Dada Muhammad ujug-ujug terasa sesak setelah mendapat kabar sejumlah koleganya di kantor positif Covid-19. Dia mulai ketar-ketir karena perusahaan tak kunjung meminta karyawan bekerja dari rumah. “Padahal, ngeri ada yang meninggal,” ungkap karyawan di salah satu perusahaan swasta Jakarta ini saat dihubungi Tempo, 15 September 2020.
Pria yang tak mau disebutkan nama lengkapnya ini mau tak mau tetap berkantor setelah pemerintah DKI Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif mulai 5 Juni 2020.
Operasional kantornya tetap berjalan meskipun puluhan karyawan dinyatakan positif corona pada September. Tapi, informasi mengenai kluster di kantor itu bukan datang dari perusahaan, melainkan dari mulut ke mulut karyawan.
Muhammad mengisahkan, selama masuk kantor, ia seruangan dengan tiga orang yang ternyata terpapar Covid-19. Satu orang duduk persis di depannya, hanya berjarak dua bangku atau sekitar semeter.
“Karena ada positif lagi, pada WFH (work from home) inisiatif sendiri, tapi kantor tetap suruh masuk,” ujar pria 28 tahun ini.
Perkantoran menjadi kluster penularan Covid yang cukup tinggi pada masa transisi. Pemerintah DKI biasanya akan meminta sebuah kantor tutup jika ketahuan karyawannya positif.
Lantaran angka penularan harian kembali melonjak sejak pembatasan sosial dilonggarkan, pemerintah DKI Jakarta akhirnya memperketat kembali PSBB mulai Senin, 14 September 2020. Masalah ini pun kini merambat ke wilayah yang ada di sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kerap menyebut, penambahan kasus baru dari pelbagai kluster berbanding lurus dengan kegetolan pemerintah DKI mencari kasus aktif baru. Tes swab di Ibu Kota mulai masif setelah pelaksanaan PSBB transisi pada 5 Juni.
Dinas Kesehatan DKI menghimpun 11 kluster penularan Covid-19 dengan total 22.949 kasus pada 4 Juni-17 Agustus. Tiga kluster tertinggi adalah 11.336 pasien di rumah sakit dan klinik (49,4 persen), 7.344 pasien komunitas (32 persen), dan 1.552 pasien dari perkantoran (6,8 persen).
Ada delapan jenis perkantoran, yakni kementerian, swasta, petugas lapangan pemerintah DKI, badan atau lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pegawai kantor pemerintah DKI, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan polisi.
Kluster berikutnya adalah anak buah kapal, pasar, pegawai di rumah sakit, dan pegawai di puskesmas Muncul juga pasien dari kluster aktivitas keagamaan, kluster asrama, pasien asal lembaga permasyarakatan atau rumah tahanan, dan pasien panti.
“Kasus di DKI yang murni domisili di DKI adalah 70 persen, 30 persennya tersebar Bodetabek dan luar Jabodetabek," ucap Kepala Dinas Kesehatan DKI Widyastuti dalam diskusi virtual yang digelar LaporCovid-19, Rabu, 9 September 2020.
Kluster perkantoran di Jabodetabek rupanya berkontribusi pada kenaikan jumlah pasien positif corona di Kota Bogor. Mereka yang terinfeksi dari kluster kantor diduga kuat menularkan virus ke anggota keluarga.
“Ada kecenderungan penambahan jumlah kluster keluarga, asal muasalnya ada tiga. Pertama dari mereka yang aktivitasnya perkantoran,” kata Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim saat dihubungi Tempo, Rabu, 26 Agustus 2020.
Data pemerintah Kota Bogor menunjukkan sumber penularan virus tertinggi berasal dari kluster rumah tangga atau keluarga. Data yang dihimpun sejak Maret hingga 23 Agustus itu mencatat 157 pasien kluster rumah tangga atau 31,98 persen dari total kasus.
Menurut Dedie, karyawan yang melakukan perjalanan dinas ke luar kota juga penyebab bertambahnya kasus di kluster rumah tangga. Mereka berpotensi tertular virus corona ketika berangkat ke tempat tujuan menggunakan moda transportasi massal.
Asal-usul kluster rumah tangga ketiga adalah perilaku bebas masyarakat di luar rumah. Contohnya menghadiri tahlilan atau resepsi.
Di peringkat kedua ada kluster luar Kota Bogor dengan 127 pasien positif atau 25,87 persen. Kluster ini mayoritas juga bersumber dari warga ber-KTP Bogor yang bekerja atau melakukan perjalanan dinas ke kota lain.
Selanjutnya, pasien dari non kluster, fasilitas kesehatan, perkantoran, dan kegiatan keagamaan. Kemudian kluster pertokoan dan pusat perbelanjaan, pasar tradisional, dan transportasi umum. Total ada sembilan kluster dengan total 491 pasien positif.
Dedie menyoroti kluster perkantoran karena bisa memperluas penularan virus ke orang-orang terdekat. Mereka yang terinfeksi rata-rata bekerja di Jabodetabek dan berstatus orang tanpa gejala (OTG). Sekitar 600 ribu warga Kota Bogor mengadu nasib di Jakarta.
“Jadi kalau dalam konteks analisis data nomor satu, harus diperhatikan supaya tidak menularkan ke keluarga,” kata dia.
Depok juga begitu. Wali Kota Depok Mohammad Idris mengutarakan, 70 persen lebih kasus positif corona datang dari imported case pada tiga minggu terakhir Agustus 2020. Imported case versi Idris maksudnya pasien tertular dari kluster perkantoran Ibu Kota. Dia hakul yakin pasien ini menularkan ke anggota keluarga di Depok.
Pemerintah Kota Depok mendata pada 10-16 Agustus ditemukan 71,11 persen kasus positif berasal dari kasus impor dan 28,89 persen kluster kontak erat atau transmisi dalam keluarga. Data Covid-19 Depok yang diunggah dalam situsnya, ccc-19.depok.go.id, menunjukkan ada 312 kasus baru pada periode tersebut.
Angkanya di 17-23 Agustus tak jauh berbeda, yakni 73,14 persen imported case dan 26,86 persen dari kluster keluarga. Tercatat 231 kasus baru sepanjang periode ini.
Idris berujar, jumlah kasus Covid-19 di Depok melonjak signifikan sejak 27 Juli 2020. Kenaikan ini tak lepas dari masifnya tes swab bermetode polymerase chain reaction (PCR) yang digelar pemerintah DKI Jakarta.
Menurut dia, penambahan kasus corona di Depok mencapai hampir 400 orang per minggu pada 27 Juli-4 Agustus. Sementara di Jakarta terdapat sekitar 500 kasus baru per hari untuk durasi waktu yang sama dan gencar melakukan tes swab.
“Ini karena mengikuti, tadi yang saya katakan, 70 persen mereka warga Depok yang memang bekerja di Jakarta. Jadi imported case,” ucap dia, 5 September.
Dalam laman ccc-19.depok.go.id tertera ada tambahan 28 kasus positif pada 27 Juli. Angka ini memang lebih tinggi ketimbang data dua pekan sebelumnya, 13-26 Juli. Di periode ini tren penambahan kasus masih naik turun dengan tambahan tertinggi sebanyak 23 kasus (21 Juli) dan terendah tiga kasus (26 Juli). Bahkan, sempat tak ada kasus baru di Depok pada 12 Juli.
Penambahannya masih berjalan di sepanjang Agusus dengan kisaran 20-60 per hari. Dari data Depok, 25 orang dinyatakan terinfeksi corona pada 1 Agustus. Lonjakan terjadi tiga hari berselang dengan tambahan 43 kasus.
Kemudian tembus rekor lagi, yaitu 53 kasus baru (7 Agustus), 65 kasus (11 Agustus), dan 75 kasus (14 Agustus). Angka penularan sempat turun menjadi hanya delapan kasus pada 30 Agustus. Sayangnya, sehari kemudian angka penularan kembali melonjak mencapai 69 orang per hari.
“Per 1-7 September, Kota Depok bersama Kota Bogor dan Bekasi dinyatakan sebagai zona merah,” ujarnya.
Virus corona juga merebak di Kota Tangerang. Wali Kota Tangerang Arief R. Wismansyah menyampaikan, banyaknya kluster orang dekat yang menyebabkan anggota keluarga terpapar Covid-19.
Kondisi pasien positif yang tak mengalami gejala Covid-19 justru mempercepat penyebaran virus. Arief mengutarakan, cukup banyak warga Tangerang yang bekerja di Jakarta dan terpapar virus.
Di pekan keempat Agustus, pemerintah mencatat 46 dari 177 kasus terkonfirmasi Covid-19 pernah melakukan kontak erat di Jakarta. Maksudnya, 46 pasien itu berkantor atau sering beraktivitas di Ibu Kota. Arief memperoleh datanya dari rumah sakit Jakarta, tempat mereka dirawat.
“Kemungkinan (tertular) karena dia berkantor di Jakarta, dia suka beraktivitas di Jakarta. Masyarakat Kota Tangerang kan memang sebenarnya mobile ke Jakarta, Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan,” ujarmya, 30 Agustus 2020.
Sedari 18 April Tangerang Raya tak berhenti menerapkan PSBB. Pelonggaran baru diberlakukan pada PSBB keempat periode 1-14 Juni, yaitu membuka rumah ibadah.
Kota Tangerang kembali memperpanjang PSBB kelima mulai 15 Juni disertai dengan Pembatasan Sosial Berskala Lokal Rukun Warga (PSBL-RW) pertama. PSBL diberlakukan di 24 RW zona merah Covid-19.
Angka positif terus naik, sehingga totalnya menjadi 637 kasus di hari terakhir PSBB fase 9 dan PSBL 5 pada 10 Agustus. Artinya, dalam rentang waktu hampir dua bulan ada penambahan 202 kasus.
Angka kumulatif pasien positif di Kota Tangerang menjadi 847 per 30 Agustus. “Sekarang naiknya langsung tinggi bisa belasan kasus sehari. Padahal, dulu kasus harian di bawah 10,” ucap Arief.
Kluster pabrik juga bisa jadi petaka di Kota Tangerang. Arief menceritakan cepatnya temuan kasus baru di salah satu pabrik dari tiga orang menjadi 43. Dia pun menyidak pabrik tersebut guna mengecek pelaksanaan protokol kesehatan.
Hasilnya, pemilik pabrik menjalankan ketentuan protokol, mula dari menyediakan tempat cuci tangan, mengecek suhu tubuh, hingga karyawan dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD). Masalahnya, Arief menemukan, tidak seluruh karyawan mencuci tangan dengan benar, yaitu minimal 20 detik.
Ruang ganti karyawan juga dipakai melebihi kapasitas maksimal. Ruangan berukuran sekitar 6 x 8 meter itu, kata dia, mestinya diisi paling banyak 10 orang. Namun, 30 orang melebur jadi satu di tempat ganti itu.
Masalah berikutnya adalah kantin karyawan lengkap dengan pendingin ruangan. Pihak pabrik telah membatasi satu meja makan hanya enam orang. Arief menganggap jumlah itu masih terlalu banyak. Dia meminta satu meja makan ditempati maksimal tiga orang agar jaga jarak minimal 1,5 meter terpenuhi.
“Harus ada usaha dari kita semua untuk melaksanakan protokol kesehatan dengan baik dan benar,” kata dia.
Kluster perusahaan atau industri lama-lama makin menjadi di Kabupaten Bekasi. Juru bicara Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bekasi, Alamsyah, mengatakan sembilan kluster perusahaan menjadi penyumbang terbesar kasus corona dengan total 682 kasus per 4 September.
Dari angka itu, 468 di antaranya berdomisili di Kabupaten Bekasi. Sisanya tinggal di Kota Bekasi, Karawang, dan Jakarta. Alamsyah menyampaikan, kluster perusahaan terdeteksi sejak Juni 2020. “Beberapa perusahaan tidak kluster karena kasus hanya satu atau dua,” kata dia, 4 September 2020.
Data Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang ditampilkan di pikobar.jabarprov.go.id memperlihatkan, pasien terkonfirmasi positif tak bertambah lebih dari 30 orang sejak Maret hingga awal Agustus. Namun, tiba-tiba terjadi lonjakan 55 kasus pada 25 Agustus.
Yang tertinggi adalah sumbangan 180 kasus baru tiga hari kemudian. Penambahan terus ada dengan kisaran 30-60 kasus per harinya hingga 19 September.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, berpendapat perlu ada sinergi antara pemerintah Jabodetabek lantaran letak wilayah yang saling bersinggungan. Mobilitas yang tinggi, untuk bekerja atau berdagang, memaksa warga bolak-balik lintas daerah. Sementara virus tak pilih kasih menyerang organ tubuh manusia.
Orang perkantoran atau pemerintahan yang bekerja di Jakarta misalnya, bisa jadi kerap bepergian, baik ke daerah penyangga atau luar kota. Yang berbahaya adalah warga terus bergerak ke pelbagai daerah, padahal mereka mungkin menderita Covid-19 tanpa gejala apapun.
“Dari data Jabodetabek ini sebetulnya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kasus yang terjadi di wilayah Jabodetabek terkoneksi,” ujarnya saat dihubungi, 16 September 2020.
Menurut Dicky, OTG berpotensi besar menularkan virus selama enam hari. Dalam satu hari, dia melanjutkan, setidaknya satu orang di Asia Tenggara berkontak erat dengan 30-36 orang.
Namun, Dicky menuturkan, harus ada perubahan paradigma dari yang sebelumnya hanya fokus pada pengendalian pandemi di Jabodetabek. Musababnya, ada juga warga dari perbatasan lain, seperti Tangerang Selatan dan Rangkasbitung yang bepergian ke kota-kota.
Untuk itu, pemerintah Jabodetabek perlu bersama-sama membuat kebijakan mengatasi pandemi Covid-19. Salah satunya mewajibkan pengetesan atau testing terhadap seluruh pegawai yang masih bekerja di kantor atau pabrik. Tes dilakukan rutin dua minggu sekali.
Dicek juga apakah si pegawai tergolong orang berisiko tinggi terpapar Covid-19. Dengan begitu, warga yang masih harus beraktivitas di luar rumah sudah terdeteksi dan relatif tidak membahayakan orang lain. Tak cuma itu, kota penyangga juga seharusnya ikut DKI menerapkan PSBB.
Jika tidak, daerah penyangga bisa-bisa kewalahan seperti Jakarta. Contohnya, tempat tidur isolasi yang kian hari menipis. Berdasarkan data yang diungkap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dari 4.812 tempat tidur isolasi per 23 September, persentase keterpakaiannya sudah 81 persen. Sedangkan tempat tidur ICU sebanyak 695, persentase keterpakaiannya sebesar 74 persen.
“Kita harus ingat pandemi ini terjadi bukan karena dari satu juta orang terinfeksi, tapi satu orang terinfeksi dari hewan kemudian menyebar sampai sekarang,” katanya. “Jangan diabaikan sekecil apapun potensi kerawanan.”
Kepala Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FKKMK) Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro mengkritisi penanggulangan Covid-19 di Jabodetabek yang tidak terintegrasi.
Dia menilai perlu ada satu penelitian yang komperhensif guna melihat secara menyeluruh persoalan Covid-19 di Jabodetabek. Penelitian itu untuk mengupas berapa pelacakan atau tracing kasus, sistem jaringan rumah sakit, hingga pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pemerintah Jabodetabek perlu duduk bersama dan menentukan kebijakan yang mengacu pada satu riset tersebut. Laksono justru menilai perbedaan partai politik antar kepala daerah yang kuat menghambat terciptanya koordinasi. Padahal, masyarakat dan pemerintah harus menghadapi musuh yang sama, Covid-19.
“Ketika bicara menangani pandemi Covid-19 tidak mengenal batas administratif dan politik,” dia menegaskan.
Jika tidak, penularan virus corona akan meningkat. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Muhammad Adib Khumaidi menyampaikan, pasien positif yang terus membanjiri rumah sakit kini perlu menjadi perhatian.
Eskalasi pasien berdampak pada kapasitas tempat tidur di fasilitas kesehatan. Potensi risiko kelebihan beban untuk merawat pasien Covid-19 ikut meningkat. Bisa-bisa, dia mengutarakan, jam kerja tenaga medis bertambah, menanggung beban yang berat, dan berujung pada kelelahan hingga potensi kematian.
“Menjadi pembebanan baru pada fasilitas kesehatan dan pembebanan kerja juga kepada para SDM (sumber daya manusia),” paparnya, Jumat, 18 September 2020.
Anggota DPRD DKI Jakarta, Syarif, merasa dukungan daerah-daerah penyangga kepada DKI memang penting. Pemerintah dan pihak perusahaan harus saling berkomunikasi mengendalikan waktu kerja karyawan. Dengan begitu, pembagian jam atau sif kerja akan efektif dan mencegah penumpukan penumpang di transportasi publik.
Ketentuan jumlah orang maksimal 25 persen di dalam kantor juga bisa diwujudkan. Syarif menilai kebijakan pembatasan kapasitas orang kerap dilanggar lantaran buncitnya koordinasi.
“Dukungan dari pemerintahan-pemerintahan penyangga itu yang kami tidak habis pikir kapan bisa terbangun,” ujar politikus Partai Gerindra ini.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebut Bogor, Depok, dan Bekasi bakal menyesuaikan penanggulangan Covid-19 dengan pengetatan PSBB di DKI. Bukan berarti Bodebek juga ikut memperketat PSBB.
Ridwan fokus mengintegrasikan pelayanan di seluruh rumah sakit Bodebek. Maksudnya rumah sakit bakal menerima limpahan pasien dari daerah lain di Bodebek jika darurat.
Misalnya, rumah sakit di Depok yang masih memiliki tempat isolasi bersedia menampung pasien rujukan dari Bogor atau Bekasi. Dia juga membuka peluang untuk menerima pasien dari Jakarta.
“Jika ruang-ruang isolasi rumah sakit di Jawa Barat dibutuhkan untuk DKI, maka kami dengan senang hati juga berkenan memberikan dukungan,” ucap dia dalam keterangan tertulisnya, 13 September 2020.
Wali Kota Depok Mohammad Idris menambahkan, Covid-19 seyogianya ditangani bersama-sama. Sedari awal pandemi, dia sepakat harus ada integrasi birokrasi di Jabodetabek dengan komando pemerintah pusat.
“Seharusnya kementerian yang memegang kendali, sehingga gubernur tidak selalu setiap hari atau setiap saat berkoordinasi,” pikirnya.
Langkah koordinasi kini sudah dimulai dengan penunjukan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk berkoordinasi dengan 9 provinsi dengan tingkat penularan tinggi. Termasuk di antaranya adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Luhut telah melakukan pertemuan virtual dengan Gubernur DKI Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Anies mengungkapkan setelah rapat dengan Luhut, ia meneruskan kebijakan PSBB ketat hingga 11 Oktober 2020. Ia menyebut langkah ini untuk menyeleraskan dengan kondisi di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Penulis
Editor
Penyumbang Bahan
Foto
Multimedia
Jakarta menerapkan PSBB sejak 10 April 2020. Pembatasan aktivitas sosial, ekonomi, hingga pergerakan orang ini diperpanjang hingga memasuki tahap ketiga pada 4 Juni 2020. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang lagi PSBB dengan sejumlah pelonggaran mulai 5 Juni 2020.
Disaat inilah Jakarta sekaligus memasuki masa PSBB Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif Fase 1. Anies menarik rem darurat yang berarti menghentikan PSBB Transisi lantaran jumlah pasien positif Covid-19 terus melonjak. Alhasil, pemerintah DKI Jakarta memperketat lagi PSBB sejak 14 September 2020 selama dua minggu.
PSBB di Kota Bogor resmi berlaku pada 15 April 2020. Pelonggaran mulai tampak dalam Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 44 Tahun 2020 yang ditetapkan pada 26 Mei. Ketentuan itu mengatur beberapa perubahan soal pelaksanaan PSBB, seperti makan di tempat diperbolehkan dengan kapasitas maksimal 50 persen hingga ibadah diizinkan, tapi tetap memenuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Kota Bogor lalu memasuki PSBB proporsional, yakni tahapan untuk memasuki adaptasi kebiasaan baru (AKB) atau pamor disebut kenormalan baru. PSBB Proporsional Pra AKB Kota Bogor dimulai 3 Juli 2020. Untuk menekan penularan Covid-19 yang kian masif, Wali Kota Bogor Bima Arya memberlakuan pembatasan aktivitas dan pergerakan orang pada malam hari sejak 29 Agustus 2020.
PSBB Kota Depok juga dimulai 15 April 2020. Wali Kota Depok Mohammad Idris menetapkan pelonggaran yang berlaku 5 Juni 2020, sehingga Depok memasuki fase PSBB Proporsional.
Pelonggaran pembatasan dilakukan bertahap. Pada PSBB Proporsional tahap 2, pemerintah Kota Depok mengizinkan pembukaan wisata alam, bioskop atau salon atau seminar dengan kapasitas 30 persen, dan pertemuan keagamaan maksimal jumlah orang 50 persen dari normal. PSBB Proporsional tahap 2 berlaku 2 Juli 2020. Kota Depok lantas menerapkan jam malam pada 3 Agustus 2020.
PSBB Tangerang Raya dimulai 18 April 2020. Pemerintah Kota Tangerang mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Lokal Rukun Warga (PSBL) tingkat rukun warga (RW) berstatus zona merah pada 15 Juni Juni 2020. PSBL tersebut tidak menghentikan PSBB. Kota Tangerang masih memberlakukan PSBB sekaligus PSBL hingga saat ini.
PSBB di Bekasi dimulai sama seperti Bogor dan Depok sejak 15 April 2020. PSBB Proporsional alias pelonggaran aktivitas di Kabupaten Bekasi ditetapkan sejak 5 Juni 2020.
Berdasarkan rekomendasi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil akan ada pelonggaran aktivitas di sejumlah sektor selama perpanjangan PSBB Proporsional. Adapun jumlah kasus Covid-19 di Kabupaten Bekasi melonjak signifikan di sepanjang Agustus 2020 sampai saat ini. Kluster industri bermunculan.