…

LONGFORM - JUMAT, 20 OKTOBER 2023

Bertaruh Nyawa dengan Udara Kompresor

Menyelam dengan menghirup udara dari kompresor telah dilarang pemerintah. Namun masyarakat di Kepulauan Mentawai tetap menggunakannya saat mencari makhluk laut. Potret kehidupan nelayan yang menyabung nyawa di kedalaman samudera. Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center.

Penulis

Febrianti

Sebuah perahu dengan kecepatan tinggi merapat ke pantai di Pulau Simatapi, Desa Sinakak, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai. Dari perahu, empat nelayan bergegas mengangkat seorang rekannya yang pingsan. Mereka membawanya ke kediaman nelayan yang tak sadarkan diri, lalu memanggil Rahmat Ziki, petugas kesehatan di Desa Sinakak.

Nelayan yang pingsan itu, Pirdelin Berisigep, 30 tahun, mulai siuman ketika digotong. Wajahnya pucat pasi. Rahmat yang datang ke rumahnya berencana memasang selang infus ke tangannya, tapi gagal. Pirdelin terus bergerak gelisah. Rahmat lalu memberinya suntikan di lengan.

Pirdelian pingsan saat akan menyelam pagi itu di depan Pulau Pecah Belah di perairan Pagai Selatan di depan Samudera Hindia. Pirdelin dan empat nelayan lainnya adalah warga Desa Sinakak yang biasa menggunakan kompresor untuk menyelam mencari teripang, ikan, dan lobster. Kompesor digunakan untuk mengalirkan udara melalui selang plastik yang panjangnya puluhan meter agar bisa bernapas di bawah air.

Tempo yang berada di Desa Sinakak menyaksikan peristiwa yang terjadi pada Jumat, 25 Agustus 2023 itu. “Kalau dia tadi sempat menyelam, bisa sangat berbahaya karena asam lambungnya sedang naik,” kata Rahmat Ziki seusai menangani Pirdelin. Menurut Rahmat, Pirdelin terserang mag.

Sebagai perawat di puskesmas pembantu di Dusun Korit Buah, Desa Sinakak, Rahmat sudah menyaksikan nelayan yang menjadi korban menyelam dengan kompresor. Ia pernah menangani nelayan yang lemah dan lumpuh gara-gara itu. Bahkan, ia juga pernah melihat nelayan yang meninggal karena menyelam dengan udara dari alat tersebut. “Saat ada korban meninggal pada 2019, saya diminta pihak gereja untuk melakukan penyuluhan agar masyarakat tidak lagi menggunakan kompresor dan mengajarkan pertolongan pertama untuk korban kompresor,“ kata Rahmat.

Beberapa tahun setelah ada korban meninggal, nelayan di Sinakak sempat berhenti menggunakan kompresor. Namun belakangan sebagian dari mereka kembali menggunakan alat tersebut. “Karena sedang ada badai, ikan susah dicari. Makanya mereka kembali menyelam pakai kompresor,“ ujar Rahmat.

Pirdelin Berisigep satu dari banyak nelayan di Desa Sinakak yang kerap menggunakan kompresor saat menyelam. Ia mampu menyelam pada kedalaman 50 meter hingga 60 meter ke dasar laut.

Malam sebelum Pirdelin pingsan, ia dan empat temannya pergi ke Pulau Pecah Belah, sekitar satu kilometer dari Pulau Simatapi. Mereka menyelam mencari teripang, lobster, dan ikan. Di perahu mereka terdapat satu kompresor merek Shark. Ada dua selang plastik berwarna kuning yang ditancapkan pada kompresor itu. Dengan panjang puluhan meter, kedua selang itu diandalkan untuk membantu dua penyelam bernapas di dalam laut.

Nelayan yang baru selesai menyelam di Sinakak, Pagai Selatan, Ke pulau Mentawai. Mereka md

Mereka menyelam bergantian untuk mengambil teripang di dasar laut. Teripang hasil tangkapan itu dibawa pulang dan langsung diolah di pondok mereka di Pulau Pecah Belah. Cara mengolahnya dengan merebus makhluk itu dengan air tawar yang diberi garam, lalu diasapi. Satu kilogram teripang kering bisa dijual dengan harga Rp 750 ribu hingga Rp 1,2 juta. “Kalau tidak menggunakan kompresor, kami tidak akan dapat mengambil teripang. Tidak tahan napas kita kalau berenang manual. Kalau dengan kompresor, bisa sampai dua jam di dalam laut,” kata Pirdelin kepada Tempo, sehari setelah kejadian yang menimpanya.

Pirdelin mengaku sudah lama menyelam dengan kompresor. Ia juga menyadari menggunakan kompresor banyak risikonya, dari lumpuh hingga meninggal dunia. Ia juga merasa sudah mulai kehilangan pendengaran, lututnya sering kesemutan, dan kakinya sering sakit pada persendian.“Saya sebenarnya takut juga karena kompresor itu anginnya kotor, tidak sehat, tapi inilah tuntutan hidup. Bekerja di laut itu tantangannya nyawa,” kata Pirdelin.

Seperti nelayan lainnya, ia mengambil teripang hanya setelah musim gurita berlalu. Musim gurita di perairan Sinakak semakin pendek. Sekarang hanya berlangsung pada Januari hingga Mei. Pada saat itu, nelayan di Sinakak akan berfokus menangkap gurita yang bisa dicari di karang pada kedalaman 3-4 meter dan tidak perlu menggunakan kompresor.

Setelah musim gurita berlalu, mereka kehilangan pendapatan. Mereka pun menempuh risiko menyelam puluhan meter dengan kompresor untuk memungut teripang yang hidup di laut dalam. Pilihan lain, menangkap lobster dan kepiting, tapi jumlahnya tidak lagi banyak.

Nelayan Sinakak di Pulau Simatapi Pulsu Pagai Selatan Kepulauan Mentawai baru selesai menangkap lobster, 17 Juni 2023.lobster ditangkap dengan menyelam menggunakan kompresor. Kompresor dan selang terlihat di dalam perahu. Foto: Febrianti

Desa Sinakak adalah sentra penangkapan gurita di Kepulauan Mentawai. Berdasarkan data dari Pemerintah Desa Sinakak, nilai penjualan gurita tiap tahun mencapai Rp 4 miliar. Selain gurita, perairan Mentawai juga kaya dengan teripang dan lobster.

Tuntutan hidup juga membuat nelayan Sinakak lainnya, Iwan Sababalat, 26 tahun, menggunakan kompresor saat menyelam. Iwan berburu teripang tidak hanya di laut sekitar Sinakak, tetapi sampai ke Pulau Mega di Bengkulu, yang jaraknya sekitar satu hari naik boat dari Sinakak, tempat ia tinggal. “Saat pertama menyelam menggunakan kompresor di sana saya diterjang ombak, kacamata selam saya terlepas dan seorang kawan saya meninggal dunia karena dihantam ombak yang kencang,” kata Iwan.

Namun kejadian itu tak menyurutkan Iwan untuk kembali menyelam di Pulau Mega. Tahun berikutnya ia kembali ke Pulau Mega ketika pengumpul lobster yang memodali dengan ransum dan bahan bakar memanggilnya. “Selama tiga bulan saya bisa dapat Rp 23 juta di sana karena lobsternya banyak,” kata Iwan. “Sarang lobster ada di sekeliling pulau itu. Di Sinakak, dua minggu mencari teripang cuma dapat Rp 2 juta.”

Mencari lobster juga menggunakan kompresor. Tapi kedalamannya hanya 10 hingga 15 meter.

Akibat menggunakan kompresor, Iwan mengaku sudah tiga kali kena “air kram”. Ini istilah nelayan Sinakak saat terkena dekompresi karena menggunakan kompresor untuk pernapasan. Tiba-tiba seusai menyelam sendinya sakit seperti kesemutan dan kebas. “Kalau lama bekerja, kedua sendi saya sekarang terasa sakit. Kata orang, kalau sudah kena nggak akan pulih lagi,” katanya.

Ketika menggunakan kompresor, Iwan biasanya menyelam hingga kedalaman 60 meter selama 20 menit.

Nelayan yang lebih tua di Sinakak mulai sadar akan bahaya menggunakan kompresor. Nursan Samaloisa, 52 tahun, bercerita dia sudah sejak 1992 menggunakan kompresor untuk menyelam. Menurutnya nelayan Mentawai mulai memakai komprespor pada 1980-an setelah diajari nelayan dari Madura yang datang menangkap teripang di Mentawai.

Nursan Samaloisa dari nelayan penyelam dengan kompresor di Sinakak, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai beralih menangkap kepiting bakau yang tidak menggunakan kompresor, 29 Agustus 2023, foto: Febrianti

“Kompresor itu yang menyebabkan teripang cepat habis karena semua teripang dari yang besar sampai yang kecil diambil dengan mudah di dasar laut,” katanya.

Menurut Nursan, pertama kali menyelam memakai kompresor itu enak. Berada di dalam laut selama tiga hingga empat jam tidak terasa. “Saya pernah menyelam 40 meter sampai 60 meter mencari teripang gajah,” ujarnya.

Pengolahan teripang di Dusun Sinakak, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, 28 Agustus 2023. Teripang diambil nelayan yang menyelam menggunakan kompresor. Foto: Febrianti

Teripang gajah adalah teripang yang paling mahal dan berada pada kedalaman hingga 60 meter. Saat itu harganya Rp 700 ribu per kilogram setelah dikeringkan.

Pada 2000, saat menyelam mencari gurita di Pulau Sibaru-Baru, di perairan Pagai Selatan, kejadian dekompresi menimpa Nursan. Saat itu, ia menyelam di kedalaman 30 meter mencari teripang selama 15 menit. Setelah selangnya ditarik rekannya, ia naik ke atas perahu. Awalnya ia merasa kondisi tubuhnya biasa saja. “Tapi saat di perahu, saya hendak berjalan ke depan karena melihat teman saya tidak hati-hati menangani selang kompresor, sebab jika patah bisa mati teman kita yang di bawah, tubuh saya tidak bisa digerakkan,” ujarnya. “Lumpuh sebelah.”

Temannya membalur tubuhnya dengan minyak kelapa bercampur jahe dan mengurutkannya. Sampai di darat ia mulai pulih, bisa berjalan, tapi kaki kirinya tidak bisa digerakkan.

Setelah benar-benar pulih, ia memutuskan berhenti menyelam karena mulai merasa takut. Waktu itu, banyak penyelam yang lumpuh dan meninggal akibat menggunakan kompresor, termasuk teman-temannya. “Mungkin sudah belasan orang di Sinakak yang meninggal karena kompresor. Itu belum termasuk nelayan dari Madura dan Sibolga. mereka dikubur di pulau-pulau kecil.”

Kini Nursan memilih mencari kepiting bakau dan menjadi pengepul kepiting dari nelayan lain di Dusun Sinakak. Menurutnya harga kepiting juga mahal. Seekor kepiting seberat satu kilogram harganya Rp 250 ribu. Saat musim gurita ia beralih menjadi pengepul gurita.

Kompresor merk Shark yang digunakan nelayan Mentawai untuk alat bantu pernapasan melalui selang plastik. Foto: Febrianti

Tiga tahun lalu ia tergoda untuk kembali menyelam dengan kompresor karena melihat banyak nelayan di Sinakak memakainya untuk mencari lobster. Ia pergi ke Sikakap, ibu kota kecamatan paling ramai di Pulau Pagai Utara untuk membeli kompresor merek Shark seharga Rp 12 juta. Namun ketika melihat kedua anak lelakinya yang masih remaja ketagihan menyelam menggunakan kompresor, benda itu ia jual kembali.

“Diam-diam mereka menyelam terlalu dalam. Ini ketahuan saat mereka mendapat teripang gajah, jadi saya jual lagi kompresornya. Daripada mereka celaka,” kata Nursan.

Tidak semua nelayan penyelam di Sinakak tertarik menggunakan kompresor. Rohintius, 25 tahun, juga menyelam menangkap gurita, kepiting, lobster, dan teripang. Tetapi ketika menyelam ia melakukan secara manual, tanpa bantuan alat untuk bernapas, termasuk kompresor. Ia sanggup menyelam pada kedalaman tujuh meter.

Rohintius, 25 tahun nelayan Sinakak, Pulau Pagai Selatan, Mentawai yang memilih tidak menggunakan kompresor saat menyelam, foto: Febrianti, 26 Agustus 2023

“Mamak (Ibu) saya berpesan jangan sekali-kali saya memakai kompresor, itu saya turuti. Kakak ipar saya meninggal di dalam laut karena kompresor. Dua kakak tante saya juga meninggal karena kompresor,” kata Rohintius.

Ia tidak tergiur dengan pendapatan besar dari penyelam yang menggunakan kompresor. “Saya tidak tertarik, taruhannya nyawa,” ujarnya.

Penggunaan kompresor untuk menyelam sudah dilarang pemerintah. Aturan itu tercantum pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Namun sebagian nelayan di sejumlah tempat, termasuk di Sinakak, tidak menggubrisnya.

Penyuluh Perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pagai Selatan, Bayu Sisyara, mengatakan menyelam dengan kompresor berbahaya karena oksigen yang dihasilkan kompresor bisa tercampur gas CO2 hasil pembuangan mesin diesel yang menggerakkan kompresor. “Di setiap kampung nelayan di Pagai Selatan, termasuk di Desa Sinakak, pasti ada cerita tentang nelayan yang meninggal karena menggunakan kompresor.”

Meskipun penggunaan kompresor sudah dilarang pemerintah, para penyuluh di lapangan kesulitan melarang nelayan menggunakannya. Karena itu, menurut Bayu, yang bisa dilakukan saat ini hanya memberikan penyuluhan kepada nelayan tentang bahayanya. Walaupun sebetulnya, mereka lebih tahu, mengalami sendiri, dan telah banyak melihat dampak buruk penggunaan kompresor untuk menyelam.

“Kepada yang masih memakai kompresor, setiap saya katakan ‘jangan pakai kompresor’, mereka katakan ‘ini demi kehidupan’,” kata Bayu.

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Febrianti

  • Editor

    Anton Septian

  • Multimedia

    Krisna Adhi Pradipta

    Rizkika Syifa

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya