Longform

Laris Manis NFT dan Hal-hal yang Perlu Dipahami

Jum'at, 10 Desember 2021

Non-fungible token (NFT) kini ramai jadi tambang cuan bagi para kreator digital. Token itu dinilai bisa menghasilkan keuntungan yang lebih wajar bagi para kreator, terutama seniman.

Oleh Faisal Javier

tempo

Pada 22 Maret 2006 pukul 03.50 pagi, pendiri Twitter Jack Dorsey mengirim cuitan ke Twitter. “just setting up my twttr,” tulisnya.

Cuitan itu tergolong bersejarah karena menandakan kelahiran media sosial yang kini memiliki sekitar 77,75 juta pengguna di seluruh dunia. Selang 15 tahun kemudian, twit itu dihargai US$ 2,9 juta (Rp 42 miliar).

Dorsey menjual twitnya itu sebagai non-fungible tokens (NFT) di platform bernama Valuables. Platform itu didirikan oleh perusahaan Cent sejak akhir 2020. Start-up tersebut memang mengkhususkan Valuables sebagai ladang uang kripto bagi kreator di Twitter.

Platform itu memudahkan pengguna untuk mengidentifikasi twit yang dapat diperjualbelikan sebagai NFT. Bila pemilik twit itu setuju, maka Cent akan menciptakan NFT khusus twit itu. Selanjutnya, Cent akan menjadi perantara transaksi antara kreator dengan pembeli.

“Twit itu dibeli menggunakan uang kripto Ether, untuk 1630.5825601 ETH, yang bernilai US$ 2.915.835,47 pada saat penjualan,” kata Cameron Hejazi, CEO dan salah satu pendiri Cent mengonfirmasi kepada Reuters pada Maret 2021

Menurut Cent, pembeli twit itu adalah seorang bernama Sina Estavi. Akun Twitter Estavi, @sinaEstavi, mengatakan dia tinggal di Malaysia dan merupakan CEO perusahaan blockchain Bridge Oracle. 

NFT acap dikaitkan dengan karya seni seperti desain grafis, animasi, musik atau video. Selain itu, token ini juga umum dimanfaatkan dalam gim daring berbasis kripto. Namun kehadiran platform Valuables membuktikan cuitan seseorang di Twitter pun dapat dimonetisasi melalui NFT.

Ada banyak NFT twit lain yang dijualbelikan di Valuables. Namun hingga 17 November 2021, nilai NFT twit Dorsey itu masih tertinggi di antara sejumlah NFT twit lain.

Anggota organisasi IndoArtNow, Ditya Nurhakiki Subagja, menyebut bahwa selama ini sering terjadi salah kaprah soal NFT. NFT seringkali hanya dipahami sebagai proses jual beli karya seperti gambar atau video.

“Tapi sebenarnya yang disebut NFT di blockchain itu adalah token yang kita cetak—minting di dalam blockchain,” kata Ditya. “Nah secara simpelnya itu si token dihubungkan dengan link gambar yang kita upload di internet.”

“Kan konsepnya decentralized, maka apa yang kita upload itu milik kita. Yang kita perjualbelikan itu adalah tokennya sendiri,” lanjutnya.

ABC-nya NFT

Seperti pasar yang berkembang pesat, ruang NFT penuh dengan istilah baru yang dapat membuat pemain baru kewalahan. Berikut ini adalah glosarium singkat dari istilah yang paling banyak digunakan di pasar.

Floor


Harga terendah Anda dapat membeli NFT di pasar sekunder. Biasanya digunakan untuk melacak kinerja proyek NFT dan keberhasilan relatif proyek itu dari waktu ke waktu.

Gas


Biaya yang harus dibayar untuk melakukan transaksi di dalam blockchain. Harga gas dapat naik dan turun tergantung pada supply/demand sebuah blockchain tertentu.

Minting


Pembayaran yang harus dilakukan penjual untuk menambahkan informasi NFT (tempat mereka disimpan dan tautan ke gambar) ke dalam blockchain.

Rugpull


Penipuan di mana sebuah proyek NFT menghilang dengan semua uang yang telah diinvestasikan.

Secondary Market


Pasar penjual ke penjual. Pembeli yang aktif dalam Secondary Market membeli NFT bukan dari pembuat, melainkan pembeli yang menjual sebuah NFT dalam koleksi mereka.

Ditya sendiri sudah sekitar setahun turut terjun dalam dunia uang kripto. Ia juga menjadi kolektor kecil-kecilan NFT, dengan menyisihkan sebagian uang kripto miliknya untuk membeli NFT karya teman-temannya.

Jawaban Ditya itu selaras dengan penjelasan dalam dokumen frequently asked questions (FAQ) Valuables. Dokumen itu menyebut, proses jual-beli suatu twit bukan berarti lantas hak cipta dan hak komersial twit itu berpindah ke tangan pembeli. Pembeli hanya memiliki NFT alias sertifikat digital yang dilengkapi tanda tangan kreator. 

Tanda tangan digital itu yang lantas membedakan twit itu dengan tangkapan layar biasa berisikan twit yang sama. Keberadaan penanda khusus itu menjadikan NFT unik dan berharga.

“Seperti tanda tangan pada kartu bisbol,” dikutip dari dokumen tersebut. Bila twit asli terhapus, si pemilik NFT tak perlu khawatir karena ia masih memiliki NFT dan metadata twit itu. 

Keunikan ini pada dasarnya merupakan fitur utama NFT. Sesuai namanya, non-fungible tokens memang secara harfiah dapat diartikan sebagai token tak tergantikan. 

NFT berbeda dengan uang kripto—seperti bitcoin—yang dapat dipertukarkan. “Nah, aset non-fungible itu akan naik nilainya kalau dia punya sejarah atau memenuhi preferensi tersendiri dari pemiliknya,” ujar Ditya. 

Secara fungsi, NFT merupakan sertifikat digital atas suatu barang. Namun jangan bayangkan token ini benar-benar menyerupai sertifikat konvensional. 

Alih-alih selembar kertas, NFT ditandai oleh rangkaian (string) karakter yang unik. Sebagai contoh, NFT untuk sebuah karya seni digital buatan aktris Lindsay Lohan adalah 0x60f80121c31a0d46b5279700f9df786054aa5ee5.

String itu terhubung ke blockchain—umum dikenal sebagai blok data digital yang memuat data transaksi uang kripto. Kerja blockchain didukung sekelompok komputer untuk membuat buku besar digital bersama yang tidak dapat diubah oleh satu komputer pun. Sebaliknya, mereka harus setuju dengan melakukan kalkulasi kompleks—sebuah sistem yang menghasilkan dokumen yang aman dan tidak dapat diubah. 

Lantaran sifatnya yang terdesentralisasi, blockchain pun dapat dilihat semua pihak setiap waktu. Histori kepemilikan NFT juga dapat dilacak melalui blockchain.

Jalan Pintas Tambah Cuan

Kehadiran NFT dipandang dapat mempermudah para kreator, terutama seniman, untuk menambang cuan. Para seniman punya opsi lebih cepat untuk memastikan karya mereka dapat terjual. Ini karena mereka cukup menampilkan dan menjualnya di lokapasar (marketplace) NFT.

“Pamerannya setiap hari, terus kreatornya itu bisa upload terus-terusan. Bahkan mereka pun bisa menjualnya ketika mereka upload, itu bisa laku langsung juga,” kata Ditya.

Keuntungan lain yang bisa didapat kreator adalah royalti penjualan. Hal itu yang sulit ditemukan dalam perdagangan konvensional karya seni yang umumnya bersifat “beli-putus”. Jika karya seorang seniman dijual kembali oleh kolektor, maka sang kreator tidak akan mendapat keuntungan material apapun.

Sementara dalam NFT, kreator bisa menyematkan kontrak pintar (smart contract). Selain berisikan harga dan jumlah salinan, kontrak itu bisa berisikan besaran royalti bila karya itu dijual kembali. Kreator dapat memperoleh royalti penjualan karena mereka bisa melacak histori transaksi karya mereka melalui blockchain.

Hak cipta, hak adaptasi, atau reproduksi pun masih dimiliki kreator. Tak heran jika sejumlah seniman memandang NFT sebagai sistem yang adil.

Salah satu kreator yang memperoleh keuntungan dari sistem ini adalah Johana Kusnadi, ilustrator asal Jakarta. Selain memperoleh penghasilan tambahan dari penjualan karya buatannya di marketplace NFT, ia juga mendapat tambahan dari sistem royalti penjualan karyanya.

Jojo—panggilan Johana—menetapkan royalti sebesar 20-25 persen untuk ilustrasinya yang dipasarkan. “Kolektor yang beli karya NFT nantinya bisa menjual lagi karyanya pada kolektor lain di secondary market,” kata Jojo dilansir dari Koran Tempo edisi 19 September 2021.

Jika salah satu kolektor karya Jojo menjual ke pihak lain seharga XTZ 10—Tezos—maka otomatis Jojo akan mendapat sekitar XTZ 2-2,5. Jojo pun tak perlu repot meminta atau menagih royalti itu karena secara otomatis telah dicatat oleh sistem. Berdasarkan kurs 19 November 2021, XTZ 1 setara dengan Rp 69.500,59.

Mengingat banyak galeri seni tutup saat masa pandemi Covid-19, kehadiran NFT juga jadi salah satu cara untuk menghubungkan langsung seniman dengan calon pembeli. IndoArtNow—terkenal sebagai pengarsip karya-karya seniman Indonesia—turut merambah dunia NFT. 

Organisasi itu kemudian membuat media sosial Twitter @IndoArtNowNFT untuk mempublikasikan karya-karya seniman Indonesia yang telah memiliki NFT. Selain itu, mereka juga membuat forum diskusi inklusif tentang NFT di Discord. Dalam forum itu, para kreator bisa saling berbagi ilmu tentang dunia NFT, terutama bagi kreator pemula.

Hambatan Pengetahuan

Ditya, yang juga pengelola media sosial forum IndoArtNow NFT, melihat banyak kreator masih minim pengetahuan soal NFT. Mereka mengira, booming tren NFT membuat karya mereka cepat terjual. 

“Justru karena udah banyak yang main NFT, udah banyak saingannya,” kata Ditya. “Karena udah banyak kolektor juga udah selektif sama karya yang pengen dia beli.”

Ketua Program Studi Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), Willy Himawan mengamati bahwa karya seni NFT memiliki gaya dan pasar tersendiri. Karya seorang seniman ternama di dunia seni rupa konvensional belum tentu langsung laku.

Nilai karya visual NFT tampak berbeda dengan karya seni rupa konvensional. Willy mencontohkan, dunia seni visual NFT sempat marak dengan karya bergaya lowbrow, gerakan seni rupa underground yang muncul pada akhir 1960-an. Lalu gambar-gambar pop zaman sekarang juga turut menarik perhatian kalangan pasar seni NFT.

“Kalau mau laku, buatlah karya ilustrasi dengan warna ngejreng,” ujar Willy pada Koran Tempo.

Ditya juga menemukan fakta bahwa ketidaktahuan kreator dalam dunia NFT terletak pada aspek teknis. “Terus banyak yang enggak tahu juga karena misalnya ada platform marketplace lain, pake koin apa, terus belinya (koin) di mana.”

Ketidaktahuan pada aspek teknis, menurut Ditya, seringkali pula terjadi pada kolektor. Mereka tidak tahu ada biaya tambahan saat mereka menukar uang konvensional mereka dengan uang kripto untuk membeli aset NFT, atau biaya “pajak” pembelian NFT di marketplace. Alhasil, mereka terkejut kala harus mengeluarkan jumlah uang di luar perkiraan mereka.

Sifat mata uang kripto yang volatil dan spekulatif turut berpengaruh pada cara pandang nilai NFT. Menurut Ditya, banyak orang di dunia mulai memandang uang kripto lebih dari sekadar aset digital. Alhasil muncul perdebatan, apakah seharusnya besaran nilai suatu karya NFT cukup dilihat dari nilai uang kriptonya, atau perlu pula dipandang dari valuasinya terhadap mata uang konvensional.

Ditya mencontohkan, penjualan kolase foto karya seniman digital AS, Michael Joseph Winkelmann alias Beeple. Karya NFT Beeple yang berjudul Everydays—The First 5000 Days, dibeli oleh seorang kolektor pada Maret lalu lewat balai lelang Christie’s, dengan harga US$ 69 juta (Rp 980 miliar). Sang kolektor pun membayarnya dengan uang kripto Ethereum.

View this post on Instagram

A post shared by beeple (@beeple_crap)

Karya Beeple itu pun masuk dalam kategori tiga besar karya seni termahal di dunia. Bila dilihat melalui valuasi US$, menurut Ditya, harga karya itu kini meningkat dua kali lipat. Ini lantaran nilai tukar Ethereum melonjak sekitar 100 persen terhadap US$. Sebagai catatan, ETH 1 pada hari terjualnya karya Beeple setara dengan US$ 1.829,9, tetapi per 18 November 2021 nilainya telah mencapai US$ 4.271,85

Salah satu kelemahan NFT, ujar Ditya, adalah potensi plagiarisme. Sistem blockchain masih belum andal dalam mendeteksi penjiplakan. “Jadi dua file gambar yang pixel-nya sama satu sama lain enggak akan terdeteksi sama blockchain sebagai plagiat.”

Alhasil, kreator NFT harus bergerak secara kolektif untuk mendeteksi plagiarisme karya. Jika mereka menemukan karya seorang kreator terbukti plagiat, maka kekuatan kolektif itu akan melaporkan pelanggaran itu pada pengelola marketplace.

“Sama marketplace-nya, dia (penjiplak) langsung ditendang, enggak bisa listing lagi,” kata Ditya.

Salah satu contoh kasus plagiarisme karya di NFT adalah penjiplakan karya ilustrator Kendra Ahimsa—dikenal sebagai Ardneks. Karya Ardneks dijiplak oleh seniman kripto Twisted Vacancy dan diketahui oleh para pegiat NFT. Alhasil, Twisted Vacancy pun ramai diboikot, dan ia pun keluar dari dunia NFT. Tak hanya itu, ia juga berhenti membuat dan mempromosikan karya NFT di Instagram dan Twitter.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia