapkan skala prioritas dalam program vaksinasi guna mengurangi angka kematian yang tinggi dan penularan pada kelompok rentan. Saat ini, 28,52 persen dari total penduduk yang menjadi sasaran vaksin tercatat sudah mendapatkan dosis pertama. Sedangkan yang sudah menerima dosis lengkap mencapai 16,02 persen. Adapun total sasaran vaksinasi adalah 208.265.720 orang, yang terdiri dari tenaga kesehatan, lanjut usia, petugas publik, masyarakat rentan dan masyarakat umum, termasuk anak berusia 12-17 tahun.

Pemerintah Indonesia sendiri mulai menjajaki pencarian vaksin sejak pertengahan 2020. Saat itu, sejumlah penelitian vaksin mulai berkembang, seperti Sinovac, Pfizer dan AstraZeneca. Kesepakatan pertama dijalin antara PT Bio Farma (Persero) dan Sinovac Biotech Ltd. Bio Farma menyepakati kerja sama Preliminary of Purchase and Supply of Product Bulk Covid-19 Vaccine dengan Sinovac. Penandatanganan kerja sama ini dilakukan di Kota Sanya, Cina, pada Kamis, 20 Agustus 2020 dan disaksikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi serta Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi. 

Dalam kurun waktu yang sama Indonesia juga menjajaki kerja sama dengan perusahaan farmasi Cina lainnya, yaitu Cansino Biologics dan Sinopharm. Tak hanya Cina, penjajakan juga dilakukan ke negara eropa dan Amerika Serikat yang tengah mengembangkan vaksin. Hasilnya, pada Oktober 2020, pemerintah Indonesia sepakat membeli AstraZeneca sebanyak 100 juta dosis. 

Indonesia juga mendapatkan jatah dari distribusi miliaran vaksin Covid-19 yang dilakukan oleh Coalition for Epidemic Preparedness (CEPI). “Bio Farma sudah masuk dalam shortlist, yang berarti memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kerja sama dengan CEPI di bidang manufacturing vaksin atau disebut shortlist potential drug product manufacturers for CEPI's COVID-19 vaccine,” ujar Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, September 2020.

Lembaga CEPI, GAVI dan WHO adalah tiga institusi utama pelopor COVAX Facility yang dibentuk untuk memastikan akses adil dan merata atas vaksin Covid-19. Rencananya, COVAX akan mendistribusikan vaksin sebesar 2 milyar dosis hingga akhir 2021 ke seluruh negara di dunia.

Salah satu vaksin yang didapat indonesia melalui jalur COVAX adalah Vaksin Moderna. Selanjutnya, upaya kerja sama terus dilakukan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan percepatan vaksinasi. Kementerian Kesehatan dengan PT Pfizer Indonesia dan BioNTech SE sepakati kerja sama untuk menyediakan 50 juta dosis vaksin Pfizer, yang dinamai BNT 162b2, sepanjang tahun 2021.

PT Pfizer Indonesia dan BioNTech SE menyediakan 50 juta dosis setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat (EUA). Kemudian hingga akhir tahun, Pfizer dan BioNTech menargetkan untuk memproduksi 3 miliar dosis vaksin Covid-19 secara global.

Tak perlu jauh-jauh melongok kesenjangan vaksinasi global, di Indonesia ketidaksetaraan vaksinasi juga terlihat. Banyak wilayah, seperti Solo, Surabaya, Sleman, dan beberapa wilayah Jawa Barat, kehabisan stok vaksin hingga proses pemberian vaksin dosis dua terhambat disebulan terakhir ini.

Di sisi lain, sejumlah pejabat justru diduga sudah mendapatkan vaksin dosis ketiga atau booster. Padahal, berdasarkan Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.01/1919/2021, booster hanya diberikan kepada tenaga kesehatan maupun tenaga pendukung kesehatan yang telah mendapatkan dosis pertama dan kedua vaksin Covid-19.

Pengakuan sejumlah pejabat ini terungkap saat mereka tengah mengobrol dengan Presiden Joko Widodo di tengah kunjungannya ke Kalimantan Timur. Saat itu, agendanya adalah meninjau pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di SMPN 22 Kota Samarinda. Momen itu disiarkan secara langsung di kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Tak lama, video siaran langsung itu dihapus. Kemudian diunggah ulang, tapi video sudah diedit dengan menghilangkan percakapan soal vaksin booster tadi.

Sampai artikel ini dilansir, belum ada penjelasan dari pihak Istana soal video tersebut. Sejumlah sumber menyebut terdapat kesalahan teknis sehingga percakapan yang tidak untuk konsumsi publik tersebut tersiar.

“Tanggung jawab distribusi vaksin ada di setiap daerah masing-masing. Kami akan mengevaluasi mengenai ketepatan sasaran vaksinasi ini,” kata Juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi menanggapi kabar penerimaan booster oleh sejumlah pejabat ini.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia