Longform

Dua Wajah Buram Cancel Culture

Jum'at, 17 November 2021

Salah satu pemicu kehadiran cancel culture adalah ketidakadilan yang dialami kaum termarjinalkan di dunia nyata. Budaya itu kemudian merembet ke media sosial. Namun cara ini dianggap tidak efektif untuk menekan orang-orang kuat.

Oleh Faisal Javier

tempo

Nimas Ayu Mujihastuti langsung cemas ketika aktor Korea Selatan Kim Seon-ho dikabarkan terjerat skandal pemaksaan aborsi terhadap mantan pacarnya. Staf pengajar kursus privat bahasa Inggris di Surabaya itu mendengar kabar tersebut tepat sebelum ia memulai kelas. 

Ia pun langsung memantau media sosial untuk mengikuti perkembangan kasus idolanya itu. “Twitter (dan) Instagram langsung di-refresh setiap satu menit,” cerita Nimas pada 4 Oktober 2021.

Ia khawatir idolanya itu akan jadi sasaran empuk budaya cancel culture di industri hiburan Korea. Apalagi setelah itu sejumlah acara hiburan yang akan dibintangi pemeran Hong du-Shik di serial Hometown Cha-cha-cha itu membatalkan kontrak Kim. Ia pun makin kecewa setelah Kim merilis permintaan maafnya ke publik.

“Aku sebagai fan menyukai aktingnya dia, wajah gantengnya dia. Jadi misalkan dia di-cancel dari Drakor, enggak bisa nonton wajah gantengnya dia, ya sedih lah,” kata Nimas.

Namun ia menaruh empati pula pada mantan pacar Kim itu. “Kalau baca postingan si cewek, ‘Kok kasihan ya’, karena mbaknya korban kekerasan seksual,” ujarnya. Namun ia mengaku tetap bersikap netral lantaran, “Baru mendengar dari sisi korban.”

Ia pun lega setelah media gosip dan hiburan Korea Selatan Dispatch menyebarkan sejumlah informasi yang berlawanan dengan keterangan korban. Apalagi setelah itu, sejumlah proyek hiburan yang sempat membatalkan keterlibatan Kim memutuskan untuk kembali mengikutsertakan Kim.

Apa itu cancel culture?

Setelah kontroversi yang melibatkan Kim Seon-ho, kata kunci cancel culture mengalami lonjakan jumlah pencarian di mesin pencarian sehari setelah cerita pengakuan mantan pacar Kim tersebar ke publik pada 18 Oktober 2021. Berdasarkan penelusuran pada Google Trends, kata kunci ini pertama kali dicari warganet Indonesia pada Oktober 2019.

Kamus bahasa Inggris Merriam-Webster menyebut, kata cancel sebelumnya secara sederhana diartikan pembatalan atau penghapusan. Suatu pertemuan bisa dibatalkan jika pesertanya tidak dapat menentukan jadwal. Suatu pertunjukan TV dihapus karena ratingnya buruk.

Namun kini, kata cancel telah mengalami perluasan makna. Kata itu mulai diartikan sebagai “cara membuang” seseorang yang populer, seperti selebritis dan politikus.

“Membuang (to cancel) seseorang (biasanya seorang selebritis atau figur ternama lainnya) berarti berhenti memberi dukungan pada orang itu. Tindakan membuang bisa berupa memboikot film seorang aktor atau tidak lagi membaca atau mempromosikan karya seorang penulis,” dikutip dari situs Merriam-Webster.

Terdapat beragam alasan di balik sikap pemboikotan. Biasanya dilatari oleh pendapat seseorang yang menyuarakan opini yang “tidak menyenangkan” atau tingkah laku orang tersebut yang melanggar moral, sehingga “memberi kesan bahwa karya orang itu meninggalkan sebuah sensasi buruk.”

“Ini adalah boikot budaya,” kata Lisa Nakamura, Profesor Kajian Media dan Sinema di University of Michigan kepada The New York Times. Menurutnya, cancel culture ini lekat ditujukan kepada orang-orang yang mengandalkan kegiatan ekonomi berbasis popularitas (attention economy)—selebritis, pemengaruh media sosial (influencer). “... ketika Anda mencabut atensimu pada seseorang, maka Anda merampas mata pencaharian mereka.”

Sementara peneliti kajian media dan komunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief menyebut bahwa cancel culture memang mirip dengan kegiatan boikot di dunia nyata. Namun, boikot lebih terorganisir karena digerakkan organisasi atau kelompok tertentu, sementara cancel culture lebih cair, bisa diinisiasi oleh akun-akun anonim di media sosial.

“Tentu saja situasi psikologis yang berbeda juga dari boikot. Kalau boikot zaman dulu harus ada selebaran (ajakan), ada faktanya, kalau cancel culture lebih cepat (penyebarannya),” kata Yovantra pada Tempo, Kamis, 4 November 2021.

Hal serupa juga diutarakan antropolog digital Karlina Octaviany. Menurut Karlina—peraih gelar Magister Antopologi Digital University College London (UCL)—proses boikot diorganisir kelompok yang telah melakukan verifikasi atau penelitian terhadap isu yang menjadi landasan gerakan mereka. Salah satu contohnya, boikot sawit oleh aktivis lingkungan. 

Sementara cancel culture berangkat dari ketidakadilan yang dialami kelompok termarjinalkan—seperti korban kekerasan seksual, dan lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT). Ketidakadilan itu kemudian disuarakan di platform digital.

“Dan akhirnya kelompok-kelompok marjinal yang punya pengalaman yang sama mendukung misalnya isu tersebut,” kata Karlina pada Tempo, Jumat, 5 November 2021. 

Kenapa cancel culture muncul?

Dilansir dari Time, cancel culture—bersinonim call-out culture—muncul pertama kali saat kasus rasisme dalam pertunjukan televisi The Colbert Report terhadap orang-orang keturunan Asia di Amerika Serikat pada 2014. Tagar #cancelCobert kemudian timbul akibat skandal ini. 

Budaya ini kemudian semakin dikenal khalayak setelah gerakan #MeToo. Gerakan yang diinisiasi Tarana Burke itu lantas viral di Twitter. Gerakan tersebut menyerukan penegakkan keadilan dalam kasus pelecehan seksual, terutama terhadap perempuan, yang sebagian dilakukan tokoh Hollywood.

Sementara di Korea Selatan, cancel culture terhadap selebritis negara itu tidak terlepas dari ekspektasi tinggi yang dibebankan pada mereka. Ini adalah efek dari struktur masyarakat Korea yang kolektif. Di negeri itu, kesesuaian dan kepatuhan terhadap standar moral dihargai tinggi. Mereka yang melanggar akan tidak disukai.

“Karena selebritas menonjol dan menarik perhatian publik, orang-orang memiliki perasaan buruk terhadap kehidupan mereka yang berbeda (dengan standar moral), dan cenderung kurang toleran terhadap kesalahan moral atau etika yang dirasakan (masyarakat),” kata Song Jae-Ryong, Profesor Sosiologi di Kyung Hee University kepada South China Morning Post

Analis budaya populer Korea, Kim Hern-sik menambahkan, “Karena orang Korea menghargai norma sosial dan etika di atas privasi, kami cenderung memprioritaskan dampak sosial dari tindakan seseorang.” 

Yovantra mengatakan bahwa cancel culture muncul lantaran ketiadaan hukum yang tegas dalam menindak perilaku tertentu, seperti kekerasan seksual atau homofobia.

“Itu (cancel culture) memang jatuhnya jadi crowd justice—keadilan warga,” kata Yovantra, yang melihat bahwa cancel culture di Indonesia selama ini lebih marak di Twitter dibanding media sosial lain seperti Facebook dan Instagram.

Yovantra berpendapat, alasan cancel culture di setiap negara bisa saja berbeda-beda. Hal itu didorong nilai mayoritas yang berlaku dalam masyarakat negara itu—liberal atau konservatif.

“Cukup banyak misalnya warga yang cancel suatu artis karena pindah atau beda agama,” kata Yovantra. Namun, alasan saja tak cukup karena yang paling utama, Yovantra menambahkan, adalah, “... seberapa dia bisa menyebar dalam komunitas yang lebih luas dalam medium digital.”

Sementara Karlina melihat cancel culture di Indonesia tidak selalu didorong satu jenis nilai tertentu. Hal ini mengingat topik diskusi di linimasa media sosial masyarakat Indonesia cukup beragam. Namun Karlina dan Yovantra sama-sama melihat kasus kekerasan seksual jadi salah satu isu utama di balik budaya boikot yang diramaikan pengguna media sosial tanah air itu.

Salah satu bentuk cancel culture yang sempat menghangat di Indonesia adalah boikot terhadap penampilan Saipul Jamil di televisi. Protes bermunculan di media sosial lantaran Saipul mendapat kembali panggung di televisi usai bebas dari penjara. Muncul pula petisi daring di situs change.org yang menolak kembalinya Saipul ke televisi. Petisi itu mendapat lebih dari 500 ribu tanda tangan. 

Untuk diketahui, Saipul menjalani hukuman penjara lantaran mencabuli anak di bawah umur serta menyuap majelis hakim dalam peradilan si selebritas itu.

Apakah cancel culture berdampak signifikan?

Profesor Kajian Media University of Virginia Meredith Clark mengatakan kepada The New York Times bahwa hanya orang-orang yang mengandalkan attention economy yang rentan terhadap cancel culture. Namun budaya boikot ini tidak akan signifikan mengancam tokoh politik dan pebisnis. “Praktik cancelling tidak cukup mengganggu untuk membuat seorang politisi mundur dari jabatannya,” kata Meredith Clark.

Jurnalis Sarah Manavis dalam tulisannya di New Statesman mengibaratkan cancel culture seperti mitos monster di bawah tempat tidur. Ia muncul seakan-akan sebagai ancaman nyata padahal sesungguhnya tidak pernah ada.

Sarah punya beberapa contoh untuk mendukung pernyataannya itu. Pertama, penulis terkenal J.K. Rowling sempat mendapat kritik keras lantaran mengutarakan cuitan homofobik. Rowling hingga kini tetap menikmati sukses komersial besar dari penjualan bukunya. 

Kedua, Boris Johnson yang berkali-kali mengeluarkan pernyataan Islamofobia ternyata sukses menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris. Ketiga, Donald Trump yang dikenal rasis dan diduga terlibat dalam sejumlah kasus pelecehan seksual malah dapat memenangi Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016.

“Ini tentang bagaimana sekelompok orang-orang tak berdaya (powerless) tetap tidak dapat menandingi suara orang kuat, bahkan dengan suara yang lebih keras di (platform) daring,” kata Sarah Manavis. “Dinamika mungkin bergeser, tetapi kelompok-kelompok termarjinalkan (seperti kelompok transgender dan kulit hitam) tetap kalah dalam pertempuran ini. Orang-orang dan lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan masih bertahan.”

Yovantra berpendapat cancel culture baru akan berdampak signifikan jika ia dilanjutkan dengan proses advokasi aktif di dunia nyata. “Harus lebih dari sekadar spilling di Twitter, harus lebih jauh dari itu,” ujarnya. 

Karlina juga sependapat dengan Yovantra. Menurutnya, pemanfaatan cancel culture, terutama dalam kasus kekerasan seksual, bisa berkaca pada proses boikot yang membutuhkan strategi dan proses persiapan yang matang.

“Mungkin bisa cancel culture distrategikan, ketika korban bersuara, dukungan terhadap korbannya ini bisa lintas sektor, misal ada pendampingan hukum, ada yang pendampingan psikologis,” kata Karlina. “Kemudian pendampingan komunikasi publiknya, karena seringkali spill-spill kasus kekerasan seksual ini di internet berbalik jadi korban UU ITE.”

Apalagi menurut Karlina, dalam cancel culture yang dipicu kasus kekerasan seksual seringkali energi publik hanya digunakan untuk menyoroti pelaku, bukan memastikan keamanan korban. 

“Korban tetap jadi korban ... Bukan bagaimana (nasib) si korban, apakah kasusnya terselesaikan, apakah dia tidak diintimidasi dalam proses ketika cancel culture terjadi,” kata Karlina, yang juga aktif memberi pelatihan literasi media dengan mendirikan lembaga Indonesia Voice of Women (Invow).

Karlina juga berpandangan bahwa cancel culture dapat menjadi salah satu ajang transfer pengetahuan. Masyarakat seringkali belum familiar dengan isu-isu yang melatarbelakangi tindakan cancel culture, sehingga sebagian orang masih menganggap normal isu-isu itu.

“Nah, itu kan sebagai transfer pengetahuan juga untuk orang tahu, ‘Oh, ini relasi toksik. Oh, ini termasuk kekerasan seksual. Oh, ini KBGO (kekerasan berbasis gender online)’, sehingga orang bisa mengidentifikasi bahwa perilaku itu (salah) karena sesuatu yang banyak diperbincangkan di media sosial,” ujar Karlina.

Hal penting lain menurut Karlina, dampak dari cancel culture adalah proses pembelajaran bagi sasaran praktik ini. Publik harus memberikan kesempatan bagi sasaran atau calon sasaran cancel culture untuk menyadari kesalahannya dan belajar meninggalkan pemahamannya yang salah tersebut.

Karlina mencontohkan RM alias Kim Nam-joon, penyanyi hip hop Korea Selatan sekaligus anggota grup musik BTS. Dalam sebuah wawancara usai menghadiri Sidang Umum PBB 2021, RM mendapat pertanyaan tajam terkait lirik lagunya yang misoginis. Ia pun melakukan proses unlearn (belajar meninggalkan) pandangan misoginisnya dengan berkonsultasi dengan seorang profesor kajian perempuan. Ia juga melakukan review terhadap lirik-lirik yang dia tulis. 

Selain RM, Karlina juga mencontohkan drummer Superman Is Dead, Jerinx, yang akhirnya mau disuntik vaksin Covid-19. Padahal sebelumnya Jerinx menganggap Covid-19 dan vaksinnya hanyalah konspirasi serta aktif menuangkan pandangannya itu di media sosial.

“Apakah dia berubah, apakah orang melihat perubahan itu, dan meyakini perubahan itu, itu proses menarik setelah cancel culture,” kata Karlina. 

Nimas mengaku bahwa ia akan tetap menonton berulang kali serial atau film yang dibintangi Kim Seon-ho meski jika ternyata idolanya ini bisa saja terbukti bersalah. 

Why not, karena kita nonton aktingnya dia, bukan kehidupan pribadinya dia,” kata Nimas. Ia sendiri tak masalah dengan cancel culture, asalkan jangan menimpa idolanya.

“Ya enggak apa-apa sih, asalkan bukan KSH. Kan bucin-ku kebacut (parah).”

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia