…

LONGFORM - SENIN, 8 JANUARI 2024

Hilang Tanah Adat Dayak Hibun Tergerus Sawit

Tanah adat masyarakat Dayak Hibung di Kabupaten Sanggau semakin menyusut. Tergerus ekspansi perkebunan sawit.

Penulis

Khairiyah Fitri

Tangan Yustina Simpun (67) sibuk memangkas rumput menggunakan parang di sawah pada siang itu, Jumat, 3 November 2023. Keringat mengucur di wajahnya yang berpayung caping penahan terik matahari. November merupakan bulan berladang bagi masyarakat adat Dayak Hibun di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Mereka kembali mengelola ladang setelah setahun absen.

Sawah seluas setengah hektar yang dikelilingi perkebunan sawit itu ditumbuhi belukar nampak lahan itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Yustina menggarap sawah bersama putrinya Marselina (43). Hasil berladang biasanya digunakan untuk kebutuhan dapur. Pun disimpan kalau-kalau keuangan keluarga lagi surut. “Satu tahun ini cukup untuk beras dimakan sehari-hari,” kata Yustina.

Bagi para perempuan Dayak Hibun, berladang adalah perjuangan untuk menjaga agar tungku dapur tetap menyala. Memastikan pangan di rumah tetap aman apalagi di musim paceklik. Mereka sadar tak bisa hanya bergantung pada sawit.

Di tempat lain, Ludiah (37) tengah berada di kebun sawit membantu suaminya. Ibu dua anak itu sedang mengumpulkan brondolan sawit yang jatuh di tanah. Satu-satu ia pungut dan disimpan di jarai, istilah bakul dari anyaman rotan khas Sanggau.

Tiap pukul 09.00 pagi hari Ludiah datang ke kebun seluas 2 hektar itu. Tak hanya kebun sawit, dia juga mengolah sawah dan kebun sayuran di dekat rumah. “Pagi-pagi saya masak dulu. Setelah anak ke sekolah, saya datang ke sini untuk bantu suami,” kata Ludiah saat ditemui di kebun sawit.

Brondolan sawit biasanya ia jual ke penadah mengikuti harga tandan buah segar (TBS) sawit yang diberlakukan tiap agen. Harganya tak menentu, mulai Rp 1.500 per kilo gram sampai 1.700 per kilogram. “Satu bulan dapat sekitar Rp 2 juta, bisa untuk beli kebutuhan memasak dan anak sekolah,” ujarnya.

Brondolan sawit di dalam Jarai, bakul dari anyaman bambu khas Suku Dayak Hibun di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Dayak Hibun adalah subsuku Dayak di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Suku ini tinggal menyebar di 95 kampung di lima kecamatan, seperti Kecamatan Parindu, Tayan Hulu, Tayan Hilir, Bonti dan Kembayan.

Ladang-ladang warga yang semula untuk tanaman pangan kini mulai berubah menjadi perkebunan sawit. Ekspansi perkebunan sawit juga menggeser sistem bercocok tanam di lahan kering oleh masyarakat Dayak dikenal sebagai berladang.

Meski terhimpit perkebunan sawit, masyarakat Dayak Hibun masih tetap mempertahankan kegiatan berladang mereka. “Ada timun dan paria, itu untuk keluarga konsumsi, kalau garap sawit saja tidak cukup untuk bahan makanan di rumah,” kata Ludiah.

Rata-rata para perempuan Dayak Hibun terjun langsung ke ladang, selain padi ada sayuran yang mereka tanam untuk dikonsumsi keluarga. Konsep ini merupakan tradisi adat, dijalankan sejak lama. Ada hubungan antara menjaga alam dan ritual adat yang masih dipertahankan secara turun temurun.

“Mayoritas masyarakat adat di desa kami menjadi petani sawit tapi mereka masih menyisakan lahan untuk sawah,” kata Plt Kepala Desa Gunam, Agus Pria Santoso.

Perempuan Dayak Hibun punya andil pada pertanian desa. Saat ini masih ada ladang padi kawasan tempat tinggal Dayak Hibun di Sanggau. Ladang tersebut dikepung hamparan perkebunan sawit. Luas lahan pertanian itu setiap tahun terus berkurang, tergerus ekspansi sawit yang semakin masif.

Laporan Kabupaten Sanggau dalam angka menyebutkan, pada 2019 terdapat sekitar 51.917 hektar sawah di Kabupaten Sanggau. Pada 2021 sampai 2022, luas sawah di sana menyusut hampir separuhnya menjadi tinggal 33.755 hektar saja.

Menyempitnya lahan persawahan berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian bukan sawah yang mencapai 835.057 hektar. Sekitar 41,92 persen atau 350.073 hektar dari lahan tersebut merupakan lahan perkebunan.

Eko Cahyono, Peneliti Sajogyo Institut mengungkapkan, para perempuan di desa terutama mereka yang berada di sekitar perkebunan sawit masih mempraktikkan pertanian subsisten atau tradisional dimana para petani perempuan berupaya memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Yustina Simpun (67) Petani Perempuan di Dusun Beruak, Desa Gunam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Ketika masyarakat hanya mengandalkan komoditas sawit sebagai mata pencaharian utama, ketahanan pangan yang diupayakan dengan berladang akan ditinggalkan. Jika ditelisik lebih jauh, hal itu akan berdampak pada perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan. Terbatasnya tanah yang bisa dikelola masyarakat menyebabkan adanya penyeragaman sekaligus pergeseran sumber penghidupan perempuan atau Livelihood yang semula mandiri menjadi tunggal dan bergantung pada sawit.

“Di berbagai tempat dampak yang jarang dilihat itu secara sosial ekonomi dan ekologis ada perubahan dari sistem subsistem livelihood hanya mengandalkan satu mata pencaharian. Jadi masyarakatnya menjadi rentan, terutama perempuan,” kata Eko.

Di sisi lain, para perempuan memiliki beban ganda sekaligus. Jadi ibu rumah tangga, petani ladang, petani sawit atau buruh di perkebunan sawit milik swasta. “Dalam perkebunan sawit pada umumnya masih menggunakan sistem patriarki, jadi perempuan memiliki kerentanan dan ada relasi yang intim dengan tanahnya yang tidak dimiliki laki-laki,” katanya.

Tidak hanya itu, keragaman benih dan hayati sebagai sumber pangan dan pendapatan masyarakat adat juga ikut menyusut. Perempuan Dayak Hibun sering membuat jarai dari rotan untuk dijual sebagai penghasilan tambahan ekonomi. Kini kebiasaan tersebut sudah jarang karena rotan semakin sulit dicari seiring meluasnya perkebunan sawit.

***

Kabupaten Sanggau merupakan daerah dengan perkebunan sawit terluas nomor dua di Kalimantan Barat. Hasil produktivitas sawit di kabupaten ini setiap hektarnya lebih besar dari kabupaten lain di provinsi berjuluk seribu sungai itu, dengan jumlah produktivitas sawit tahun 2022 sebesar 1.060.599 ton meningkat dari tahun 2021 sebesar 1.053.704 ton.

“Sentra ekonominya ditopang oleh pertanian sub sektor perkebunan,” kata Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan barat, Heronimus hero saat ditemui di Kantornya, Senin, 6 November lalu.

Hasil sensus pertanian tahun 2023 tahap I yang dirilis BPS kalimantan Barat menunjukan, jumlah rumah tangga pertanian (RTUP) kabupaten Sanggau meningkat dari 70.189 rumah tangga menjadi 80.806 rumah tangga atau naik 15,13 persen dari tahun 2013.

Meskipun meningkat sektor perkebunan masih mendominasi wilayah itu sebesar 71.504 RTUP dibandingkan tanaman pangan yang sebesar 45.204 RTUP sedangkan hortikultura 3.216 RTUP. “Kebetulan yang paling dominan di kita ini perkebunan, harus diakui memberikan nilai perekonomian di Kalimantan Barat,” kata Heronimus Hero.

Ada sekitar 43 perusahaan sawit berdiri di Sanggau, baik perusahaan sawit swasta maupun perusahaan milik negara. Kabupaten Sanggau juga memiliki pusat penelitian kelapa sawit yang berada di Kecamatan Parindu.

Pemerintah daerah lantas memfasilitasi berbagai dukungan kepada petani sawit. Namun, pengelolaan sawit yang semakin masif dikhawatirkan bisa menyebabkan para petani tidak lagi tertarik menanam jenis komoditas lain. “Semua pengelolaan sawit difasilitasi jadi sawit ini seperti magnet, yang saya takut itu semua berfokus ke sawit. Yang lain, seperti karet, ditinggalkan,” kata Heronimus.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, pemerintah seharusnya tak hanya memikirkan nilai ekonomi dari konsesi sawit di daerah itu, namun perlu memikirkan dampak jangka panjang yang ditimbulkan. Secara umum praktik ekstraksi sumber daya alam berskala besar seperti sawit dan kayu berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan.

“Dampaknya itu sangat luas, mulai dari lingkungan hingga konflik sumber daya alam yang ditimbulkan,” kata Kepala Divisi Kajian, Dokumentasi dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam.

Analisis Global Forest Watch Indonesia menunjukan tahun 2022 Kabupaten Sanggau kehilangan 456 kha tutupan pohon tahun 2022 atau turun 40 persen setara 285 Mt emisi karbon. Bila bentang alam dan wilayah resapan air berkurang maka daya tampung lingkungan ikut menurun. Akibatnya, banjir akan sering terjadi.

Kabupaten Sanggau dialiri beberapa sungai di antaranya, Sungai Kapuas, Sungai Sekayam, Sungai Mengkiang, Sungai Kambing, dan Sungai Tayan. Berdasarkan Dokumen Kajian Risiko Bencana Nasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat tahun 2022 hingga 2026 Kabupaten Sanggau memiliki tingkat kerentanan dan risiko banjir yang tinggi. “Kalau dihitung dari intensitas kejadian banjir semakin sering terjadi,” kata Hendrikus.

Perlawanan Masyarakat Adat untuk Tanahnya

Redatus Musa masih mengingat jelas waktu diminta masyarakat melepas pekerjaannya di perkebunan sawit PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) setelah puluhan tahun bekerja. Musa sempat dilematis lantaran menyangkut ekonomi keluarga dan tanggung jawabnya sebagai kepala dusun.

Keputusan itu bukan tanpa sebab dia bersama warga berjibaku mempertahankan tanah adat mereka di Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau. “Pilihannya apakah saya menjadi kepala dusun dan melanjutkan perjuangan desa, Kalau saya pilih tetap bekerja, risikonya tanah saya hilang dan saya dibenci oleh masyarakat,” kata Musa.

Peta Penggunaan Lahan PT MAS di Dusun Entapang dan Dusun Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Konflik antara masyarakat adat di wilayah Perkebunan PT MAS II di Sanggau telah berlangsung lama. Puncak protes terjadi saat Sime Darby mengambil alih manajemen PT MAS pada tahun 2007, masyarakat adat Dayak Hibun mulai membentuk gerakan perlawanan. Sime Darby merupakan perusahaan raksasa asal Malaysia, pengelolaan minyak sawit mentah Crude Palm Oil (CPO. Sime Darby juga merupakan pendiri sekaligus anggota Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO).

Namun, aksi protes warga berhadapan dengan aparat yang melakukan penangkapan. Desa Kampuh sempat seperti “kampung mati” usai masyarakat di sana menggelar aksi demo. Sebagian besar warga yang berdemo melarikan diri ke hutan karena takut ditangkap aparat keamanan. Lima orang ditangkap polisi, empat di antaranya dihukuman 2 tahun penjara dengan tuduhan sebagai dalang dan memprovokasi agar melawan pihak perusahaan

“Perusahaan menurunkan aparat kepolisian Sanggau dibantu oleh beberapa TNI juga. Teman kami ditangkap, kampung ini kaya kampung mati, warga lari ke hutan,” kata Musa.

Konsesi PT MAS dimulai pada tahun 1995, ketika itu pihak perusahaan mengadakan sosialisasi kepada masyarakat adat Dayak Hibun di Kecamatan Bonti, Tayan Hulu, Parindu dan Kembayan supaya menyewakan tanah mereka untuk perkebunan kelapa sawit. Data e-Sawit Kabupaten Sanggau menyebutkan, luas Izin lokasi dibangunnya perkebunan PT MAS pada periode 1995 seluas 24.000 hektar, perusahaan merevisi izin lokasi perkebunan dengan luas 708.270 hektar pada tahun 2014, dikeluarkan Bupati Sanggau.

Masyarakat adat Dayak Hibun di Dusun Kerunang dan Entapang setuju untuk menyewakan 1.462 hektar tanah mereka selama 25 tahun dengan mekanisme adat Derasa yang berarti meminjamkan yang dituturkan secara lisan. Warga tak pernah meneken dokumen perjanjian secara tertulis.

Kala itu kompensasi yang diterima masyarakat adat senilai Rp 50.000 per hektar itu pun dibayarkan hanya satu kali. Keterbatasan pengetahuan jadi alasan para petani menyerahkan tanah. Di tahun itu, jumlah warga yang tamat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) hanya sekitar 45 orang.

“Memang waktu itu disampaikan kepada orang tua kami, ‘bapak-bapak dan ibu-ibu, tidak usah khawatir karena tanah bapak-bapak dan ibu ini akan kami pakai selama 25 tahun’,” kata Musa menirukan ucapan orang perusahaan.

Seorang pekerja tengah duduk beristirahat di Pos Pintu Masuk PT MAS di Desa Rahayu, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Sabtu 4 November 2023

PT MAS mendapatkan izin Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah seluas 8.741 hektar berdasarkan SK Kepala Badan Pertanahan Nasional No.23/HGU/2000. Wilayah konsesi PT MAS tumpang tindih dengan lahan masyarakat adat Kerunang, Entapang dan beberapa kampung adat lain.

Dalam HGU disebutkan bahwa perusahaan memiliki hak untuk menanam kelapa sawit hingga tahun 2030, artinya konsesi PT MAS berlangsung selama 35 tahun. Hal itu jelas melanggar Derasa, sebab berdasarkan kesepakatan tersebut izin pemakaian lahan hanya berlaku 25 tahun yang artinya perjanjian berakhir pada 2022 lalu.

Musa sendiri juga awalnya tak tahu-menahu apa itu HGU. Dia hanya ditugaskan meminta masyarakat menandatangani pelepasan hak atas tanah kepada perusahaan. Ia baru paham setelah meminta penjelasan dari kenalannya yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII.

“Jujur waktu itu kan kami nggak tahu juga apa itu surat pelepasan hak atas tanah, lalu saya temui kenalan saya,” ujarnya. Setelah tahu bahwa penandatanganan HGU itu berarti pelepasan lahan, Musa dan warga memutuskan untuk menolak tanda tangan.

Namun, kata Musa sebagian petani ada yang terpaksa ikut tanda tangan karena khawatir tak bisa bertani, masalah lain anak mereka yang bekerja di perusahaan itu terancam bakal dipecat. “Karena ada anaknya kerja. Kalau anaknya yang kerja, orang tuanya ikut nanti posisi anaknya akan diberhentikan dari perusahaan,” tuturnya.

Mereka yang menolak menandatangani surat pelepasan lahan juga diancam tidak diberikan kebun plasma atau sistem kemitraan dengan perusahaan. Tekanan dari pihak perusahaan membuat sebagian masyarakat adat berhenti berjuang di tengah jalan. Meski begitu, sebagian masyarakat adat Dayak Hibun terutama yang tinggal di Dusun Kerunang dan Entapang masih tetap menolak perusahaan.

Manajer Kampanye Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, Aries Bira mengatakan, konflik tersebut makin kompleks lantaran tidak terealisasinya plasma dan keputusan perusahaan untuk tidak lagi membeli TBS masyarakat di sekitar perkebunan. Sedikitnya ada empat isu dalam konflik yang terjadi, seperti status tanah dan pola kemitraan, kredit dan koperasi, Janji dan kewajiban perusahaan, serta intimidasi dan teror.

Di tahun 2012 sebuah babak baru bagi masyarakat adat, mereka mengadukan Sime Darby ke RSPO di Singapura. “Upaya komplain kami ke RSPO terkait konflik lahan tersebut membuktikan bahwa HGU perusahaan tidak diberikan. Hal ini sesuai dengan surat dari BPN yang dilampirkan dalam laporan,” kata dia.

Pada tahun 2019 Kantor Staf Presiden menerbitkan surat agar dilakukan percepatan penyelesaian konflik lahan masyarakat dengan pihak perusahaan namun tidak pernah diindahkan.

Warga juga sudah melakukan pemetaan lahan bersama dengan pihak PT MAS. Tapi pihak manajemen tidak bersedia mengeluarkan berita acara hasil pengukuran lahan tersebut.

Lama berkonflik dengan perusahaan hingga kini tak menemui titik temu, pada 10 Agustus 2023 RSPO mengeluarkan Surat Keputusan Komplain Panel (CP RSPO) yang menolak aduan masyarakat adat Entapang dan Kerunang. Alasannya, aduan tersebut kurangnya bukti. Selain itu RSPO beralasan PT MAS bukan lagi anak usaha Sime Darby.

Masyarakat Dayak Hibun berencana mengajukan banding atas putusan sepihak yang dikeluarkan CP RSPO. Selain itu mereka juga akan melakukan somasi untuk menetapkan sanksi adat karena pihak swasta telah serampangan menafsirkan Derasa.

Tempo meminta konfirmasi ke pihak perusahaan dengan mendatangi kantor PT MAS I di Desa Rahayu, Kecamatan Parindu. Namun pihak Humas PT MAS tidak bersedia memberikan penjelasan dengan alasan tidak dapat memberikan informasi karena menyangkut persoalan internal perusahaan.

Konflik Masyarakat Adat Dayak Hibun dan PT MAS

Konflik antara masyarakat adat Dayak Hibun Dusun Kerunang dan Entapang dengan PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) sudah sejak tahun 1995. PT MAS melanggar perjanjian peminjaman lahan atau Derasa, mekanisme adat Dayak Hibun. Hingga kini konflik itu tak kunjung selesai.

1995

PT MAS membuat perjanjian dengan mekanisme adat Derasa tanpa meneken dokumen tertulis.

2000

Masyarakat adat tidak diberitahu tentang adanya HGU seluas 8.741 hektar. Dalam HGU, PT MAS mengklaim hak menguasai tanah sampai 2030.

2007

Sime Darby mengambil alih manajemen PT MAS. Masyarakat yang terkena dampak berdemi, 5 ditangkap polisi. Mereka mengajukan 14 tuntutan kepada Sime Darby yang memiliki sertifikat RSPO.

2012

Setelah 5 tahun, tuntutan tak ditanggapi. 9 komunitas adat mengajukan komplain ke RSPO.

2013

Masyarakat adat tidak setuju dengan metode penyelesaian konflik yang dibentuk perusahaan.

2015

Masyarakat adat Kerunang dan Entapang mengajukan proposal sulusi konflik kepada Sime Darby untuk pemetaan lahan melihatkan masyarakat tapi ditolak.

2019

Kantor Staf Presiden menerbitkan surat percepatan penyelesaian konflik lahan masyarakat dengan pihak perusahaan.

2023

Pada 10 Agustus 2023 RSPO mengeluarkan Surat Keputusan Komplain Panel (CP RSPO) yang menolak aduan masyarakat adat Entapang dan Kerunang. Masyarakat adat akan ajukan banding.

Sumber: TUK Indonesia

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Khairiyah Fitri

  • Editor

    Agung Sedayu

  • Multimedia

    Krisna Adhi Pradipta

    Rizkika Syifa

    Sunardi Alunay

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya