Longform

Tanah Bukit Sirkuit Mandalika

Kamis, 17 Maret 2022

Material tanah untuk pembangunan Sirkuit Mandalika diduga dari hasil penambangan ilegal di Bukit Lenser. Pengerukan bukit menimbulkan lubang galian yang menganga dan kerusakan vegetasi. Akibatnya, banjir kerap menerjang desa di sekitar sirkuit sejak proyek dimulai.

Oleh Idham Khalid

header

PULUHAN truk pengangkut tanah berbaris di area Sirkuit Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, pada Selasa, 18 Januari lalu. Hari itu, para sopir prahoto yang bekerja mengangkut tanah uruk pembangunan sirkuit untuk ajang balapan MotoGP tersebut berdemonstrasi. Mereka protes karena kontraktor tak melibatkan lagi para pengemudi dalam proyek.

Sudirman, salah seorang sopir truk, mengatakan kontraktor menyetop kerja sama dengan para sopir sejak setahun terakhir. “Kontraktor sekarang hanya memakai truk tronton yang punya roda minimal sepuluh,” ujar Sudirman di Mandalika pada Selasa, 18 Januari lalu.

Sudirman memiliki empat unit truk pengangkut tanah atau dump truck. Sebelum setop beroperasi, truk-truk milik warga Desa Kuta itu memuat tanah yang dikeruk dari Bukit Lenser menuju area pembangunan Sirkuit Mandalika. Sudirman mengaku membeli tanah itu dari warga.

header

Menurut Sudirman, kontraktor membayar Rp 150 ribu per truk. Sebanyak Rp 65 ribu diberikan ke sopir, lalu Rp 10 ribu dibayarkan ke warga yang mengklaim punya tanah di Bukit Lenser. Sisanya masuk ke kantong Sudirman. Di kalangan penambang galian, Sudirman dikenal sebagai sub-kontraktor yang biasanya mengoordinasikan para sopir pengangkut tanah.

Mengeruk tanah di Bukit Lenser yang berjarak sekitar dua kilometer dari sirkuit, Sudirman tak berbekal izin. Ia menjadi mandor penggalian untuk dua wilayah yakni di Dusun Lenser dan Dusun Mong. Ada beberapa mandor yang menguasai wilayah galian lain di sekitar sirkuit Mandalika. “Galian ini tak merusak lingkungan,” tutur Sudirman.

Ramdan, warga yang tinggal di dekat Bukit Lenser, membenarkan cerita Sudirman. Ia mengaku punya 3 are lahan—sekitar 300 meter persegi—yang tanahnya dikeruk untuk proyek Sirkuit Mandalika. Penambangan tanah di bukit sudah berlangsung sejak 2019.

Ramdan menjual tanah uruk ke kontrak sebesar Rp 10 ribu per bak angkut. Dua tahun menjual urukan, ia mengantongi pemasukan yang lumayan. “Saya sudah dapat lebih dari sepuluh juta rupiah,” ujarnya.

Truk-truk pengangkut tanah uruk dari Bukit Lenser pernah dibuntuti tiga kali selama Oktober-Desember 2021. Truk itu berkelir putih dan hijau. Berkendara selama delapan menit dari Bukit Lenser, prahoto itu tiba di gerbang sebelah utara Sirkuit Mandalika—kini berdiri patung Presiden Joko Widodo mengendarai motor.

header

Sekretaris Desa Kuta, Mardan, menjelaskan proyek galian di Bukit Lenser sudah dimulai sejak dua-tiga tahun lalu menyusul pembangunan sirkuit. Ia mengaku tak tahu nama kontraktor penambangan. Menurut Ramdan, pemerintah desa juga tak pernah mendapatkan surat pemberitahuan mengenai kegiatan penambangan galian. “Kami nanti dikira menghambat proyek kalau mengajukan protes,” ujarnya. 

Bukit Lenser tampak botak ketika dipotret dengan pesawat nirawak pada 16 Januari 2022. Vegetasi di area galian lenyap. Bukit itu kini tampak berwarna cokelat karena tanah yang digaruk, alih-alih pepohonan yang ijo royo-royo.

Masalahnya, penambangan tanah di Bukit Lenser tak hanya merusak lingkungan. Tapi aktivitas galian juga diduga ilegal. Kepala Bidang Perlindungan Hutan, Konservasi Sumber Daya Alam, dan Ekosistem, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nusa Tenggara Barat, Mursal, mengatakan kawasan Bukit Lenser termasuk ke dalam kawasan Hutan Kemasyarakatan. Warga yang bermukim di sana diduga ilegal. 

Mursal mengaku sudah menyelidiki aktivitas galian di Bukit Lenser. Berdasarkan kajiannya, separuh kawasan Bukit Lenser sudah terkupas. Mursal mengatakan pihaknya tak dapat bertindak apa-apa untuk menghentikan penambangan. “Galian ada di Bukit Lenser kawasan satu dan dua,” ujarnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lombok Tengah, Supardiono, mengatakan institusinya tak pernah menerbitkan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan untuk proyek galian di Bukit Lenser. Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Nusa Tenggara Barat, Syamsul Ma’rif, juga mengungkapkan informasi yang serupa.

Menurut Syamsul, pemerintah hanya menerbitkan satu izin usaha pertambangan untuk menguruk Sirkuit Mandalika. Izin pertambangan itu diberikan untuk Budi Utama, yang beralamat di Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah . Tapi lokasi tambang yang diizinkan berada di Dusun Rangkap—sekitar 7 kilometer dari Bukit Lenser. “Aktivitas tambang di Lenser tak ada di basis data kami,” kata Syamsul.

Data kegiatan tambang di Bukit Lenser seharusnya juga diterima pemerintah. Syamsul mengatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memang mengatur bahwa pemberian izin tambang kini terpusat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, pemerintah pusat bersama-sama pemerintah daerah mengawasi penambangan.

header

Sebagaimana Syamsul, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Barat, Madani Mukarom, menjelaskan pemberian izin tambang harus mencermati pertimbangan teknis dan masukan mulai dari pemerintah desa sampai kabupaten. Dinas di tingkat provinsi baru akan turun jika penambangan menimbulkan dampak lingkungan yang berat. “Peran pengawasan kegiatan tambang galian C berada di pemerintah kabupaten ,” ujar Madani.

Adapun Kepala Desa Kuta, Mirate, mengatakan tak pernah ada satupun perusahaan yang meminta izin atau berkoordinasi untuk menggaruk tanah Bukit Lenser. Ia merasa tak bisa protes ke kontraktor Sirkuit Mandalika karena was-was dianggap menganggu proyek. “Kami mau ngomong apa karena bukit sudah dikeruk habis,” kata Mirate.

Dalam dokumen yang diperoleh, izin galian ke Budi Utama diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nusa Tenggara Barat. Surat bertarikh 10 Juli 2019 itu menerangkan luas lahan galian mencapai 4,06 hektare. Warkat itu berlaku selama tiga tahun mulai dari 10 Juli 2019 sampai dengan 9 Juli 2022.

Budi Utama mengakui bahwa ia memegang izin galian untuk menguruk proyek Sirkuit Mandalika. Ia memperoleh konsesi seluas 4 hektare di Dusun Rangkap. Budi menyebutkan lahan di Dusun Rangkap tak banyak dikeruk. Ia menduga pelaksana proyek sedikit menggaruk tanah dari lahannya karena dianggap tak cukup memenuhi kebutuhan sirkuit.

Budi juga membantah terlibat dalam aktivitas galian di Bukit Lenser. Ia mengaku tak mengalihkan pekerjaan pengerukan tanah ke kontraktor lain. “Saya tak ada hubungan dengan tambang di Lenser,” kata Budi saat ditemui di rumahnya di Desa Puyung pada Rabu, 9 Maret lalu.

header

APV Site Operation The Mandalika, I Made Pari Wijaya, mengaku tak mengetahui status tanah uruk yang dipakai untuk proyek pembangunan Sirkuit Mandalika. Ia mengatakan izin galian untuk sirkuit hanya diberikan kepada seorang kontraktor bernama Budi Utama. “Pengeruk tanah harus bisa menunjukkan bahwa mereka mengerjakan operasi itu karena mendapat rekomendasi dari Budi Utama,” kata Pari.

Pari mengatakan permukaan Sirkuit Mandalika perlu diuruk setinggi 1,5-2 meter. Pekerjaan itu diperlukan untuk mengantisipasi banjir dan gelombang pasang. Perusahaan diperkirakan butuh sedikitnya 400 ribu kubik tanah uruk untuk meninggikan lanskap sirkuit.

Bukit Lenser yang gundul ditengarai menjadi salah satu penyebab banjir menerjang Desa Kuta pada akhir Januari 2021. Sebanyak 350 kepala keluarga terdampak bencana air bah pada waktu itu. Banjir kembali menggenangi beberapa dusun di Desa Kuta pada pekan kedua Desember 2021.

Kume, warga Desa Kuta, merupakan salah satu korban banjir pada Januari tahun lalu. Kume bercerita air dari sungai di sebelah rumahnya tiba-tiba melimpas saat ia baru pulang dari masjid setelah mendirikan salat isya. Bah yang datang pada malam itu bercampur dengan lumpur. “Tingginya sampai dada orang dewasa,” kata Kume.

Menurut Kume, banjir pada waktu itu merupakan kejadian pertama sejak ia bermukim di Desa Kuta pada 1990-an. Ia menduga bencana itu disebabkan vegetasi di Bukit Lenser yang mulai gundul karena proyek galian. Sungai yang menggenang di sebelah rumahnya berhulu di Bukit Lenser yang tak lagi dikelilingi pepohonan.

Samah Gare, korban banjir lainnya di Desa Kuta, mengatakan sungai dari Bukit Lenser awalnya punya kedalaman lebih dari dua meter. Dasar kali itu kini menjadi dangkal karena digenangi lumpur yang datang dari hulu. “Lumpur itu tanah yang berguguran karena pengerukan di bukit,” ujar Samah.

header

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nusa Tenggara Barat telah meneliti penyebab bandang di Desa Kuta. Dinas menerjunkan tim pada 7 April 2021 ke Bukit Lenser. Kepala Bidang Perlindungan Hutan, Konservasi Sumber Daya Alam, dan Ekosistem, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nusa Tenggara Barat, Mursal, yang ikut ke lapangan, menyebutkan pohon-pohon di bukit justru berganti dengan ladang jagung.

Minimnya area tangkapan air hujan di Bukit Lenser ditengarai menjadi penyebab banjir bercampur tanah yang menerjang Desa Kuta. “Bukit itu menjadi tempat terbuka yang tak punya saringan untuk menangkap air hujan karena hutannya sudah gundul,” kata Mursal.

Koordinator Inspektur Tambang Wilayah NTB Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Idham Halid, mengklaim pihaknya belum menerima laporan mengenai dugaan galian ilegal yang memicu kerusakan lingkungan dan banjir di Desa Kuta. Ia menyebutkan kepolisian dapat menggulung para penambang jika aktivitas pengerukan Bukit Lenser tak dilengkapi dengan izin.

Kepala Kepolisian Resor Lombok Tengah, Ajun Komisaris Besar Heri Indra Cahyono, menjelaskan bahwa polisi telah menyelidiki dugaan penambangan tanah ilegal di Bukit Lenser. Penyelidikan itu bermula dari laporan masyarakat yang dirugikan oleh aktivitas tambang. “Kami akan menindak jika ditemukan bukti adanya illegal mining,” ujar Heri.

Liputan ini terbit atas kerja sama Tempo dengan Tempo Institute dan Kompas.com dengan dukungan International Media Support.

CREDIT

Penulis

Multimedia

Editor