Proyek

Kabur dari Kabul

Jum'at, 03 September 2021

Setelah 20 tahun menginvasi Afghanistan, Amerika Serikat hanya punya waktu kurang dari 20 hari untuk mengevakuasi puluhan ribu orang, termasuk warganya.

Oleh Faisal Javier

tempo

Dalam hitungan jam menjelang pergantian hari, lima pesawat angkut militer Boeing C-17 Globemaster III Amerika Serikat (AS) masih terparkir di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan pada Senin, 30 Agustus 2021 malam. Para tentara AS yang bertugas sebagai kru evakuasi warga AS dari Afghanistan memeriksa ulang pekerjaan yang mereka emban. Mereka terus berkomunikasi lewat platform percakapan daring mIRC untuk memeriksa jumlah orang yang dievakuasi telah lengkap, sekaligus memastikan penuntasan tugas mereka.

Mereka sedang diburu waktu karena esok hari adalah tenggat waktu evakuasi warga dan tentara AS dari Afghanistan. Pasukan AS sebelumnya telah melumpuhkan seluruh pesawat, kendaraan militer, dan artileri yang mereka tinggalkan di bandara. Defense One menyebut militer AS meninggalkan 70 kendaraan taktis ringan MRAP, 27 kendaraan taktis Humvee, dan 73 pesawat. 

Setelah memastikan semua tugas beres, Komandan Divisi Lintas Udara ke-82 Angkatan Darat (AD) AS, Mayor Jenderal Christopher T. Donahue menemui komandan Taliban di Bandara Hamid Karzai untuk menyampaikan pesan bahwa mereka akan segera lepas landas. Ia kemudian naik ke pesawat, menjadi tentara AS terakhir yang angkat kaki dari tanah Afghanistan. Di dalam pesawat juga sudah ada Dubes sementara AS untuk Afghanistan, Ross Wilson.

Perintah untuk terbang pun disampaikan. Kelima pesawat itu kemudian pergi meninggalkan tanah Afghanistan dalam waktu kurang dari 10 menit. Pesawat terakhir tercatat lepas landas pukul 23.59 waktu setempat, mengakhiri 20 tahun pencengkeraman Abang Sam di Afghanistan.

Associated Press melaporkan sejumlah milisi Taliban menembakkan senjatanya ke angkasa begitu pesawat terakhir pasukan AS lepas landas meninggalkan Kabul untuk merayakan kemenangan mereka. 

“Saya tidak bisa mengungkapkan kebahagiaan dengan kata-kata. … Pengorbanan 20 tahun kami berhasil," kata Hemad Sherzad, seorang milisi Taliban yang ditugaskan di Bandara Kabul.

Sekitar sebulan sebelum Kabul jatuh ke tangan Taliban, juru bicara Departemen Pertahanan AS John Kirby sudah menyampaikan kekhawatiran atas capaian pasukan Taliban di Afghanistan saat itu. VOA melaporkan, ia tetap bersikeras penarikan pasukan AS tak bisa ditunda, meski saat itu Taliban mengklaim bahwa mereka telah merebut 85 persen wilayah Afghanistan.

Pernyataan Kirby menegaskan kembali ucapan Presiden Joe Biden di tengah perangsekan Taliban ke sejumlah wilayah Afghanistan.

“Ini adalah hak dan tanggung jawab rakyat Afghan sendiri untuk menentukan masa depan dan cara yang mereka inginkan untuk menjalankan negara mereka,” ujar Biden pada konferensi pers di Gedung Putih pada 9 Juli 2021. Biden telah menetapkan tanggal 31 Agustus menjadi hari terakhir pasukan koalisi NATO yang dipimpin AS meninggalkan Afghanistan. 

Saat itu, masih ada 650 tentara AS di Kabul untuk menjaga keamanan para diplomat dan bandara. Sejak Perjanjian Doha diberlakukan, AS dan koalisi NATO memang secara bertahap mengurangi jumlah tentaranya di Afghanistan. Namun mereka masih mempertahankan ribuan pasukan untuk melatih tentara Afghanistan menghadapi Taliban.

Pada akhirnya desakan Taliban tak terbendung lagi oleh tentara Afghanistan. Kelompok militan itu berhasil menguasai Kabul pada 15 Agustus, dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri ketika Taliban mendekati Kabul. Ratusan atau bahkan ribuan warga sipil Afghanistan pun berbondong-bondong memenuhi Bandara Kabul menanti pesawat yang dapat membawa mereka keluar dari negara itu. 

Jurnalis Italia Francesca Mannocchi mengunggah sebuah video yang menggambarkan kekacauan Kabul ketika ia dievakuasi helikopter militer Italia pada hari itu. Ia menyaksikan kepulan asap membumbung di langit Kabul ketika ia berada di helikopter, sebagian dari sejumlah kedutaan besar termasuk AS. Kepulan asap itu berasal dari pembakaran dokumen sensitif yang dikhawatirkan jatuh ke Taliban.

“Bandara Kabul. Evakuasi. Game over,” tulis Mannocchi pada keterangan videonya, dilansir dari Associated Press.

Foto helikopter Chinook militer AS mengevakuasi orang dari Kedutaan Besar AS pun viral di dunia maya. Gambar itu bak deja vu peristiwa Kejatuhan Saigon pada 46 tahun lalu, ketika kelompok gerilyawan dan tentara Vietnam menerobos masuk kota yang masih belum bernama Ho Chi Minh City itu.

Proses evakuasi mulai dilakukan hanya 2 hari sebelum Taliban memasuki Kabul. Pada 13 Agustus, AS mengirim 3.000 tentara tambahan dari 3 batalyon infanteri—2 batalyon Korps Marinir dan 1 batalyon AD—untuk membantu proses evakuasi staf diplomatik. Kemudian Biden memerintahkan pengiriman kembali pasukan tambahan, sehingga total ada sekitar 5.000 pasukan AS yang membantu evakuasi.

Sejak 7 Agustus, Kedubes AS di Kabul telah menyebarkan peringatan kepada seluruh warga AS di Afghanistan untuk segera meninggalkan negara itu dengan penerbangan komersial. Pihak Kedubes menawarkan pinjaman repatriasi bagi warga Abang Sam yang kesulitan finansial untuk membeli tiket pesawat kembali ke AS.

Saat itu, satu-satunya pintu keluar dari Afghanistan hanyalah Bandara Hamid Karzai karena akses jalan darat di seluruh wilayah perbatasan Afghanistan telah jatuh ke tangan Taliban. Ada dua bandara internasional lain di kota Herat dan Kandahar. Namun situasi di dua kota itu sudah tidak kondusif menyusul pertempuran tentara Afghanistan dengan Taliban. 

Taliban sudah memperingatkan Abang Sam bahwa 31 Agustus adalah hari terakhir penarikan seluruh pasukan AS. Apabila lewat dari tanggal itu, Taliban menganggapnya sebagai upaya memperpanjang pendudukan. 

“Jika AS atau Inggris mencari waktu tambahan untuk melanjutkan evakuasi, jawabannya tidak. Atau akan ada konsekuensinya. Ini akan menciptakan ketidakpercayaan di antara kita,” kata juru bicara Taliban di kantor Qatar, Suhail Shaheen dalam wawancaranya dengan Sky News yang dikutip Tempo pada 24 Agustus.

Berdasarkan pantauan Flightradar24, sepanjang bulan Agustus hanya ada 199 penerbangan komersial yang terdeteksi berangkat dari Kabul dari 706 penerbangan yang telah terjadwal. Bahkan sejak Taliban menguasai Kabul, Flightradar24 mencatat hanya ada 9 penerbangan komersial yang terdeteksi berangkat dari Bandara Hamid Karzai. 

Otoritas Penerbangan Sipil Afghanistan telah menghentikan penerbangan komersial sejak 16 Agustus dan mengalihkannya untuk penerbangan militer. Kemudian kontrol lalu lintas udara di Bandara Hamid Karzai diambil alih oleh tentara AS. Pentagon sempat menghentikan operasional bandara untuk penerbangan militer selama 24 jam hingga 17 Agustus setelah landasan pacu dipenuhi warga Afghanistan yang putus asa ingin keluar dari negaranya.

Ketidakpastian akan keamanan wilayah udara Afghanistan membuat maskapai penerbangan internasional harus menghindari wilayah udara Afghanistan. Para pilot memilih untuk mengambil rute penerbangan yang lebih bebas risiko. 

Akun Twitter @defencegeek mencatat, pada 15-16 Agustus terdapat 170 pesawat angkut militer yang tiba dan berangkat dari Kabul yang membantu proses evakuasi. Sebagian besar di antaranya merupakan pesawat angkut militer AS yakni sejumlah 132 pesawat.

Dari Kabul, pesawat evakuasi AS menuju sejumlah pangkalan udara di kawasan Timur Tengah berdasarkan data yang diolah akun Twitter @MATA_osint. Pangkalan itu berada di antara lain Al Dhafra di Uni Emirat Arab, Al Udeid di Qatar, Prince Sultan di Arab Saudi, dan Bandara Internasional Bahrain.

Selain mengevakuasi warga, staf diplomatik, dan tentara, AS juga mengevakuasi staf kedutaan lokal dan penerjemah Afghanistan yang bekerja untuk AS atau koalisi militer NATO, beserta anggota keluarganya. Evakuasi dilakukan karena kekhawatiran mereka akan menjadi sasaran pembunuhan oleh Taliban.

Secara keseluruhan, AS dan negara-negara sekutunya berhasil mengevakuasi 123 ribu lebih orang dari Afghanistan. Panglima Komando Militer AS Wilayah Timur Tengah dan Asia Tengah (CENTCOM), Jenderal Kenneth McKenzie Jr menyebut AS sendiri mengevakuasi sekitar 79.500 orang selama 16 hari, belum termasuk pasukan AS.

“Jumlah itu termasuk 6.000 warga AS, dan lebih dari 73.500 warga negara lain dan warga sipil Afghanistan. Untuk kategori terakhir termasuk imigran dengan visa khusus (SIV), staf konsuler, warga Afghanistan yang sedang dalam bahaya, dan keluarga mereka,” kata McKenzie di Pentagon pada 30 Agustus 2021.

Tidak mudah bagi Abang Sam mengevakuasi ratusan ribu orang dalam waktu tidak sampai sebulan. Associated Press melaporkan, Ketua Komisi Intelijen DPR AS, Adam Schiff pada 16 Agustus mengatakan, ia sulit membayangkan evakuasi sudah harus selesai pada akhir bulan.

Gangguan keamanan jadi salah satu hambatan yang Abang Sam harus hadapi selama proses evakuasi. Menlu Antony J. Blinken menyebut, berkuasanya Taliban di Afghanistan menimbulkan situasi yang tidak bersahabat. 

Namun gangguan sebenarnya justru datang dari ISIS-Khorasan (ISIS-K), cabang ISIS yang beroperasi di Afghanistan yang sekaligus musuh Taliban. Kelompok itu melancarkan serangan bom bunuh diri di Bandara Hamid Karzai pada Kamis, 26 Agustus 2021 ketika ribuan orang sedang mengantre di pos pemeriksaan. Sebanyak 13 tentara AS tewas, sedangkan korban dari warga Afghanistan diperkirakan lebih dari 100 orang.

Serangan bom maut itu pun memanaskan kondisi politik dalam negeri AS. Sejumlah anggota parlemen dari Partai Republik menyalahkan pemerintahan Biden atas kekacauan yang terjadi di Afghanistan, bahkan muncul wacana pemakzulan atas kegagalan Biden dalam menangani keamanan di Afghanistan.

Politico melaporkan, keputusan para pejabat pemerintahan Biden untuk berkoordinasi dengan Taliban juga mengundang kritik dari parlemen. Para pejabat itu bersikeras, keputusan itu diambil untuk memastikan keamanan warga AS dan Afghanistan, serta mencegah tembak-menembak antara tentara AS yang ditempatkan di bandara dengan milisi Taliban.

“Kita tidak dapat memercayakan keamanan warga Amerika pada Taliban,” kata Ketua Komisi Luar Negeri Senat AS, Bob Menendez.

Keputusan tim koordinasi diplomat dan militer AS di Kabul untuk menyerahkan daftar nama yang akan dievakuasi ke Taliban juga mendapat tentangan. Langkah itu diambil dengan alasan untuk mempercepat evakuasi puluhan ribu orang dari Afghanistan. Namun itu memancing kemarahan dari anggota parlemen dan militer karena membuat Taliban memiliki rekam jejak yang mungkin digunakan untuk membunuh warga Afghanistan yang membantu pasukan koalisi NATO.

“Sederhananya mereka menjadikan semua orang Afghanistan sebagai target pembunuhan,” kata seorang pejabat Pentagon pada Politico

Hambatan lain ialah jumlah pasti warga sipil AS di Afghanistan. Ini karena pemerintah AS tidak melacak pergerakan warganya saat bepergian di luar negeri. Meski pemerintah AS sangat menyarankan warganya untuk menghubungi kedubes setempat bila mengunjungi suatu negara, namun Blinken menyebut saran itu sifatnya adalah sukarela.

“Dan sejak Maret kami sudah 19 kali mengirim pesan kepada mereka yang sudah melapor ke kedubes di Kabul, mendorong dan kemudian mendesak mereka untuk meninggalkan negara (Afghanistan),” kata Blinken di Washington DC pada 25 Agustus 2021. Selain itu, proses verifikasi identitas warga AS di Afghanistan menurut Blinken juga “memakan waktu.”

Pada akhirnya, tidak semua warga AS dapat dievakuasi dari Afghanistan hingga tenggat waktu yang ditetapkan. “Di bawah 200 dan kemungkinan 100 (orang) lebih sedikit,” ujar Blinken pada 30 Agustus di Washington. Dan tugas evakuasi mereka yang tertinggal pun kini sepenuhnya diemban oleh Departemen Luar Negeri.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia