Longform

Tak Kenal, Maka Tak Kripto

Jum'at, 24 Desember 2021

Meski umur uang kripto tidak setua instrumen keuangan lainnya, tetapi kripto diburu banyak orang karena lonjakan harga yang tinggi. Namun, nilai uang kripto yang fluktuatif dan volatil menghasilkan risiko yang tinggi bagi para investor. Tempo berbincang-bincang dengan pendiri komunitas Cryptowatch, Christopher Tahir, mengenai pengalaman dan tipsnya seputar investasi kripto.

Oleh Faisal Javier

tempo

Sebagai praktisi pasar keuangan, Christopher Tahir telah mendengar keberadaan uang kripto sejak 2012. Saat itu, bitcoin mulai diterima sebagai alat pembayaran di platform layanan video gim Steam.

Meski telah mengetahui kehadiran uang kripto, tetapi ia saat itu masih belum tertarik untuk terjun dan mendalaminya. Ia saat itu menganggap keberadaan bitcoin sebagai koin yang tidak berharga sama sekali.

“Sama seperti para investor kondang di Wall Street, kita cukup sombong. Dalam artian, cukup tertutup terhadap produk baru yang kita anggap scam,” ujarnya pada Tempo, 2 Desember 2021.

Ia baru mulai terjun ke dunia kripto lima tahun kemudian. Bermula dari kebutuhan mencari penghasilan tambahan, ia tertarik oleh ajakan seorang temannya untuk menambang uang kripto bernama ether.

Pertarungan sebenarnya adalah antara fiat dan kripto. Setelah menimbang-nimbang, saya mendukung yang terakhir.

— Elon Musk

Awalnya, ia berpikiran bahwa kegiatan menambang tidak akan menyita waktunya karena cukup mempersiapkan hardware pendukung dan membiarkannya berjalan. Seiring waktu berjalan, ia merasa kegiatan itu tidak lagi ideal. Ia juga harus memutar otak agar kegiatan itu tidak menyedot biaya listrik terlalu besar.

“Saya mining cuma delapan bulan. Setelah itu saya full investasi,” kata pria yang bekerja sebagai edukator keuangan untuk sebuah broker multiaset global itu.

Selain menjadi investor, ia turut mendirikan komunitas Cryptowatch bersama Danny Taniwan pada 2017 sebagai sarana berbagi ilmu seputar uang kripto. Diskusi komunitas itu dilangsungkan di media sosial Telegram.

Ia juga menerjemahkan buku putih (whitepaper) Bitcoin ke bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami para investor asal Indonesia. Selain itu, ia pun membagikan ilmunya seputar dunia investasi—termasuk kripto—melalui kanal Youtube-nya Duit Pintar.

“Supaya meminimalisir, karena terlalu banyak scam di dunia kripto. Karena kami enggak ingin ekosistem ini hancur.”

Coreng dan Kilap Kripto

Meski investasi aset lain juga tidak lepas dari rekam jejak buruk, citra kotor memang kadung lekat pada uang kripto. Salah satu kasus penipuan terbesar dalam perdagangan uang kripto adalah skandal OneCoin yang dilakukan perempuan asal Belgia, Ruja Ignatova.

Perempuan yang dijuluki Ratu Kripto itu mempromosikan OneCoin sebagai uang kripto yang diyakini dapat menantang keberadaan bitcoin. Pada akhirnya terungkap bahwa OneCoin hanya modus penipuan dengan skema Ponzi, dengan nilai kerugian nasabah sampai £ 10 miliar atau Rp 195 triliun. Harian Inggris The Times menyebut kasus itu sebagai salah satu penipuan terbesar dalam sejarah.

Kasus terbaru adalah penipuan token kripto Squid Game (SQUID). Jenis koin ini terinispirasi serial populer Squid Game meski tidak terafiliasi dengan tontonan bersambung dengan judul yang sama maupun Netflix. Pertama kali meluncur pada akhir Oktober lalu, dijual dengan harga US$ 0,01 per koin. Dalam waktu kurang dari seminggu, harganya melonjak hingga US$ 2.861 atau sekitar Rp 41 juta.

Dalam hitungan jam setelah mencapai harga tertinggi, harga koin itu anjlok hingga US$ 0,003222. Kreator token itu diyakini melakukan modul rug pull, yakni menarik modal yang ditanamkan investor pada token yang sebenarnya fiktif itu. Mereka kemudian menukarkan koin buatan mereka yang laku keras itu dengan uang konvensional.

Selain rentan terhadap penipuan, uang digital juga menjadi favorit para pelaku kriminal untuk mencuci uang yang mereka dapat dari hasil kejahatan. Meski blockchain memungkinkan transparansi aktivitas perpindahan uang, tapi sifat transaksi kripto yang anonim dan lintas batas memudahkan pelaku kejahatan untuk mencuci uang mereka.

Nilai kripto yang fluktuatif serta tingkat volatilitasnya yang tinggi juga membuat investasi di aset ini tergolong berisiko tinggi. Sejumlah taipan ternama pun memandang sinis uang virtual ini, salah satunya Warren Buffet. Investor saham kondang asal Amerika Serikat itu dikenal menentang keras keberadaan uang kripto. Bahkan pada 2018, ia mengibaratkan bitcoin sebagai “racun tikus yang berlipat ganda” saat diwawancarai CNBC.

Sikap berbeda ditunjukkan oleh pendiri Tesla, Elon Musk. Ia mengutarakan dukungannya terhadap uang kripto dibanding uang fiat. Tesla pun mengeluarkan modal hingga US$ 1,5 miliar untuk investasi aset kripto. Tesla juga mengizinkan uang kripto sebagai alat pembayaran untuk membeli mobil listrik produksi Tesla.

Dilansir dari Bisnis Indonesia, platform jual-beli kripto Tokocrypto menyebut bahwa jumlah investor kripto di Indonesia pada Juli 2021 sudah mencapai 7,5 juta investor. Sementara jumlah investor di pasar modal menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada Oktober 2021 adalah 6,76 juta investor.

Kalau saya membeli saham, ada underlying asset-nya. Ada perusahaannya, ada perusahaan yang bisa produksi, ada aset terlihat. Nah, bitcoin underlying asset-nya apa?

— Lo Kheng Hung

Mantap Memilih Bitcoin

Chris—begitu Christopher kerap disapa—sendiri saat ini sudah memantapkan diri sebagai investor, bukan trader yang berorientasi jangka pendek. Sejauh ini, akunya, ia selalu menangguk profit. Nilai jual aset kripto yang ia miliki selalu lebih tinggi dibanding modal yang ia keluarkan.

Chris hingga kini setia menjatuhkan pilihan kepada bitcoin, koin yang dirilis pada 2009 oleh seorang yang menggunakan Satoshi Nakamoto. Di halaman profil LinkedIn, Chris bahkan menyebut dirinya sebagai Bitcoin Evangelist. Istilah tersebut berarti adalah seorang yang memiliki passion terhadap bitcoin dan berdedikasi untuk menyebarluaskan informasi seputar Bitcoin.

Pilihannya pada bitcoin lantaran koin itu punya indikator penentuan harga yang lebih jelas dibanding koin-koin lain. Menurut Chris, ada tiga indikator penentu harga kepingan bitcoin.

Pertama adalah biaya produksi penambangan bitcoin. Kedua, adalah rasio stock-to-flow model, yakni jumlah bitcoin yang saat ini tersedia di pasar berbanding dengan jumlah kapasitas produksi. Dilansir dari laman Look Into Bitcoin, nilai rasio yang tinggi menandakan jumlah persediaan langka, sehingga bitcoin semakin berharga sebagai penyimpan nilai atau store of value. Lalu indikator ketiga adalah supply and demand, alias jumlah pasokan berbanding dengan jumlah permintaan.

Orang-orang kira bitcoin dibuat hanya untuk spekulasi. Padahal bitcoin dibuat untuk memperbaiki sistem moneter yang sudah ada saat ini, yang dinilai cukup bobrok.

— Christopher Tahir

Sementara laman Investopedia menyebut ada lima indikator penentu harga kepingan bitcoin. Yakni supply and demand, biaya penambangan, bayaran (reward) bagi penambang yang memverifikasi transaksi bitcoin di blockchain, kompetisi dengan jenis kripto lain, dan sentimen yang ditimbulkan berita.

Valuasi yang jelas itu membuat pergerakan harga bitcoin lebih mudah diprediksi. Koin itu pun cocok bagi pilihannya sebagai investor, karena ia berorientasi pada hasil jangka panjang.

Sementara ia melihat koin-koin kripto lainnya tidak memiliki valuasi jelas, sehingga lebih fluktuatif. Menurutnya, koin-koin lain lebih cocok untuk dijadikan alat trading, bukan sebagai aset. “Untuk jangka pendek aja, berdasarkan hype, momentum, dan sentimen,” ujarnya.

Sebagai praktisi investasi kripto, ia tidak memungkiri bahwa terdapat koin-koin lain yang harganya melonjak sangat tinggi, seperti dogecoin. Hanya saja, ia tetap menyarankan investor untuk berhati-hati karena keberuntungan yang sama belum tentu terulang lebih dari sekali.

“Yang ingin saya lakukan adalah hal yang bisa dilakukan semua orang dan bisa diulangi. Percuma kalau saya kasih satu cara yang enggak bisa dikerjain—kan kasihan,” kata Chris.

Investasi dalam Kripto

Bagi Chris, fungsi bitcoin sebagai aset juga cocok bagi kalangan calon investor yang hanya bergaji upah minimum regional (UMR). Dengan asumsi gaji orang itu setara dengan UMP DKI Jakarta sekitar Rp 4,5 juta, maka ia dapat menyisihkan 10 persen dari gajinya setiap bulan untuk berinvestasi di bitcoin.

Metode yang cocok digunakan adalah dollar cost averaging (DCA). Investor dapat menyisihkan jumlah dana untuk investasi yang sama setiap bulan, dibanding melakukan investasi dalam satu waktu.

Apalagi, investor tidak perlu membeli satu keping bitcoin yang per 7 Desember 2021 harganya sekitar Rp 740 juta. Sifat bitcoin yang dapat dipecah membuat investor dapat membeli pecahan terkecil bitcoin sesuai nilai yang disyaratkan platform transaksi.

Pecahan terkecil bitcoin adalah delapan desimal alias BTC 0,0000001, atau dikenal sebagai 1 satoshi. Di platform Tokocrypto yang melayani pembelian kripto dengan rupiah, nilai terkecil bitcoin yang dapat dibeli sebesar BTC 0,00001 atau sekitar Rp 7.400. Patut diketahui, jumlah itu belum termasuk biaya transaksi.


“Mungkin kalau belum bisa investasi banyak, bisa coba dulu dikit. Coba sedikit saja, 1-5 persen dari portofolio,” saran Chris. “Tujuannya kenal, terekspose, akhirnya belajar dari situ.”

Di tengah euforia kripto, Chris mengingatkan calon investor untuk tetap berpikir strategis sebelum terjun ke investasi kripto. Hal penting yang perlu dilakukan calon investor adalah memprioritaskan penghasilan terlebih dahulu untuk alokasi asuransi dan dana darurat.

Kemudian calon investor juga harus menetapkan tujuan mereka berinvestasi. Langkah ini diperlukan agar calon investor dapat memperkirakan dengan tepat jumlah imbal balik yang diharapkan sesuai kebutuhan.

Soal cryptocurrencies secara umum, saya bisa bilang ini akan berakhir buruk.

— Warren Buffet

Setelah itu, calon investor juga harus menjalani penilaian profil risiko alias risk profile assessment. Tujuannya agar calon investor dapat mengenali potensi risiko yang dapat ia tanggung.

Investor dengan tipe agresif pun tidak lantas menanggung sepenuhnya volatilitas nilai aset yang ia miliki. “Jangan sampai kita enggak tahan risikonya—stres, terus akhirnya kerjaan malah enggak beres,” kata Chris.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia