Proyek

Perantau Relakan Duit Tergerus Covid

Jum'at, 13 Agustus 2021

Terjangkit Covid-19 memaksa golongan perantau untuk mengeluarkan uang lebih banyak karena kurangnya fasilitas atau informasi yang mereka dapat. Padahal gaji mereka pun tak seberapa.

Oleh Faisal Javier

tempo

Luthfi Husnika terkejut ketika mendapati hasil tes antigen menyatakan dirinya positif Covid-19 pada Sabtu, 26 Juni 2021. Jurnalis di Surabaya itu menjalani tes antigen sebagai persyaratan untuk liputan agenda sebuah hotel. “Aku enggak ada gejala sama sekali pas itu. Selama ini enggak kenapa-kenapa, kok,” katanya pada 22 Juli 2021.

Esoknya Luthfi merasa tidak enak badan. Kemudian ia melapor ke kantor dan diminta untuk segera melakukan tes PCR. Ia menuruti arahan itu, lantas melakukan tes PCR di sebuah rumah sakit di daerah Surabaya Barat pada keesokan harinya, Senin, 28 Juni 2021. Hasil keluar sehari berikutnya dan menyatakan dirinya positif Covid-19. Ia pun menjalani isolasi mandiri (isoman) dan bekerja dari kamar kosnya.

Luthfi beruntung biaya PCR senilai Rp 800 ribu ditanggung oleh media tempatnya bekerja, meski ia mengeluhkan proses pengembalian uang (reimburse) yang memakan waktu 2 sampai 3 minggu, “Padahal kita butuh (uang) buat (beli) vitamin dan suplemen,” kata Luthfi yang berpenghasilan tetap sekitar Rp 4,6 juta sebulan.

Biaya hidup Luthfi jadi meningkat selama ia menjalani isoman. Biasanya perempuan asal Nganjuk itu menyisihkan Rp 1 juta untuk belanja sebulan, termasuk bahan makanan. Namun selama menjalani isoman hampir 3 minggu ia sudah menghabiskan uang hampir 3 kali lipatnya.

“Pokoknya duit Rp 3 juta itu sisa 300 ribuan gitu buat ongkos pulang (ke Nganjuk),” kata Luthfi. 

Biaya makan membengkak karena ia membeli buah-buahan, suplemen, susu, minyak kayu putih, dan masker KN95 dan KF94. Ia mengaku membeli semua itu tanpa perencanaan dan penghitungan yang cermat karena tidak tahu apa saja yang harus dibutuhkan selama isoman.

“Aku sampai ambil tabunganku sama suamiku buat beli properti,” ceritanya. 

Ia tidak berani membeli obat karena tidak tahu obat apa saja yang diperlukan untuk mengatasi gejala Covid-19. Kantornya pun hanya mengiriminya obat herbal tradisional yang tidak ia sentuh sama sekali, serta vitamin yang justru baru datang saat ia selesai isoman dan sedang di Nganjuk.

Selain itu, biaya listrik kamarnya juga meningkat. Sebelum menjalani isoman, ia hanya menghabiskan biaya listrik sebesar Rp 50 ribu untuk 2 minggu, tapi saat ia isoman biaya itu hanya cukup untuk 1 minggu.

“Kipas hampir 24 jam nyala karena Surabaya panas, harus ngecas laptop karena harus kerja dari kos,” kata Luthfi.

Konsekuensi lain yang harus ia hadapi adalah tidak dapat bertemu suaminya yang baru ia nikahi 2 bulan sebelumnya. Padahal sang suami yang bekerja dan tinggal di Kediri biasa menyambanginya setiap akhir pekan. Pasangan itu mengambil keputusan tersebut karena mereka berdua enggan mematuhi kebijakan kantor sang suami yang mewajibkan anggota keluarga karyawan yang positif Covid-19 untuk menunjukkan hasil tes PCR negatif jika sudah sembuh. Padahal kebijakan itu tidak perlu diterapkan menurut pedoman Kementerian Kesehatan, dan kantor Luthfi juga mengikuti pedoman itu. Toh, kantor suaminya pun tidak memfasilitasi atau membiayai tes.

“Akhirnya memutuskan enggak ketemu suami dulu 2 bulan,” cerita Luthfi.

Sedangkan Mar’atus Sholikha tidak mengeluarkan biaya sebanyak Luthfi, tapi ia harus mengeluarkan biaya sendiri untuk tes antigen sebesar Rp 175 ribu ketika ia merasakan gejala Covid-19. Mar’a yang asal Bojonegoro ini bekerja sebagai moderator konten media sosial di sebuah perusahaan jasa layanan internet di Surabaya dengan sistem bayaran per sif. Rata-rata, penghasilannya per bulan adalah sekitar Rp 3,5 juta sampai Rp 4 juta.

Ketika mendapatkan hasil tesnya positif Covid-19, Mar’a pun tidak tahu kebutuhan apa yang harus ia sediakan selama isoman, termasuk obat-obatan. “Cuma disuruh berjemur, banyak istirahat, sama perbanyak makan,” katanya. 

Mar’a lantas hanya membeli minyak aromaterapi untuk menyembuhkan gejala anosmia sekitar Rp 14 ribu, serta vitamin sekitar Rp 150 ribu. Ia kembali mengeluarkan biaya sebesar Rp 130 ribu untuk menjalani tes antigen setelah ia sembuh. Jika ditotal, ia menghabiskan biaya sekitar Rp 469 ribu.

“Perlu buat surat bukti negatif supaya bisa WFO (Work from Office),” ujar Mar’a. 

Apakah yang harus dibeli saat Covid-19?

Ia mengaku, bekerja dari kamar kos selama isoman membuat biaya pengeluarannya membengkak. Sebagai contoh, biaya internet yang mencapai Rp 270 ribu selama ia isoman. Biasanya ia hanya menghabiskan biaya internet Rp 60 ribu untuk sebulan, dan itu pun, “masih sisa banyak.” Ini karena kosnya tidak menyediakan fasilitas Wifi, sehingga ia terpaksa harus bekerja menggunakan kuota internet gawainya meski kantornya tidak memberi insentif kuota internet sepeser pun. 

Mar’a juga terpaksa harus memesan makanan melalui aplikasi ojol selama isoman. Ia dapat menghabiskan biaya sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 60 ribu per hari, padahal sebelum isoman ia hanya menghabiskan biaya makan sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 35 ribu untuk sehari.

Sama seperti Luthfi, Mar’a juga merasakan biaya listrik kamar kosnya ikut membengkak selama isoman. Penggunaan daya listrik kamar kosnya meningkat karena lampu kamar terus menyala dalam waktu yang lama, serta pengecasan laptop berulang kali.

“Biasanya 60 ribu sebulan jadi 80-90 ribuan sebulan,” kata Mar’a.

Mau tak mau Mar’a tetap harus bekerja selama isoman karena ia bisa kehilangan ratusan ribu rupiah per sif jika memutuskan untuk cuti.

BPS pada Maret 2021 mengumumkan Garis Kemiskinan adalah Rp 472.525 per kapita per bulan, terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 349.474 dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 123.051. Maka, menurut BPS penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan itu.

Luthfi dan Mar’a tentu tidak masuk dalam kategori itu. Bank Dunia pada September 2019 mengeluarkan laporan Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class, dan mengklasifikasikan kelas menengah Indonesia berdasarkan pengeluaran bulanan sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 6 juta. Tentu saja mereka berdua masuk dalam kategori ini. Namun, pengeluaran yang membengkak selama isoman tetap saja membebani mereka sebagai perantau dengan pendapatan hanya sebesar kisaran Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya 2021.

Beruntung bagi Luthfi, penyakit itu menjangkitinya di saat yang tepat. Gaji baru saja turun tak lama sebelum ia dinyatakan positif Covid-19, dan ia selalu langsung menyisihkan gaji untuk pos pengeluaran yang telah ia tetapkan. Sehingga pengeluarannya saat isoman tidak mengganggu pos pengeluarannya yang lain. Selain itu, ia juga mendapat tambahan uang dari suaminya.

Tapi ia menyayangkan minimnya informasi yang ia dapat. Sebagai pendatang, ia tidak banyak mengetahui informasi soal layanan kesehatan atau bantuan yang dapat membantunya menekan biaya. Sehingga pengeluarannya membengkak lantaran panic buying

Layanan telemedicine baru menyentuh Kota Surabaya pada 22 Juli 2021 bersama beberapa kota dan kabupaten lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Sebelumnya layanan itu hanya mencakupi wilayah Jabodetabek saja. Tapi saat itu Luthfi sudah melewati masa isoman yang menandakan ia telah sembuh dari Covid-19.

tempo

“Kalau aku tahu telemedicine dari awal, aku jadi tahu apa yang harus aku beli, jadi enggak harus keluar (uang) banyak,” kata Luthfi. Mar’a juga mengeluhkan hal serupa. Jika ia tahu akses layanan kesehatan gratis atau bantuan selama isoman, ia mengaku bisa lebih cermat dalam mengatur pengeluarannya.

Akses informasi jadi kebutuhan mendasar bagi mereka yang terjangkit Covid-19. Apalagi bagi para perantau yang harus mengekos, minimal mereka tahu ke mana mereka dapat menjalani isoman gratis untuk menghindari penularan yang lebih masif. 

Tempat tinggal bersama seperti rumah kos memang berpotensi besar jadi sumber penularan Covid-19. Apalagi jika fasilitas kamar mandi di kos itu masih diperuntukkan penggunaan bersama. Jika ada satu atau lebih orang anak kos yang ternyata terjangkit Covid-19, ia bisa menulari penghuni kos lainnya melalui fasilitas kamar mandi bersama.

Luthfi bercerita, seorang teman kuliahnya terpaksa pindah ke kosnya saat ia terjangkit Covid-19 hanya untuk mendapat fasilitas kamar mandi dalam kamar kos. Ini karena kamar mandi di kos lamanya masih terletak di luar kamar kos dan digunakan bersama.

Anak kos yang terjangkit Covid-19 pun berpotensi dikucilkan atau bahkan diusir dari lingkungan tempat tinggalnya. Koalisi warga pemantau wabah LaporCovid-19 dalam siaran pers tanggal 22 Juli 2021 menyebut pihaknya mendapat 48 laporan warga yang diusir dari lingkungan atau kosnya dan kesulitan mencari tempat isoman. 

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia