Proyek

Di Balik Kesenjangan Upah Berbasis Gender

Banyak orang mengira bahwa kesenjangan upah antara lelaki dan perempuan disebabkan oleh diskriminasi gender - namun kenyataannya lebih pelik ketimbang itu.

Oleh Erica Widjaja

tempo

Ketika mempertanyakan sumber ketimpangan dalam dunia kerja, banyak orang– hingga saat ini, termasuk saya sendiri -- masih percaya diskriminasi gender adalah penyebabnya. Keyakinan tersebut akurat di masa lampau. Di tahun 1950-an, ada prasangka yang luas bahwa perempuan tidak siap terjun ke dalam dunia kerja. Tatanan sosial dan budaya saat itu menempatkan peran perempuan hanya terbatas sebagai ibu rumah tangga. Faktor lainnya yang juga memicu kesenjangan upah adalah tingkat pendidikan, partisipasi kerja, dan munculnya profesi ‘feminin’ yang cenderung bergaji rendah. 

Namun, itu kondisi tujuh dekade silam. Dulu, menolak mempekerjakan perempuan hanya karena masalah gender dianggap sah-sah saja. Hari ini, penolakan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Tak ada lagi pandangan yang menganggap perempuan kurang berkompeten. Malah banyak perempuan yang lebih unggul dalam dunia kerja dan akademik dibandingkan laki-laki. Proporsi perempuan yang lulus perguruan tinggi saat ini mencapai 56 persen, dengan jumlah pengangguran berada pada skor terendah. Selain itu, jumlah CEO perempuan sudah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa. 

Banyak negara telah menyempurnakan undang-undang yang menjamin kesetaraan gender dalam dunia kerja. Bahkan, ada beberapa peraturan seperti Equal Pay Act, yang mengharuskan upah setara antara laki-laki dan perempuan, untuk jenis pekerjaan yang sama. Selain itu, banyak perusahaan telah berkomitmen untuk menetapkan target perekrutan dan transparansi gaji untuk menjamin kesetaraan tersebut. 

Meskipun diskriminasi terhadap perempuan masih ada, pengaruhnya terhadap kesenjangan upah hanya sedikit. Lantas, apa penyebab sesungguhnya kesenjangan upah masih ada hingga saat ini? Sayangnya, akar masalah ini sulit digali. 

Suatu kali, saya berdiskusi dengan teman mengenai kesenjangan upah yang mencolok antara pria dan perempuan yang berkeluarga di Indonesia. Ia mengamini perbedaan tersebut dengan mengatakan, “Anda tahu, penelitian menunjukkan kinerja perempuan di tempat kerja lebih rendah daripada pria.”

Pernyataan itu sangat membekas dalam benak saya hingga saat ini, karena itu benar. Secara umum, karyawan perempuan yang telah berkeluarga cenderung menghabiskan lebih sedikit waktu untuk bekerja sehingga kurang berprestasi. Butuh waktu yang lama bagi mereka untuk dipromosikan dan meningkatkan upah ketimbang pria. Sebagian besar penulis akan memasukkan fakta dan angka yang dramatis untuk menguatkan pernyataan mereka sebelumnya mengenai perbedaan kemajuan karir antargender. Tetapi, saya tidak akan seperti itu. Jujur, tak lain karena angka-angkanya cukup menyedihkan. 

tempo
Berdasarkan Pusat Analisis Kebijakan Dunia, hanya 87 dari 193 negara di dunia yang menjamin upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama berdasarkan gender. Sumber dan Infografis: Social Work Today

Di masa pandemi Covid-19, statistik dari Biro Tenaga Kerja Amerika Serikat menunjukkan, meski ada penambahan pekerjaan pada September, jumlah orang yang berhenti bekerja lebih banyak karena meningkatnya beban mengasuh. Mayoritas adalah perempuan di usia emas karir mereka. Dari 1,1 juta orang yang berhenti bekerja secara sukarela, 865 ribu adalah perempuan, sedangkan 216 ribu sisanya adalah pria. 

Dalam konteks pandemi, perempuan di seluruh dunia menghadapi dilema untuk memilih merawat anak yang belajar dari rumah dan melaksanakan tugas domestik, atau bekerja penuh waktu. Kondisi dilematis ini cenderung berdampak buruk pada karir perempuan ketimbang laki-laki.

Problematika ini diperburuk oleh berkurangnya layanan penitipan anak yang dilaporkan turun sebesar 18 persen selama pandemi. Menghadapi persoalan ini, keputusan perempuan untuk berhenti bekerja terasa masuk akal secara ekonomi. Umumnya, akan lebih menguntungkan jika suami - yang diasumsikan memiliki upah lebih tinggi - terus bekerja dan memberikan dukungan finansial.

Potret buram itu didukung oleh adanya seperangkat konstruksi budaya yang melekatkan peran utama pengasuhan anak kepada perempuan. Sehingga, perempuan dianggap paling bertanggung jawab terhadap pengasuhan dan pemeliharaan anak. Dalam masyarakat kapitalistik, dengan kata lain, kemerdekaan perempuan dianggap sebagai komoditas yang dapat ditukar demi membangun keluarga. 

Saat ini, dukungan bagi ibu untuk mengejar karir dan gagasan mengenai kesetaraan gender telah diterima secara universal. “Namun, ketika bicara mengenai rumah tangga, nilai-nilai tradisional masih mendominasi,” kata Claire Cain Miller, kontributor The New York Times yang fokus di bidang gender. Memang, peran pria dalam ranah domestik semakin besar, namun upaya mereka belum mencapai setengah dari kontribusi perempuan.

Setelah melahirkan, ibu berkarir delapan kali lebih mungkin menjaga anak-anak yang sakit, 10 kali lebih banyak mengambil cuti, dan cenderung beralih profesi yang tidak terlalu memakan waktu ketimbang pria. Ibu berkarir lebih banyak berkonsentrasi memenuhi tuntutan rumah tangga sehingga cenderung lebih sering terganggu dalam bekerja, kehilangan kesempatan promosi, naik gaji. Akhirnya, mereka memperoleh penghasilan yang lebih rendah daripada pekerja pria yang memulai karir di waktu yang sama dengan mereka. 

Di luar itu, ibu berkarir sering menghadapi rasa bersalah. Tak cuma rasa malu dan khawatir kurang kompeten dalam menjalani peran ganda, sebagai pekerja dan sebagai ibu, namun juga harus menghadapi rasa rendah diri karena kurangnya waktu untuk perawatan diri. Memang benar, sebagian besar perempuan melepaskan karirnya secara sukarela. Namun, timbul pertanyaan: dapatkah perempuan memiliki semuanya?

“Komunikasi, advokasi, dan dorongan untuk perubahan,” kata Maggie Germano, kontributor untuk ForbesWomen. 

Meskipun nilai-nilai tradisional tidak dapat diubah dalam semalam, perempuan harus memulai diskusi penting dengan pasangan mereka, untuk menjamin pembagian tugas dan peran yang adil. Berikutnya adalah menjadi peserta aktif dalam mengadvokasi dan meningkatkan kesadaran akan kebijakan cuti keluarga yang dibiayai dan berlaku secara nasional, serta pendanaan publik untuk pengasuhan anak.

Dengan dorongan semua gender, tekanan politik untuk meringankan perjuangan pekerja yang telah berkeluarga, menjadi lebih kuat. Ibu berkarir dapat memulai upaya advokasi ini dengan mendukung organisasi yang memperjuangkan pemenuhan hak-hak tersebut. Pengusaha juga harus didorong untuk menerapkan kebijakan berbasis gender yang adil dan berkualitas. Sebagai anggota masyarakat, kita juga harus belajar meruntuhkan konstruksi sosial yang menyebabkan kesenjangan terjadi. Mulai dari tindakan yang terkesan sepele seperti membagikan pekerjaan rumah tangga sama rata kepada anak laki-laki dan perempuan. 

Dalam pernyataan sosiolog Joanna Pepin, “ Keyakinan kami tentang gender benar-benar kuat.” Jadi, upaya untuk menghapus ketimpangan yang bermula dari stereotipe gender harus dimulai dengan mendobrak norma dan peran tradisional yang dilekatkan atas nama gender tersebut. Sehingga, kita bisa menyiapkan anak perempuan yang dapat memiliki kesuksesan karir yang sama dengan pria. Sebaliknya, kita juga dapat mengharapkan anak pria kelak akan mengambil tanggung jawab dan peran yang besar dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. 

Tak dipungkiri, laki-laki juga memiliki problematikanya sendiri. Partisipasi pria dalam angkatan kerja menurun tajam dalam satu dekade terakhir. Timbu pertanyaan, apakah lapangan kerja semakin sempit atau jumlah laki-laki pencari kerja lebih sedikit. Meski jawabannya belum jelas, poin kedua lebih masuk akal. Sebab, hancurnya sekat pekerjaan yang membuat tak ada lagi pekerjaan laki-laki dan perempuan, mendorong perempuan masuk ke dalam lapangan kerja yang semula didominasi laki-laki. Namun, masih banyak laki-laki yang enggan beralih profesi ke lapangan kerja yang semula diidentikkan dengan perempuan. 

Dalam konteks pandemi Covid-19, netralitas gender, besaran upah, jadi fokus krusial untuk mengatasi persoalan kesenjangan upah dan persoalan lainnya dalam dunia kerja. Ketika pandemi teratasi, persoalan yang mungkin muncul kelak adalah rendahnya angkatan kerja perempuan akibat gelombang pengunduran diri perempuan yang massif selama pandemi. Kedua belah pihak harus menentang stereotipe yang membebani, baik perempuan maupun pria, supaya terbangun sinergi untuk membangun kesetaraan gender dan menghapus kesenjangan upah. Hanya dengan begitu, kita sebagai individu dapat berkembang sepenuhnya, memaksimalkan potensi terbesar kita, dan menjadi tangguh. 

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia