…

LONGFORM - SENIN, 11 DESEMBER 2023

Kejarlah Susu Sampai ke Negeri Belanda

Dua belas muda-mudi dari Indonesia melawat ke Negeri Kincir Angin untuk lebih jauh belajar mengenai susu. Mereka membawa pulang hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Penulis

Moerat Sitompul

Sepanjang mata memandang, tampak hamparan hijau padang rumput luas terbentang. Bilah rumput masih kuasa menahan kesegarannya di September. Sesekali serumpun dua rumpun pohon menyembul menghiasi cakrawala. Mentari masih bertengger di ujung-ujung ranting pepohonan. Biru menyelubungi angkasa yang berhiaskan awan berarak. Aneka ternak terlihat seperti manik-manik hitam putih yang bertaburan di kaki langit. Sayangnya, tak tampak kincir angin yang merupakan ciri khas Negeri Belanda.

Tampak sebuah jalan bebas hambatan membelah keelokan alam tadi seperti gunting memotong karpet. Lintasan itu terdiri dari sepasang jalur dengan masing-masing dua lajur. Sebuah van dengan cat hitam mengilap melaju meliuk-liuk bergonta-ganti lajur menyusul kendaraan yang berkelebat sama cepatnya. Tak beda jauh dengan cara berkendara di tol Jagorawi. Di dalam kendaraan yang melesat dengan kecepatan sekitar 100 kilometer per jam itu Tempo menumpang.

Ada dua sosok lain yang turut serta dalam van itu. Seorang pria berwajah bulat dengan senyum yang terus menghiasi wajah. Dia mengenakan kemeja biru lengan panjang berlapis jaket hitam yang menghangatkan tubuhnya. Epi Taufik namanya, seorang dosen lulusan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Pria yang kedua melindungi kepalanya dengan topi khas koboi berwarna coklat muda. Helai-helai rambut putih mengintip dari balik topi dan menghiasi janggut. Dia mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak biru berlapis rompi biru tua. Namanya Deddy Fachruddin Kurniawan, seorang dokter hewan lulusan Fakultas Kedokteran Hewan dari perguruan tinggi yang sama dengan Epi.

Di deret depan, sang supir duduk di sisi kiri kendaraan, berlawanan dengan letak kemudi kendaraan di Indonesia. Air muka pria separuh baya itu tampak tenang seperti permukaan air teh dalam cangkir. Rambut yang seluruhnya putih menghiasi kepala pria yang berkulit terang dengan dipenuhi kerut. Jika sebelumnya dia tak memperkenalkan diri dengan nama Don Dias, Tempo tak akan menyangka kalau dia masih memiliki darah Maluku. 

Dari balik kacamata bening sesekali Don mengintip peta elektronik di hadapannya. “Dari Apeldoorn, kira-kira satu jam lagi sampai tujuan,” kata dia dalam Bahasa Indonesia dengan logat Belanda. 

Apeldoorn sendiri merupakan kota kecil nan tenang yang terletak hampir 80 kilometer ke timur dari Amsterdam. Di kota itu, tempat Tempo bermalam sekaligus menjadi titik mula rangkaian peninjauan yang diprakarsai PT Frisian Flag Indonesia (FFI).

Siasat Wim agar susu berlimpah

Tujuan yang Don maksud adalah kediaman milik Wim van Ittersum. Letaknya di sebuah daerah bernama Mastenbroek, kira-kira 50 kilometer—sejauh dari Teluk Jakarta ke Kebun Raya Bogor—ke utara dari Apeldoorn. Ketika bertandang ke tempat tinggal Wim, kendaraan tumpangan Tempo harus melintasi jembatan kecil untuk menyeberangi parit yang membatasi jalan utama dengan tempat tinggal pria kelahiran 1965 itu.

Wim van Ittersum bersama istri, Wolterien, di depan peternakannya, Mastenbroek, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Sesampainya di tujuan, terlihat Wim dengan overall biru dan bersepatu bot hijau tua berdiri di depan sebuah bangunan yang luasnya kira-kira setengah lapangan sepak bola. Bangunan itu sendiri berdiri di atas lahan kehijauan seluas sekitar 100 hektare—bandingkan dengan area Gelora Bung Karno yang memiliki luas 137 hektare. Wim lantas menyambut kami, menyela perbincangan antara dia dengan seorang wanita berhijab merah muda.

Wanita itu sesungguhnya termasuk rombongan kami, namun sampai lebih dulu diantar sedan kelabu. Dia mengenakan blus putih berlapis kemeja denim biru lengan panjang. Wanita itu bernama Tri Melasari, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Wim lantas mempersilakan rombongan untuk masuk bangunan dan naik ke anjungan di lantai dua yang harus dicapai melalui tangga yang cukup curam. “Selalu berpegangan pada railing,” pinta pria berkacamata itu dalam Bahasa Inggris. Dari tempat kami berdiri tampak empat pemuda dan seorang perempuan pirang berkuncir kuda berdiri di belakang beberapa ekor sapi. 

“Perempuan itu seorang dokter hewan yang sedang memeriksa kesehatan sapi,” ujar Wim. Sedangkan para pemuda, yang dari gerak-geriknya tampak berdiskusi dengan sang dokter, adalah empat dari dua belas peternak muda yang dipilih Frisian Flag Indonesia untuk menimba ilmu di Negeri Belanda.

Wim van Ittersum ketika menjelaskan berbagai kegiatan dalam peternakan miliknya, Mastenbroek, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Dari anjungan terlihat pula sejumlah fasilitas yang tersedia untuk kenyamanan lebih dari dua ratus sapi perah peliharaan Wim. Aneka fasilitas itu antara lain landasan bersela-sela yang membuat kotoran langsung masuk ke tempat penampungan, kandang persalinan, dan sistem free stall.

Berbeda dengan cara peternak Indonesia yang lumrah mengikat sapi peliharaan, sistem free stall membiarkan sapi-sapi bebas berkeliaran. “Kandang sapi free stall memungkinkan sapi untuk lebih banyak tiduran di tempat bersih. Itu harus kita adopsi,” kata Deddy yang juga pendiri perusahaan konsultasi di bidang peternakan Dairy Pro Indonesia.

Wim kemudian turun lalu keluar menuju lahan kehijauan di belakang bangunan seraya berkata, “Saya membeli peternakan ini dari orang tua saya,” kata dia. Wim mengajak rombongan serta keempat pemuda Indonesia tadi untuk mendekati kawanan sapi di area tanah lempung bercampur gambut yang ditumbuhi rerumputan.

Wim van Ittersum di area grazing peternakan miliknya, Mastenbroek, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Sebelumnya, Kang Epi, panggilan akrab Epi Taufik, sempat menjelaskan fungsi lahan rumput seperti yang kami tuju. “Tipe mayoritas peternakan di Eropa, memang seperti ini, bentuknya grazing,” ujar dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan itu. Dengan sistem grazing, kawanan sapi dibiarkan bebas merumput dan berkegiatan layaknya di alam bebas. “Jadi tidak dikandangkan terus menerus,” lanjut Kang Epi.

Area peternakan keluarga Van Ittersum terletak dalam salah satu kawasan polder tertua di Belanda. “Umurnya lebih dari 650 tahun,” kata Wim. Di negeri Raja Willem-Alexander, polder merupakan wilayah yang dikelilingi tanggul pengendali tinggi air. Area tersebut lantas dikeringkan dengan tujuan dijadikan tempat untuk berbagai keperluan seperti untuk perumahan, pertanian, atau peternakan.

Wim van Ittersum ketika menjelaskan lokasi peternakan miliknya, Mastenbroek, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

“Apa yang kalian lihat dari sapi-sapi ini?” tanya Wim kepada empat pemuda saat rombongan sampai di dekat kawanan sapi yang sedang merumput. Para pemuda pun itu memandangi kawanan sapi yang sedang asyik mengunyah seraya memelototi balik. “Ya… mereka memandangi kalian. Gelagat yang baik,” kata Wim menjawab pertanyaannya sendiri.

“Sebagai peternak, kalian harus dapat memahami berbagai sinyal yang ditunjukkan seekor sapi,” lanjut Wim. Dia lantas memerinci aneka gelagat sapi yang sehat. Selain menunjukkan rasa penasaran, gelagat sapi yang sehat antara lain adalah makan dengan lahap, duduk beristirahat setelah makan, dan memamah biak. Keempat pemuda yang masing-masing bernama Bagus Wahyu Putra Hermawan, Misbahul Munir, Tatok Harianto, dan Yahdi Nur Haqqi memperhatikan dengan seksama sambil sesekali mengangguk.

Wim kemudian mencabut segenggam rumput. Dia lantas panjang lebar menjelaskan pengaruh kualitas rumput untuk pakan ternak, salah satunya tentang roughage atau hijauan. Semakin banyak hijauan yang tersedia, maka semakin banyak sapi yang dapat dipelihara. “Banyak orang membuat kesalahan. Mereka memiliki banyak sapi tapi tak ada roughage.”

Di tengah-tengah diskusi, Wim mengeluarkan ponsel dari kantong baju terusannya. Dia menunjukkan surat elektronik yang baru saja diterimanya. Isinya adalah laporan kesehatan ternak dari sang dokter hewan yang sebelumnya memeriksa sejumlah sapi Wim. Tri Melasari pun berkomentar perihal cara Wim menyerap kemajuan teknologi. “Bagaimana meng-handle sapi-sapi itu sakit, itu yang bisa kita pelajari,” ujar sang direktur.

Wim van Ittersum ketika menunjukkan email berisi laporan kesehatan ternaknya, Mastenbroek, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Bu Mela, panggilan akrab untuk Tri Melasari, sebelumnya sempat menjelaskan pula tentang dua pokok yang bisa dipelajari dari Wim untuk kesejahteraan para sapi. Pertama, soal tata kelola ketersediaan pakan ternak dengan mempersiapkan persediaan silage atau silase. Pakan berupa silase itu terbuat dari hijauan yang diawetkan dalam kantung plastik kedap udara. Di Indonesia, hijauan lazim terbuat dari rumput gajah. Dalam wadah penyimpanan, hijauan akan mengalami fermentasi dalam keadaan tanpa udara. Silase dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan setahun. Pembuatan silase merupakan cara jitu untuk mengakali ketersediaan hijauan selama musim kemarau dan penghujan. “Ini masih sangat jarang dilakukan oleh teman-teman peternak untuk membuat feed management, di mana membuat silase,” ujar Bu Mela. Ia melanjutkan, “Itu penting untuk kontinuitas produksi susunya.”

Kedua, soal kesejahteraan ternak. Bu Mela mencatat bahwa para peternak langsung mengecek kondisi para sapi di pagi hari, “Senang enggak hari ini?” Sama seperti pembuatan silase, perhatian terhadap kebahagiaan ternak masih sangat jarang. “Kebahagiaan ternak itu yang masih, kalau di peternak kita, belum menjadi perhatian utama.”

Tri Melasari, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia di peternakan milik Wim van Ittersum, Mastenbroek, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Selaras dengan pernyataan Bu Mela soal animal welfare, Tatok Harianto menyatakan hal serupa. “Ibarat kata, sapi kita adalah karyawan kita. Kalau karyawan kita, kita manjakan maka dia akan bekerja lebih giat lagi,” ujar peternak yang tergabung dalam koperasi SAE Pujon, Jawa Timur itu. 

Masih satu suara, Yahdi Nur Haqqi, pemilik peternakan sapi di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Bogor menyebutkan, “Si sapi itu nyaman, akan menghasilkan susu banyak, dan menghasilkan untuk kita juga.”

Jos dan kaki tangannya

Tujuan selanjutnya adalah dua kawasan peternakan milik Jos Knoef. Letaknya kurang lebih 80 kilometer—sejauh Gelora Bung Karno ke Cianjur via Bogor—ke timur dari Apeldoorn. Tepatnya di sebuah desa bernama Geesteren. Pria kelahiran 1960 itu tinggal dalam sebuah rumah mungil di atas salah satu kawasan peternakan milik Jos sendiri.

Jos Knoef di dalam peternakan milik dia di Geesteren, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Jos tampil santai dengan polo shirt berwarna biru tua yang tampaknya memudar karena kerap ia kenakan. Celana panjang khaki membalut kedua tungkai Jos. Dia berjalan dengan langkah yang berat ketika membawa rombongan kami berkeliling peternakan. Entakan langkah Jos semakin menggelegar akibat sepasang kelom di kedua kakinya yang dibungkus kaus kaki hitam.

Di Belanda, negeri asalnya, sepasang kelom disebut dengan klompen. Sama seperti kelom yang kita kenal, klompen terbuat dari kayu poplar atau willow. Alas kaki ini telah ada sejak delapan abad yang lalu, sekitar tahun 1230. Pelindung kaki itu masih populer di Negeri Kincir Angin karena bahannya cenderung kuat dan ringan serta tahan lama. Tentu saja, selop ini mudah dibersihkan dari berbagai kotoran, termasuk kotoran ternak, yang dapat menodai kaki.

Klompen yang dikenakan Jos Knoef, Geesteren, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Peternakan Jos dilengkapi dengan dua robot pemerah sapi. Namun jangan bayangkan para robot itu humanoid—memiliki wujud dan perangai menyerupai manusia. Kedua robot milik Jos berbentuk bilik dengan dilengkapi sebuah lengan yang berfungsi memasang empat teat cup pada keempat puting sapi. 

Teat cup berbentuk selongsong dengan liang silikon pada satu ujungnya dan terhubung dengan dua selang di ujung lainnya. Liang silikon akan menempel pada putih sapi sedangkan salah satu selang akan mengalirkan susu hasil pemerahan ke tangki penyimpanan. Satu selang lainnya terhubung dengan penghisap vakum. Selang penghisap itulah yang berfungsi membuat alat dalam selongsong melakukan gerakan memerah.

Dalam Bahasa Inggris, Jos menjelaskan bahwa dia memilih menggunakan robot karena dia berusaha mengatasi tantangan yang dia hadapi. Tantangan itu yakni memasang mesin pemerah pada sapi-sapi peliharaannya. “Lengan saya tak sudah kuat lagi melakukan tugas itu,” begitu kata-kata Jos yang meluncur di sela-sela nafas yang tersengal-sengal.

Salah satu robot yang bekerja memerah susu sapi di peternakan Jos Knoef, Geesteren, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Selesai peninjauan di kawasan pertama, rombongan dari Frisian Flag Indonesia bergerak ke kawasan kedua milik Jos. Pemerahan susu sapi di kawasan itu dikelola oleh putra sulung Jos, Ben namanya. Ben yang belajar pertanian di sebuah universitas memilih untuk menjadi peternak dengan alasan bahwa beternak adalah hal yang paling menyenangkan. “Pertama, dekat dengan hewan-hewan. Kedua, dekat dengan alam. Ketiga, sedikit bebas dan leluasa mengatur kegiatan,” ujar Ben. Pria berumur tiga puluh tahun itu lantas melanjutkan penjelasannya dengan alasan keempat, “Saya suka menjadi bos untuk diri saya sendiri.”

Berbeda dengan peternakan Jos di tempat pertama, di fasilitas ini pemerahan masih dilakukan secara manual. Pemasangan teat cup mesin pemerah susu sapi dilakukan oleh para peternak, bukan oleh robot. Perbedaan itu terjadi karena Ben menerapkan cara tersendiri dalam pengelolaan peternakan, “Robot harganya sangat mahal.” Ben lantas melanjutkan, “Mereka (peternak) yang mengerti soal robot juga (dibayar) lebih mahal.”

Para peternak yang memasang alat pemerah susu sapi di peternakan Jos Knoef, Geesteren, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Seperti Wim, Jos juga menerima peternak yang diseleksi oleh Frisian Flag Indonesia. Ada sejumlah syarat yang membuat seorang peternak Belanda terpilih untuk menerima para peternak dari tanah air. “Peternak Belanda yang dipilih karena bersedia (menerima) peternak Indonesia tinggal di rumah mereka, lalu punya keinginan untuk berbagi, dan tahu kondisi peternakan sapi di Asia,” ujar Akhmad Sawaldi selaku Project Manager Diary Development Program (DPP) dan Faciliteit Duurzaam Ondernemen en Voedselzekerheid (FDOV) dari PT Frisian Flag Indonesia.

Dalam Bahasa Indonesia, FDOV diterjemahkan menjadi Fasilitas Kewirausahaan Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan. Akhmad menjelaskan bahwa fasilitas yang hadir sejak 2013 tersebut merupakan dukungan pemerintah Belanda untuk peternak sapi perah di Indonesia. 

Empat peternak yang ditampung Jos adalah para perempuan yang terdiri dari Heni Astiti Karya Dewi, Sulistiani, Kristianti, dan Rumini. Dua yang pertama berasal dari Jawa Timur, sedangkan dua berikutnya berasal dari Jawa Barat.

Para perempuan peternak itu pun tentu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memperluas wawasan dan menggali ilmu. Di tempat Jos, Rumini terkesan soal perbandingan antara jumlah peternak dengan sapi yang diperah. “Biasanya, (perbandingan) di kandang saya hanya sepuluh sampai lima belas ekor pakai dua mesin,” kata perempuan yang biasa dipanggil Rumi itu. Rumi yang banting setir dari dunia perbankan ke dunia persapian lantas melanjutkan, “(Sedangkan) di sini tuh bisa sampai satu orang bisa enam puluh ekor langsung.”

Rumini di lahan rumput dalam peternakan Jos Knoef, Geesteren, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Selain efisiensi, para perempuan itu juga belajar soal modernisasi pengelolaan dan proses kelahiran sapi. “Pakai mesin robot. Saya baru tahu (soal) ini,” kata Sulistiani soal pengelolaan sapi perah. Sedangkan soal proses kelahiran sapi di kalangan peternakan Belanda, Heni pun menarik pelajaran yang cenderung baru untuk dia. “Biar bisa melahirkan sendiri (secara) normal,” kata Heni. “Kalau di tempat saya kan, ditarik kelahirannya.”

Hal lain yang dipelajari para perempuan peternak itu adalah soal kenyamanan untuk sapi yang mereka pelihara. Kristianti berniat mengubah alas tempat sapi berdiri. “Saya akan menerapkan soft bedding,” kata perempuan yang meninggalkan bangku sekolah untuk kemudian menikah dengan peternak sapi itu. “Jadi saya akan pakai serbuk gergaji supaya sapi-sapi saya lebih nyaman,” kata Kristianti.

Seperti mereka yang memetik pelajaran dari peternakan Wim, para peternak yang bernaung di bawah pengawasan Jos juga terkesan soal kesejahteraan hewan. Selaras dengan gagasan terus terngiang-ngiang dalam benak Rumini, “Happy cow, happy farmer.

Revolusi dari kandang Herman

Keesokan harinya Tempo dan rombongan pergi ke tempat tujuan ketiga, yaitu mengunjungi peternakan yang dimiliki ayah dan anak, yaitu Herman Miedema dan Jehannes Miedema. Peternakan itu terletak di daerah dekat kota madya Wyns. Kota itu berada setidaknya 140 kilometer ke utara dari Apeldoorn dan hanya sepuluh kilometer—sejauh dari Ancol ke Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta— dari Laut Utara alias North Sea. “Kira-kira dua jam dari penginapan,” kata Don yang masih mengantar kami di hari itu.

Sampai di peternakan Herman, rombongan Frisian Flag Indonesia disambut deru traktor dan truk yang bergerak hilir mudik. Kedua kendaraan itu bekerja seperti gayung bersambut, truk merah menumpahkan silase dari bak dan langsung digaruk oleh garu traktor kuning. Sang traktor lantas wara-wiri menggilas timbunan silase yang diratakan dan dipadatkan pada lokasi penyimpanan.

Traktor sedang menimbun silase di peternakan Herman Miedema dekat Wyns, Belanda pada 28 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Dekat dari tempat itu, berdiri sebuah kandang sapi yang serupa dengan kandang milik Wim dan Jos. Tampak sekerumun peternak di bawah naungan atap bangunan. Yang mencuat paling jangkung adalah Herman sang pemilik peternakan. Dia dikelilingi empat laki-laki peternak dari Indonesia yang dipilih oleh FFI. Keempatnya adalah Asep Dani Rusdiani, Mirza Azmi, Muhammad Hilal Ferdiansyah, dan Romi Pebrianur. Asep dan Romi berasal dari Jawa Barat, sedangkan Mirza dan Hilal berasal dari Jawa Timur.

“Dia idola saya,” ujar Deddy sambil menunjuk Herman. Deddy menjelaskan bahwa dia mengidolai Herman karena dua keberaniannya. Pertama, kata Deddy, “Keberanian dia menyambut inovasi padahal investasinya mahal.”

Empat peternak Indonesia mengelilingi Herman Miedema (bertopi hitam merah) di peternakan milik Herman dekat Wyns, Belanda pada 28 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Salah satu terobosan yang dilakukan oleh Herman adalah membangun kandang yang dilengkapi dengan slurry bunker yang terletak di bawah lantai kandang. Bunker itu berfungsi untuk menampung feses dan urin sapi yang jatuh meleleh melalui sela-sela landasan kandang. Kedua jenis kotoran itu bercampur aduk sehingga berbentuk slurry alias berwujud mirip bubur. 

Dengan menampung slurry di bawah kandang, peternak dapat menghemat luas lahan untuk menimbun bubur kotoran itu. Tinja dan kencing sapi itu akan tersimpan rapi selama berbulan-bulan. Artinya, lingkungan di peternakan tak akan tercemar feses dan urin sapi. Apalagi, slurry akan mengalami fermentasi selama penyimpanan sehingga mengurangi dampak negatif terhadap alam sekitar. Ketika dikeluarkan, bubur itu sudah berubah menjadi pupuk siap pakai.

Menurut hitung-hitungan kasar yang dibuat Deddy, peternak di Indonesia memerlukan dana sekitar dua sampai empat miliar rupiah hanya untuk membangun slurry bunker seperti yang dimiliki oleh Herman. “Edyaaannn tenaaaann…,” begitu tulis Deddy dalam unggahan di Facebook.

Deddy menjelaskan pula bahwa pembuatan slurry bunker tersebut merupakan respons industri persapiperahan dan persusuan terhadap tuntutan zaman, yakni pembatasan emisi karbon dan nitrogen. 

Sebagai catatan, jika tak dikelola dengan baik, kotoran sapi akan menghasilkan berbagai gas yang dinilai menyumbang peran dalam pemanasan global. Di antaranya adalah Metana (CH4), gas yang menimbulkan efek rumah kaca. 

Deddy kemudian menjelaskan hal kedua, “Keberanian dia untuk antimainstream.” Pendiri Dairy Pro Indonesia itu membeberkan bahwa Herman berani mengambil langkah yang berbeda dengan melakukan cross breeding alias kawinan silang.

Menurut Herman, sampai dua sampai tiga puluh tahun yang lalu, para peternak sapi di Belanda hanya fokus pada hasil produksi. Saat itu, para peternak sapi hanya mengawinkan sapi Holstein dengan jenis yang sama. Mereka melakukan hal tersebut dengan fokus pada produksi saja, yaitu agar mendapatkan banyak susu dari sapi Holstein murni.

Herman Miedema ketika menjelaskan soal sapi hasil cross breeding di peternakan miliknya dekat Wyns, Belanda pada 28 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Namun, kemurnian keturunan sapi Holstein ternyata menimbulkan berbagai persoalan. Pure breed Holstein ternyata memiliki problem daya tahan dan kesehatan. Buntutnya, masalah tersebut justru menguras sumber daya hingga habis untuk perawatan para keturunan murni itu.

Melihat persoalan tersebut, Herman—dan sekelompok peternak Belanda yang juga sepemikiran—mengambil langkah revolusioner demi mengatasi persoalan tersebut. Dia tak ragu mengganti paradigma mainstream, yaitu perkawinan murni demi produksi tinggi para pure breed, dengan melakukan cross breeding demi ketahanan dan kesehatan sapi.

Cara yang ditempuh Herman dan kelompoknya adalah melakukan serangkaian uji coba terencana dengan melakukan perkawinan silang antara berbagai jenis sapi. Aneka jenis sapi yang dikawinsilangkan yakni Holstein, Frisian, Austrian Fleckvieh, Norwegian Red, dan Jersey. Hasil kawin-mawin itu diteliti secara ilmiah dan terukur. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan berbagai aspek, mulai dari hasil produksi susu hingga jumlah sel-sel tertentu antara para sapi keturunan perkawinan silang dan sapi Holstein murni.

Jumlah susu yang dihasilkan oleh hasil perkawinan silang yang dilakukan Herman dan kelompoknya membuah hasil yang menggembirakan. Salah satu contohnya adalah jumlah produksi dari sapi hasil cross breeding Holstein dengan Fleckview. Mulanya, Herman dan kelompoknya memperkirakan hasil susu sapi crossbreed itu hanya akan mencapai sembilan puluh persen hasil susu Holstein. Namun, ternyata hasilnya mencapai sembilan puluh sembilan persen. “Sangat bagus,” kata Herman dengan kalem.

Aneka sapi hasil kawin silang di peternakan Herman Miedema dekat Wyns, Belanda pada 28 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Penampilan sapi-sapi peliharaan Herman pun berbeda dengan lazimnya sapi-sapi di peternakan Belanda. Yang paling kentara adalah soal warna. Bercak-bercak besar hitam putih khas sapi Holstein justru dicorengi warna coklat, merah, dan abu-abu. Bahkan ada sejumlah sapi yang memiliki bintik-bintik. “Saya tak terlalu peduli soal warna mereka,” kata pria kelahiran 1964 itu sembari tersenyum. Dia lantas berkelakar, “Biarpun mereka memiliki warna ungu namun memproduksi banyak susu, saya senang.”

Selain inovasi cross breed dan slurry bunker, Herman terbiasa melakukan perubahan mendasar soal persapiperahan. Salah satu contoh lainnya adalah ketika ia meninggalkan sistem sapi yang terikat dalam kandang dengan menerapkan sistem free stall pada 1984. “Hal itu merupakan revolusi untuk para sapi,” kata Herman.

Di sela-sela tinjauan rombongan Frisian Flag Indonesia, sang pria bertopi koboi pun menyempatkan diri melakukan siaran langsung via platform Facebook. Dengan antusias, Deddy menjelaskan berbagai revolusi yang dilakukan oleh Herman. Deddy melakukan siaran itu bersama Kang Epi dan Bu Mela yang mengapit Akhmad Kuartet itu tampak luwes saling menimpali dan melengkapi tukar pikiran di antara mereka.

Deddy Kurniawan, Epi Taufik, Akhmad Sawaldi, dan Tri Melasari sedang melakukan siaran langsung melalui platform Facebook dari peternakan Herman Miedema, Wyns, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul)

Revolusi para peternak Belanda tadi jelas jadi inspirasi bagi para peternak Indonesia yang belajar di situ. Mirza Azmi, peternak sapi asal Malang, Jawa Timur, berkata, “Walaupun di sini peternaknya tua-tua, dia (mereka) open minded.” Mirza lantas menjelaskan bahwa para peternak Negeri Kincir Angin mau mengadopsi teknologi dan menerima kemajuan zaman serta mengimplementasikan hasil-hasil penelitian. Pria yang sempat berkecimpung di dunia pertambangan itu lalu melanjutkan, “...yang belum kita banyak lihat di Indonesia.”

Mirza Azmi di peternakan Herman Miedema, Wyns, Belanda pada 27 September 2023. (Tempo/Moerat Sitompul).

Yang muda, yang maju

Sesungguhnya, bagaimana seleksi PT Frisian Flag Indonesia yang memilih dua belas muda mudi untuk pergi menggali ilmu di Negeri Belanda?

Pada Mei 2023 di Jakarta, FFI meluncurkan Young Progressive Farmer Academy (YPFA) yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas bisnis peternak muda tradisional Indonesia. Melalui akademi tersebut, peternak muda akan mendapatkan pembinaan pengembangan bisnis sekaligus melihat langsung proses manajemen peternakan sapi perah berstandar internasional di Belanda.

Corporate Affairs Director FFI, Andrew F. Saputro mengatakan bahwa YPFA merupakan wujud komitmen perusahaan untuk mengembangkan peternakan sapi perah demi meningkatkan produktivitas dan kualitas susu. “Melalui program ini, kami ingin membina peternak muda skala kecil di Indonesia agar bisnis peternak sapi perah mereka semakin berkembang,” ucapnya.

Andrew kemudian menjelaskan bahwa akademi yang telah diinisiasi FFI sejak tahun 2016 itu bekerja sama dengan belasan koperasi susu yang tersebar di Jawa. Kerja sama itu menjaring para peternak muda berusia 25-35 tahun yang memiliki 5-8 ekor sapi perah laktasi dan bernaung di bawah mitra koperasi FFI dari seluruh Indonesia. Para peternak yang terjaring diminta mengirimkan business plan ke YPFA.

Hasilnya, seratus satu proposal rencana bisnis masuk ke YPFA. Sejumlah proposal tersebut kemudian diseleksi secara tertutup oleh para juri ahli dan juri panel yang terdiri dari para ahli, akademisi dan media, juga Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Penyaringan itu meloloskan tiga lusin finalis yang terdiri dari tiga puluh laki-laki dan enam perempuan. Mereka berasal dari empat belas kabupaten di tiga provinsi Indonesia, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di seleksi akhir, terpilih dua belas pemenang. Mereka itulah yang kemudian diterbangkan ke Negeri Belanda untuk menggali ilmu dari para peternak di sana.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika pun memberi apresiasi terharap akademi yang diinisiasi FFI tadi. “Sebagai kontribusi nyata industri pengolahan susu, program ini akan mendorong peningkatan produksi susu nasional melalui peningkatan skala bisnis peternak tradisional. Produktivitas para peternak akan meningkat dan pada akhirnya ikut meningkatkan kesejahteraan mereka,” katanya.

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Moerat Sitompul

  • Editor

    Anton Aprianto

  • Multimedia

    Krisna Adhi Pradipta

    Rizkika Syifa

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya