Interaktif

tempo

LONGFORM / SABTU, 17 DESEMBER 2022

Jalan Berbatu Difabel di Dunia Kerja

Perusahaan di Indonesia hingga saat ini belum mampu menyerap pekerja penyandang disabilitas sesuai undang-undang. Merayakan Hari Disabilitas Internasional, Tempo berbicara dengan tiga penyandang disabilitas. Terlepas dari segala rintangan, mereka berhasil berhasil di kancah profesional.

Penulis

Krisna Pradipta

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, di Indonesia tercatat ada sekitar 22,5 juta penyandang disabilitas, atau sekitar 5 persen dari total populasi sebesar 255 juta jiwa. Mereka kesulitan mengakses berbagai fasilitas di tanah air, mulai dari transportasi dasar hingga rumah yang mengakomodasi disabilitas mereka.

Namun, salah satu perjuangan utama para penyandang disabilitas atau difabel ini adalah bagaimana mereka bisa diterima dengan baik di ruang-ruang kerja formal. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional BPS Februari 2022, ada 7,8 juta penyandang disabilitas di dunia kerja. Namun, menurut Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan dari Kementerian Tenaga Kerja, hanya 3.433 penyandang disabilitas yang bekerja di lingkungan perusahaan.

Selain itu, data Kementerian Tenaga Kerja tersebut juga mengungkapkan, hanya 969 perusahaan atau 1,73 persen dari target 3.304 perusahaan di Indonesia yang mempekerjakan orang-orang dengan disabilitas. Sementara Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan, semua perusahaan harus memiliki setidaknya 1 persen dari seluruh tenaga kerjanya adalah penyandang disabilitas.

Tempo berbincang dengan tiga profesional penyandang disabilitas yang bekerja profesional di berbagai pelosok negeri. Mereka mengisahkan kehidupan mereka dan realita ruang kerja di Indonesia. Cristophorus Budidharma adalah seorang difabel tuli yang bekerja sebagai event manager di Warung Inklusiv, sebuah restoran di Bali. Vicente Mariano seorang disabilitas fisik yang saat ini menjadi juru bicara Persatuan Sepak Bola Amputasi Indonesia dan seorang atlet catur. Terakhir, Cheta Nilawaty, seorang jurnalis Tempo yang sejak 2016 tak bisa melihat. Ia kini tengah belajar di Australia. 

Wawancara berikut dipersingkat dan digabungkan untuk kejelasan, baca rangkaian lengkap artikel di tautan ini.

Bagaimana pengalaman Anda mendapatkan kerja?

Cristophorus Budidharma:

Setelah lulus universitas, saya melamar ke lebih dari 300 perusahaan untuk berbagai posisi, dari manajer HRD (human resources department) hingga manajer budaya, dan banyak lagi. Sayang, saya tidak mendapat kabar baik dari mereka. Saya tidak memberi tahu mereka tentang ketulian saya karena hal itu tidak penting untuk diberitahu saat pertama kali. Ini juga untuk menghindari penyisihan HRD pertama, sehingga saya bisa maju ke tahap berikutnya. Saya berencana memberitahu mereka pada saat wawancara, sekaligus membawa juru bahasa isyarat saya sendiri.


Memang selalu sulit mencari pekerjaan. Tetapi saya percaya ini bukan tentang ketulian saya, tetapi tentang common sense. Mencari pekerjaan itu memang tidak mudah bagi banyak orang. Jika perusahaan menolak seseorang karena tuli, maka itu akan menjadi cerita yang berbeda. Saya pikir memiliki resume, pengalaman, profesionalisme, dan kepercayaan diri yang mengesankan pada akhirnya adalah kunci untuk mendapatkan karir.

Vincente Mariano:

Pekerjaan saya yang sekarang ini bermula dari keberangkatan saya dari Yogyakarta ke Jakarta pada 2015. Waktu itu umur saya 31 atau 32 tahun. Saya nekat saja ke Jakarta. Saya merasa kalau saya tetap di daerah, saya nggak akan pernah maju-maju.


Dari dulu saya (berkecimpung) di bidang komunikasi. Tetapi saya lemah dalam berinteraksi dengan komunitas (penyandang) disabilitas. Saya dulu benar-benar buta. Saya baru diajak ikut komunitas (difabel) oleh paman. Saya dikenalkan dengan Yayasan Cheshire Indonesia atau Wisma Cheshire, tempat pelatihan penyandang disabilitas fisik. Saya masuk proses wawancara dan diterima di situ. 


Untuk tips (untuk mendapatkan kerja), pertama, skill. Kedua, mindset. Kita harus tahu cara bersikap, terutama jika menghadapi kemungkinan terburuk. Contohnya, ketika diterima dan tempat kerja tidak ada akses untuk penyandang disabilitas. 

tempo
Pemilik Inklusiv Warung Hans de Waal (kiri) dan Gunawan Wibisana (tengah) berbicara menggunakan bahasa isyarat dengan Event Manager Inklusiv Warung Christophorus Budidharma di Inklusiv Warung, Canggu, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, Selasa, 8 November 2022. TEMPO/Nita Dian

Cheta Nelawati:

Kalau saya, sebelum menjadi difabel, memang sudah bekerja. Jadi, saya belum pernah mencoba ikut seleksi kerja (sebagai difabel), tapi saya ikut seleksi beasiswa. Intinya, jangan menyerah. Saya mempersiapkan diri menjadi lebih kuat karena kita bakal ditandem dengan non-difabel yang kemampuannya full (penuh). Persiapkan diri, harus bekerja dua kali lebih keras dari non-difabel. Kalau mereka belajar malam hari (selama) dua jam, kita kalau perlu (belajar) dari maghrib (sekitar jam 6 petang) sampai jam 12 malam. Kalau tidak bersaing secara lebih keras dan gak persisten, ya kalah.

CHETA NILAWATY

Kalau mereka belajar malam hari (selama) dua jam, kita kalau perlu (belajar) dari maghrib (sekitar jam 6 petang) sampai jam 12 malam.

Pernah merasakan diskriminasi?

Cristophorus Budidharma:

Yah, ini tergantung pada perspektif. Secara teknis, saya merasakan diskriminasi tidak langsung. Seperti ketika saya sedang berdiskusi, beberapa orang yang mendengar (non-tuli) berbicara satu sama lain dan lupa bahwa ada tuna rungu yang hadir. Namun, saya sadar bahwa mereka tidak menyadarinya dan itu bukan niat buruk mereka, melainkan kebiasaan. Untungnya, saya lebih tenang, dan itu bisa ditoleransi.

Vincente Mariano:

Dulu waktu di daerah, saya suka ikut organisasi. Pernah saat kegiatan Pemuda Katolik, saya dikirim ke Kalimantan Barat untuk mensosialisasikan (masalah) disabilitas ke masyarakat. Di sana, stigmatisasi jauh lebih kuat dari perkotaan karena masalah pengetahuan. 


Di daerah, budaya sangat kental, seakan-akan kalau memiliki sanak keluarga dengan disabilitas, berarti keluarganya bermasalah. Di pedalaman seperti itu situasinya. Itu yang kasihan. Sering sekali teman-teman difabel di daerah disembunyikan. Mereka bilang, “pasti orang tuamu dulu melanggar adat ya.”  



Cheta Nelawati:

Dulu pernah liputan Asian Para Games. Saya datang ke meja event organizer. Terus mereka bilang, “Mbak beneran wartawan? Ini meja media lho. Kalau supporter PSBR Melati di sana mejanya.” Seumur-umur saya liputan, nggak pernah keluarin kartu pers. Saya tunjukin kalau saya benar-benar dari Tempo, bukan tim hore Panti Sosial Bina Rehabilitasi.


Kalau naik Gojek juga ditanya mau pijat ke mana. Padahal saya sudah bilang, saya jurnalis. Pas diturunkan di lobby (gedung Tempo), dia malah mengira saya mau pijat orang Tempo. Jadi dia nggak percaya saya wartawan. 


Sampai Australia juga begitu, ada yang bilang “Masa iya, orang buta jurnalis?”, “Masa iya sekolah di Australia, memang bisa?” Intinya tidak dipercaya. Orang tidak percaya saya wartawan, dan juga tidak percaya saya sekolah di Australia.

VINCENTE MARIANO

Sering sekali teman-teman difabel di daerah disembunyikan. Mereka bilang, “pasti orang tuamu dulu melanggar adat ya.”  .

Bagaimana cara mengatasi masalah akses untuk difabel ketika kerja?

Cristophorus Budidharma:

Saya bisa membaca (gerak) bibir dalam bahasa Indonesia, tapi tetap tergantung orangnya, seperti bentuk mulut, letak giginya, juga ukuran mulutnya. Namun, saya memiliki batasan sendiri untuk membaca bibir, seperti ketika saya sangat lelah, saya akan meminta mereka untuk menulis atau mengetik di handphone. Tentunya saya lebih nyaman dengan bahasa isyarat. Saya akan senang untuk berkomunikasi dengan staf yang fasih bahasa isyarat.

Vincente Mariano:

Tantangan saya itu, dengan yang dari luar. Ada yang kantornya tidak aksesibel, dan lain sebagainya. Misalnya, untuk (penyandang) disabilitas fisik pengguna kursi roda, toiletnya mungkin tidak aksesibel, dan tentu dia akan sangat terganggu. Atau juga tempat bekerja yang tidak aksesibel. Jadi untuk ke kantor saja harus dibantu orang.

Cheta Nelawati:

Tempo memberikan saya uang untuk membayar caregiver, dan saya yang cari sendiri. Dulu, saya pernah datang liputan sendiri, dan harusnya nggak boleh, karena belum tentu orang yang diwawancara benar. Akhirnya saya harus dituntun karena mobilitas di lapangan tinggi. Sejak saat itu, saya bilang ke kantor, saya minta pakai carer.

Bagaimana kebijakan perusahaan untuk difabel?

Cristophorus Budidharma:

Untuk Silang.id dan Inklusiv Warung, keduanya memiliki peraturan khusus untuk tidak menolerir diskriminasi apapun, termasuk diskriminasi jenis kelamin, usia, jenis kelamin, juga disabilitas. Kebijakan mereka bagus untuk memastikan semua staf dapat menggunakan bahasa isyarat dan memiliki kompetensi budaya tuli. Selain itu, mereka memastikan bahwa mereka juga mempekerjakan difabel dan minoritas, sesuai dengan konstitusi kita, yang mewajibkan semua perusahaan untuk mempekerjakan 1 persen orang difabel.

tempo
Juru Bicara Persatuan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) Vicente Mariano berpose di Sekretariat Persatuan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI), Jagakarsa, Jakarta, Senin, 28 November 2022. TEMPO/Nita Dian

Vincente Mariano:

Waktu saya di Yayasan Cheshire, tentu banyak akses. Aksesibilitas itu dinilai dari dua hal, fisik dan non-fisik. Fisik itu dari bangunannya, sedangkan non-fisik itu lingkungannya. Yang penting itu yang non-fisik. Bagus kalau ada pemangku kebijakan yang paham betul dengan disabilitas dan melakukan segala sesuatu dengan hati, bukan terpaksa. Kalau terpaksa karena Undang-Undang, jadinya tidak maksimal, ujungnya hanya visualitas. Sebagus apapun program untuk disabilitas, tolong libatkan teman-teman difabel di dalam diskusinya. Yang tahu bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas adalah teman-teman sendiri.


tempo
Cheta Nilawaty (kanan), didampingi panitia usai meliput kegiatan terkait hari Disabilitas Internasional di Halim Perdana Kusumah, Makasar, Jakarta, Minggu, 4 Desember 2022. TEMPO/Nita Dian

Cheta Nelawati:

Carer yang disediakan perusahaan itu akomodasi yang layak menurut saya. Itu sudah lumayan. Sebagai penyandang disabilitas baru, saya tidak terlalu butuh ramp atau apa. Saya lebih senang dituntun orang yang bisa melihat karena saya merasa lebih merasa aman dibanding disediakan guiding block. Saya malah tetap nyasar kalau pakai lantai pemandu. Menurut saya, aksesibilitas yang bagus itu disediakan berdasarkan ragam disabilitas. Misal tuna daksa beda kebutuhan dengan netra, yang juga beda dengan tuna rungu, jadi tidak bisa sama semua.

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Friski Riana

    Krisna Pradipta

  • Multimedia

    Krisna Adhi Pradipta

    Sunardi Alunay

  • Foto

    Nita Dian

  • Editor

    Purwani Diyah Prabandari

  • Editor Inggris

    Lucas Edward

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya