Proyek

Jalan Panjang Penurunan Harga Tes PCR

Rabu, 08 September 2021

Setelah turun, harga tes PCR Indonesia jadi salah satu yang terendah di ASEAN. Butuh waktu setahun lebih untuk mewujudkannya.

Oleh Faisal Javier

tempo

Harga tes polymerase chain reaction (PCR) mandiri di Indonesia sempat jadi sorotan lantaran terlalu mahal. Dengan harga batas atas Rp 900 ribu, tes itu sulit dijangkau beberapa kalangan. Presiden Joko Widodo, populer disapa dengan Jokowi, pun memerintahkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menurunkan harga tes PCR.

“Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000,” kata Jokowi dalam keterangannya melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Ahad, 15 Agustus 2021. Dalam kesempatan yang sama, ia juga meminta hasil tes agar dipercepat maksimal 1x24 jam.

Rencana penurunan harga tes PCR sebenarnya telah dimulai dua hari sebelum pidato Jokowi. Hal itu diungkapkan Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Polhukam PMK), Iwan Taufiq Purwanto. Ia mengatakan bahwa pelaksanaan evaluasi batas atas harga PCR dilakukan BPKP setelah menerima permohonan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 13 Agustus 2021.

“... karena terdapat penurunan harga beberapa komponen, sehingga regulasi mengenai harga acuan tertinggi perlu disesuaikan,” kata Iwan dalam Koran Tempo edisi 23 Agustus 2021.

Sehari setelah pesan Jokowi, Kemenkes pun langsung menetapkan batas tarif tertinggi tes PCR menjadi Rp 495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk luar Jawa-Bali. Kebijakan itu dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/I/2845/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), dan berlaku sejak 17 Agustus 2021.

“Setelah kita evaluasi, sudah terjadi penurunan harga, dan berdasarkan penurunan itu kita lakukan perhitungan ulang unit cost, didapatkan harga tertinggi Rp 495 ribu,” kata Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir dalam konferensi pers pada Senin, 16 Agustus 2021.

Harga itu hanya berlaku bagi masyarakat yang ingin melaksanakan tes PCR secara mandiri. Sedangkan bagi mereka yang memerlukan tes PCR di puskesmas dalam rangka tes dan lacak penyebaran Covid-19, biayanya ditanggung pemerintah.

Surat edaran itu pun otomatis menggugurkan batas tarif tertinggi tes PCR yang ditetapkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang berlaku sejak 5 Oktober 2020. Dalam surat itu disebutkan bahwa batas atas harga tes PCR adalah Rp 900 ribu.

Sebelum surat edaran tersebut, harga tes PCR mandiri saat itu juga telah mendapat sorotan. Ketidakhadiran aturan hukum soal batasan tarif membuat harga tes PCR saat itu bervariasi dan terbilang mahal. Harga tes PCR berkisar antara Rp 3 juta sampai Rp 5 juta per sekali tes seperti dilaporkan Koran Tempo edisi 15 September 2020.

Empat bulan sebelumnya, Presiden Jokowi telah meminta standarisasi harga tes PCR. Harga tes PCR jadi polemik lantaran terlalu mahal bagi para pelaku perjalanan. Harga tes yang di atas Rp 1 juta membuatnya bahkan lebih mahal dari tiket perjalanan.

“Tadi Bapak Presiden juga menegaskan pentingnya standarisasi harga bagi mereka yang akan melaksanakan bepergian dan wajib untuk tes PCR,” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, usai rapat terbatas bersama Jokowi, Kamis, 4 Juni 2020.

Sebelum Kemenkes akhirnya menurunkan harga tes PCR mandiri pada bulan lalu, anggota Ombudsman Alvin Lie telah mengusulkan pada Agustus 2020 agar harga tes PCR bisa diturunkan hingga Rp 500 ribu. Usul itu mempertimbangkan harga komponen reagen sekitar 20-25 dolar AS atau Rp 300-400 ribu, serta perlengkapan tes lainnya dan sumber daya manusia (SDM).

“Dengan harga Rp 500 ribu seharusnya penyedia jasa sudah untung,” kata Alvin Lie pada Koran Tempo edisi 25 Agustus 2020. 

Namun harga tes PCR mandiri yang tinggi saat itu, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Ichsan Hanafi, tidak terlepas dari jumlah laboratorium yang masih terbatas. Sementara di sisi lain permintaan pemeriksaan sampel tinggi. “Hukum ekonomi berlaku. Makanya mungkin tempat-tempat pemeriksaan harus diperbanyak,” kata Ichsan pada Koran Tempo.

Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Susi Setiawaty menjelaskan bahwa dalam pengetesan PCR, ada sejumlah kelengkapan yang harus disiapkan. Antara lain laboratorium biosafety level 2 (BSL-2), mesin PCR, reagen ekstraksi, alat pelindung diri (APD), test kit, hingga bahan medis habis pakai (BHMP). Rumah sakit atau laboratorium swasta juga harus menghitung biaya operasional, listrik, air, dan SDM yang meliputi analis swab, dokter patologi klinik atau ahli mikrobiologi.

“Kalau mau harga di bawah itu, reagen, alat, atau APD seharusnya disubsidi. Selama ini kami semua beli sendiri. Kalau mau dipukul rata, kami minta bantuan, dong,” kata Susi dalam Koran Tempo edisi 15 September 2020.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah memberi keringanan bebas bea masuk dan cukai, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak Penjualan bagi barang impor untuk keperluan penanganan Covid-19. Kebijakan itu diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.04/2021 202134/PMK.04/2020 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Untuk Keperluan Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Beleid ini menyempurnakan aturan serupa yang telah dirilis pada awal pandemi. Barang-barang perlengkapan pengujian sampel swab PCR seperti APD, test kit dan reagen laboratorium, serta virus transfer media (VTM)—medium pembawa spesimen—masuk dalam kategori barang yang mendapat fasilitas itu sejak awal pandemi.

Setelah penurunan harga batas atas tes PCR per 17 Agustus 2021, Abdul Kadir tak menutup kemungkinan batasan harga tertinggi tes PCR akan kembali berubah di masa mendatang. Dinamika naik turun harga komponen-komponen itu ia sebut akan terus dipantau dan akan jadi pertimbangan utama.

“Tak menutup kemungkinan jika saatnya nanti akan ada evaluasi lagi, harganya bisa lebih turun lagi,” kata Kadir.

Setelah penurunan yang berlaku sejak pertengahan Agustus, harga tes PCR Indonesia kini jadi yang termurah ketiga se-Asia Tenggara setelah Laos dan Vietnam. Laos menetapkan harga tes PCR sebesar 50 ribu Kip atau sekitar Rp 74 ribu bagi pasien rumah sakit, kasus medis, pegawai negeri, dan pelajar. Namun bagi orang asing serta pekerja Laos yang butuh tes PCR untuk pergi ke luar negeri, dikenakan harga 650 ribu Kip atau Rp 966 ribu.

Sedangkan Vietnam pada bulan Juli lalu menetapkan harga tes PCR sebesar 734 ribu Dong, atau senilai Rp 461 ribu. Namun mereka yang diwajibkan menjalani tes dalam rangka tes dan lacak mendapat layanan tes PCR gratis.

Harga tes usap di sejumlah bandara di Indonesia pun mengikuti pemberlakuan tarif tertinggi itu. Bandara di Jawa-Bali menerapkan harga tes PCR Rp 495 ribu, sedangkan harga tes PCR di bandara luar Jawa-Bali Rp 525 ribu.

Sebelum penurunan harga batas atas hingga 45 persen itu, harga tes usap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta sekitar 54 dolar AS atau sekitar Rp 776 ribu berdasarkan data konsultan riset penerbangan Skytrax pada April 2021. Dengan harga itu, harga tes PCR di Bandara Soekarno Hatta merupakan termahal ke-49 di antara 70 bandara yang didata Skytrax. Sedangkan harga tes usap di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali lebih mahal sekitar Rp 100 ribu dan ada di posisi ke-47.

Dengan penurunan harga itu, maka kini dua bandara internasional itu masuk 20 bandara dengan harga tes PCR termurah versi Skytrax. Harga tes PCR terendah ada di Bandara Mumbai, India dengan harga sekitar Rp 115 ribu.

Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono menyebut ketergantungan terhadap komponen impor adalah hambatan utama dalam menurunkan tarif. Kemampuan penyediaan layanan tes PCR murah tidak terlepas dari kemampuan suatu negara dalam memproduksi sendiri mesin dan alat tes PCR, seperti yang dicontohkan India.

“Kita (Indonesia) memang sudah membuat teknologi PCR, namun masih skala kecil dan itu tidak cukup mengingat pabrik dan laboratorium yang masih terbatas,” kata Pandu dilansir dari dalam Koran Tempo edisi 23 Agustus 2021.

Ia menyarankan pemerintah agar dapat memberi insentif bagi industri manufaktur yang berkomitmen dalam produksi perlengkapan tes PCR untuk bersaing dengan barang-barang impor. “Kalau harga tidak kompetitif, orang akan tetap lebih suka beli dari luar dan bisa mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya,” ujarnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti ketiadaan informasi yang jelas soal komponen-komponen yang menentukan harga PCR. Kemenkes juga tidak menyampaikan informasi besaran persentase keuntungan yang didapat pelaku usaha di industri pelaksana tes PCR.

“Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah pada siaran pers bertanggal 15 Agustus 2021.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia